spot_img
Kamis, Mei 16, 2024
spot_img

Perppu Jalan Menuju Pemerintah Otoriter

Bernegara dengan Perppu Periode kedua Pemerintahan Jokowi telah menghasilkan beberapa Perppu. Pertama Perppu 1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penanganan Pandemi Covid-19. Perppu itu bukan hanya menyatakan kondisi darurat, namun juga memberikan kekebalan hukum bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan, serta mengesampingkan banyak peraturan perundang-undangan lain.

Perppu kedua yang dikeluarkan oleh Jokowi adalah perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilihan Umum. Perppu itu memang untuk menghadapi keadaan yang mendesak dan kekosongan hukum mengenai daerah-daerah pemilihan baru setelah terjadinya pemekaran di Papua.

- Advertisement -

Perppu ketiga adalah Perppu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk menyelamatkan Undang-undang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Perppu ini menjadi kontroversi, karena melawan putusan MK Putusan No 91/PUU-XVIII Tahun 2020 yang menyatakan bahwa pembuatan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional karena tidak memenuhi syarat formil pembentukan undang-undang. Artinya keluarnya Perppu 2 tahun 2022 merupakan bagian dari upaya untuk menyangkal keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan waktu dua tahun bagi pemerintah dan DPR untuk memperbaikinya.

Dalam waktu dua tahun apabila tidak dapat diperbaiki, maka akan dinyatakan inkonstitusional permanen. Putusan MK itu bagi saya adalah jalan tengah antara kepentingan politik dengan kepentingan konstitusi.

- Advertisement -

Meskipun putusan itu kelihatan seperti hasil kompromi, ternyata Presiden tidak sabar untuk menggunakan kekuasaan absolut untuk mengembalikan UU Cipta Kerja itu dengan Perppu. Padahal Pemerintah dan DPR dapat membahas bersama dalam waktu dua tahun. Masa sidang DPR masih terbuka dan DPR selama dua tahun masih dapat bersidang.

Namun jalan yang diinginkan oleh konstitusi dan putusan MK tidak diindahkan. Presiden Jokowi terkesan menggunakan kewenangan otoritatif untuk memaksakan kegentingan, atau memaksakan keadaan darurat. Inilah letak bahayanya bagi negara demokrasi konstitusional.

- Advertisement -

Mengutip Dr. Ahmad Yani, M.H, Perppu itu adalah penggunaan kekuasaan yang absolut dan mengancam demokrasi dan konstitusi. Menurut Ahmad Yani, Perppu itu keluar karena tidak berlandaskan kondisi sosiologis, filosofis dan yuridis sebagai alasan konstitusional keluarnya Perppu. Lebih keras lagi Jimly Asshidiqie.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut menyebut bahwa Perppu 2 Tahun 2022 adalah penggunaan rule by law yang kasar dan sombong. Menurut Jimly, Perppu a quo mengabaikan peran DPR sebagai lembaga legislasi dan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi. Maka secara politik hukum, mengabaikan prinsip-prinsip konstitusi dan legislasi adalah tindakan melampaui hukum.

Kalau sudah melampaui hukum, maka presiden sebagaimana ketentuan pasal 7A UUD NRI dapat dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara dan melakukan perbuatan tercela. Kalau itu terjadi, menurut Jimly, presiden dapat di-impeach Dengan ketentuan pasal 7B UUD 1945.

Persoalan dapat di-impeach atau tidak, tergantung kemauan politik DPR. Namun secara konstitusional, Perppu tidak boleh dikeluarkan hanya untuk menyelamatkan kepentingan kekuasaan, sebab Perppu adalah untuk menyelamatkan negara dari bahaya. Memaksakan kegentingan Kekuasaan yang menggunakan kegentingan untuk memaksakan diri menggunakan kekuasaan yang besar akan melahirkan pemerintahan otoriter.

Kegentingan itu harus nyata dan objektif, bukan subjektif. Mengeluarkan Perppu memang kewenangan subjektif, tetapi keluarnya perppu harus objektif. Sebagaimana saya singgung di atas, membiasakan keadaan darurat dengan menggunakan kekuasaan maksimal berbahaya bagi negara hukum.

Sebab dalam keadaan pengecualian atau keadaan darurat presiden dapat menangguhkan hukum dan konstitusi dengan menggunakan kekuasaan yang besar menyatakan kehendaknya. Kalau ini terjadi, maka kita akan bertemu dengan sejarah, di mana kondisi darurat akan melahirkan kekuasaan otoriter dan diktator.

Soekarno pernah menggunakan keadaan bahaya dengan mengeluarkan Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya (selanjutnya disebut Perppu Keadaan Bahaya).

Perppu itu digunakan Soekarno untuk mengendalikan negara dengan cara-cara otoriter. Pada akhirnya Soekarno menjadi penguasa tunggal dari tahun 1959 sampai tahun 1965. Soekarno juga diangkat menjadi presiden seumur hidup. Tapi tidak ada yang membayangkan, Perppu Keadaan Bahaya itu digunakan oleh Soeharto untuk menangkap dan mengadili orang-orang Soekarno dan digunakan orde baru selama 32 tahun berkuasa.

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini