spot_img
Minggu, April 28, 2024
spot_img

Presiden Minus Karakter Negarawan: Hipokrit Terhadap Wacana Penundaan Pemilu, Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Presiden Tiga Periode

Kalau konsisten terhadap hak warga negara dalam alam demokrasi, mengapa perlakuan diskriminatif justru dipertontonkan oleh rezim Jokowi?

Pada intinya, kalau dicermati, respons yang ditunjukkan oleh presiden saat ini terhadap wacana penundaan pemilu dan penambahan tiga periode masa jabatan presiden memang “tampak jelas ada penurunan ketegasan” jika dibandingkan respons ditunjukkan pada akhir tahun 2019 lalu dan terkesan inkonsisten.

- Advertisement -

Terkait dengan inkonsistensi sikap Jokowi dalam isu presiden tiga periode ini, julukan king of lips service kembali dibicarakan netizen. Pernyataan netizen saya kira juga bukan tanpa alasan mengingat track record Pak Jokowi yang banyak dinilai oleh beberapa pihak tidak konsisten antara yang diucapkan dengan yang diperbuat (BEM UI, AZUMARDY AZRA). Ya seperti yang pernah disebutkan, Presiden Jokowi menyatakan bahwa “jika ada orang yg mendorong perpanjangan masa jabatan, hingga 3 periode itu orang itu (1) menampar mukanya; (2) mencari muka dan (3) menjerumuskannya.” Lalu kenapa selama beberapa mingguan ini dia membiarkan perbincangan yang jelas memenuhi 3 hal itu hingga akhirnya menyatakan itu bagian dari demokrasi?

Mestinya presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan di awal wacana langsung memberikan pernyataan resmi: “SETOP WACANA PENUNDAAN PEMILU DAN PERPANJANGAN MASA JABATAN”, sehingga tidak menjadi bola liar yang menguras energi bangsa. Pernyataan Pak Presiden juga bisa dinilai anti klimaks terhadap GONJANG GANJING wacana itu karena TERKESAN ABU-ABU, Inkonsisten, ambigu dan HIPOKRIT! Artinya, dugaan bahwa beliau itu THE KING OF LIPS SERVICE oleh netizen cukup beralasan.

- Advertisement -

Terkait dulu bilang tampar mukanya, dan sekarang bagian demokrasi, oleh netizen disimpulkan bahwa menampar muka bagian dari demokrasi, hal itu merupakan kekacauan logika akibat dari sikap penguasa. Namun, itu logika yang LURUS dengan menggunakan prinsip SILOGISMUS sebagai berikut:

Premis 1: Wacana penundaan pemilu itu menampar muka presiden
Premis 2: Wacana penundaan pemilu itu bagian demokrasi

- Advertisement -

Kesimpulan:
1. Wacana penundaan pemilu itu Menampar muka namun termasuk bagian dari demokrasi.
2. Menampar muka presiden itu termasuk bagian dari demokrasi.

Ini termasuk penalaran yang benar ataukah LOGICAL FALACY? Ya, kadang-kadang kita perlu ngomong: “Wes,”POKOKE AWUREN…!”

Perpanjangan jabatan itu sebagai konsekuensi adanya penundaan pemilu. Sampai sekarang belum jelas siapa sebenarnya yang punya kemauan untuk melakukan penundaan pemilu. Semula saya malah baca berita yg menyatakan bahwa justru yang mempunyai kemauan utk penundaan pemilu itu Presiden Jokowi ( Andi Arief Demokrat). Lalu meminta menteri dan ketua-ketua parpol untuk melempar wacana sekaligus menyetujui rencana tersebut. Kalau ini benar, maka ini adalah persekongkolan (konspirasi). Persekongkolan mereka dapat disebut sebagai persekongkolan jahat untuk MAKAR TERHADAP KONSTITUSI.

Jika hal ini benar, maka PRESIDEN dapat diduga telah melakukan upaya PELANGGARAN THD KONSTITUSI dan Dapat DI-IMPEACHMENT. Pertanyaannya: siapa yg akan melakukan impeachment jika PARA WAKIL RAKYAT telah tersandera dalam PERSEKONGKOLAN tersebut?

Kembali ke UUD 1945, YANG BERDAULAT ADALAH RAKYAT, maka ambil kembali mandat yang telah diberikan oleh rakyat kepada para PELAKU MAKAR KONSTITUSI tersebut. Jalan melalui PENGADILAN RAKYAT atau REVOLUSI mungkin menjadi satu-satunya jalan untuk menghentikan langkah konspirasi penguasa yang hendak makar terhadap konstitusi. Jika merasa menjadi negarawan, beranikah menghentikan wacana penundaan pemili, perpanjangan masa jabatan dan presiden tiga periode? Jika hipokrit dapat dipastikan, Presiden tidak akan berniat dan mau menghentikan wacana tersebut.

Tabik…!!!
Semarang, Ahad: 27 Nopember 2022.

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini