Mari kita dalami 3 hal berikut ini:
Pertama, penggagalan Anies sebagai capres. Hal ini diasumsikan dengan pentersangkaan Anies oleh KPK dalam kasus Formula-E. Selain itu, pengambilan alihan Partai Demokrat dari kelompok AHY kepada Moeldoko dan atau Anas Urbaningrum. Sejak isu pentersangkaan Anies (googling tulisan saya “Jika Anies Ditersangkakan”, 2/10/22 dan ” Firli Bahuri, Anies Baswedan dan Kegilaan Adam Wahab”, 20/10/22), kita menyaksikan KPK mengalami keguncangan-keguncangan besar. Keguncangan itu antara terkuaknya rencana pentersangkaan Anies di luar prosedur hukum secara wajar, seperti pengakuan beberapa petinggi KPK yang mundur terkait isu tersebut, bahwa mereka mengalami tekanan untuk mentersangkakan Anies, maupun adanya tekanan publik agar KPK kembali menjadi lembaga yang benar.
Mahfud MD, tokoh rezim Jokowi, misal, dalam sebuah video beredar mengatakan Anies seharusnya menjadi tersangka jika tidak ada tekanan publik terhadap KPK, karena kata Mahfud, Anies bersalah. Bersalah karena meminjamkan uang APBD pada event non rakyat, Formula E. Kalau sepakbola tidak masalah.
Pernyataan Mahfud, yang menyatakan Anies bersalah, sangatlah sumir dan tendensius, sebalik pendukung Anies justru melihat KPK menjadi instrumen politik penjegal Anies untuk capres. Kriminalisasi dalam era rezin Jokowi memang seringkali merupakan modus, dengan berbagai latar belakang motif kekuasaan.
Kita tahu, kasus Anies tentang Formula EÂ jelas-jelas bukan sebuah pidana, melainkan kebijakan atau deskresi gubernur DKI, agar event internasional bisa menjadi bagian penting sebuah ibukota. Tidak ada fee bisnis yang diterima Anies. Bahkan, bila dibandingkan kasus pengadaan atau pengeluaran uang triliunan untuk event balapan MotoGP di Mandalika, NTB, uang negara/BUMN/BUMD yang digunakan di Formula E hanya secuil saja. Apalagi jika membandingkan dengan skala pencucian uang Rp. 349 Triliun di kementerian keuangan, seharusnya KPK malu memikirkan soal Formula E tersebut, dalam konteks mencari cari kesalahan Anies.