“Orang-orang dari ibukota akan datang. Mereka mendorong kita keluar. Mereka akan mengambil rumah saya pada akhirnya,” katanya, menambahkan kehilangan sebagian rumah dan tanah pertaniannya karena pembangunan waduk masuk untuk bendungan guna melayani ibu kota baru.
“Kami bahkan tidak bisa mendapatkan air lagi karena sungai tersumbat. Sungai dulunya adalah sumber kehidupan kami. Kami akan meminumnya, mandi di sana, dan menggunakannya untuk memasak. Sekarang kami tidak dapat mengaksesnya lagi,” tambahnya.
Sernai mengatakan pemerintah memberi keluarganya, termasuk 17 cucunya, sekitar Rp46 juta sebagai kompensasi. Namun itu tidak cukup untuk menebus gangguan pada kehidupan mereka. Sementara kepala suku Balik Sibukdin (60) mengatakan beberapa orang di daerahnya menolak pindah karena merasa tanah adalah identitas mereka.
“Kami hanya meminta pemerintah memberikan perhatian khusus kepada kami,” kata Sibukdin yang menggunakan satu nama.