spot_img
Sabtu, April 27, 2024
spot_img

Kenapa Bansos-Subsidi Triliunan Sulit Bersihkan RI dari Kemiskinan?

 

KNews.id – Bantuan sosial dan subsidi menjadi salah satu senjata pemerintah menekan kemiskinan di Indonesia. Namun, Senjata ternyata belum sepenuhnya ampuh.
Misalnya, ketika negara jor-joran menguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 hingga Rp1.060 triliun untuk bansos hingga subsidi.

- Advertisement -

Dana Rp1.060 triliun itu terbagi ke berbagai bantuan, mulai dari Rp27,9 triliun untuk Program Keluarga Harapan (PKH) hingga Rp44,3 triliun bagi kartu sembako. Ada juga bansos pangan tahap I senilai Rp8,2 triliun dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Rp42,4 triliun.

Tak cukup di sana, pemerintah mengucurkan bantuan ternak Rp235,3 triliun, bantuan alat dan mesin pertanian Rp681,2 triliun, bantuan benih-pupuk organik Rp1,5 triliun, subsidi BBM Rp99,6 triliun, dan bansos pangan tahap II Rp11,2 triliun.

- Advertisement -

Ada juga program pendidikan pintar sebesar Rp11,1 triliun. Kemudian, program KIP kuliah Rp12,7 triliun, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Kementerian Agama Rp10,6 triliun, Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) Rp5,1 triliun, dan kartu prakerja sebesar Rp4,3 triliun.

Namun, gelontoran itu masih belum terlalu kuat untuk menekan jumlah kemiskinan di Indonesia. Lihat saja, Badan Pusat Statistik (BPS) nyatanya masih mencatat angka kemiskinan Indonesia tak sanggup ditekan ke bawah 25,9 juta orang per Maret 2023.

- Advertisement -

Angka ini turun tak sampai 500 ribu orang dibanding September 2022 yang 26,36 juta orang.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menegaskan bansos memang tidak tepat dijadikan senjata utama untuk memberantas kemiskinan. Ia mengatakan bukan berarti bantuan sosial tidak diperlukan, tetapi ini tidak seharusnya dijadikan prioritas utama.

“Karena untuk bisa mengeluarkan seseorang dari kemiskinan itu mestinya dia diberdayakan supaya dia betul-betul dari orang miskin menjadi orang tidak miskin lagi,” kata Faisal.

“Caranya tentu saja dengan tidak kasih dia uang, tidak dengan ikan, tapi umpan. Jadi, dia dibuat berdaya ekonominya, pekerjaannya, supaya dia bisa dapat pekerjaan yang lebih layak secara income (pendapatan). Jadi, melalui pemberdayaan (bukan dengan bansos),” tegasnya.

Faisal meyakini kehadiran bansos seharusnya cuma sebagai pelengkap. Bantuan semacam ini bisa disalurkan negara jika memang keadaannya benar-benar darurat. Ia menyinggung beberapa pengecualian pemberian bansos. Misal, untuk mereka para lanjut usia (lansia) yang sudah tidak mampu lagi bekerja.

“Tapi, masalahnya bansos kan tetap terus diberikan dengan angka yang cukup besar setiap tahunnya. Padahal, kita tahu dalam implementasinya sendiri banyak ketidaktepatan sasaran. Banyak orang yang semestinya tidak dapat, mereka dapat. Terus orang yang betul-betul miskin banyak tidak dapat,” kritik Faisal.

Di lain sisi, Faisal mengatakan ada perbedaan mendasar antara subsidi dan bansos. Jika bantuan sosial umumnya digunakan untuk keperluan konsumtif, ia menyebut subsidi sering dipakai untuk kegiatan produktif.

Hanya saja, ia menyoroti masih adanya ketidaktepatan sasaran dari penyaluran subsidi, baik bahan bakar minyak (BBM) maupun listrik. Oleh karena itu, Faisal mendesak perlunya pembenahan target penerima subsidi tersebut.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti juga punya pendapat hampir mirip. Menurutnya, bansos bukan solusi jangka panjang pengentasan kemiskinan di tanah air.

“Hanya temporer. Untuk bisa mengurangi kemiskinan harus memutus mata rantai lingkaran setan atau vicious circle yang membuat masyarakat miskin. Solusinya dengan meningkatkan kualitas pendidikan,” saran Esther.

Esther menyorot alokasi untuk subsidi dan bansos yang dianggap tidak efektif menekan kemiskinan. Ia mengutip data BPS yang menunjukkan bahwa pemberian bansos selama 10 tahun terakhir hanya sanggup menurunkan angka kemiskinan sebesar 2 persen. Ia menegaskan ⁠alokasi anggaran untuk bansos selama ini kurang tepat.

“Seharusnya ke program produktif yang men-generate income, bukan program bansos yang konsumtif. Data bansos juga perlu di-update setiap tahun,” tandasnya.

Senada, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mempertanyakan manfaat dari bansos yang selama ini diguyur negara. Ia curiga jangan-jangan pemerintah menggelontorkannya hanya sebagai formalitas, agar tak dianggap menelantarkan masyarakat miskin.

Andry merinci dua faktor utama yang harus diperhatikan dalam perbaikan tata kelola bansos. Pertama, ia menegaskan mereka yang setelah mendapatkan bansos harus tidak mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

“Kedua, mereka yang mendapatkan bansos itu harus meningkat tingkat kesejahteraannya. Peningkatannya sebenarnya menurut saya, saya bisa katakan belum ada kajian atau evaluasi dari pemerintah bahwa bansos itu bisa menjadi instrumen untuk meningkatkan tingkat taraf hidup dari masyarakat,” tegasnya.

“Misalnya, dari masyarakat miskin menjadi rentan miskin. Tidak ada bentuk evaluasi dari bansos tersebut dan cenderung bansos hadir hanya sebagai komoditas politik yang saya rasa sangat disayangkan,” imbuh Andry.

Ia mendesak pemerintah berbenah jika masih ingin menggunakan bansos sebagai salah satu cara mengangkat derajat masyarakat miskin. Ini bisa dimulai dari data penerima bantuan, apakah mereka yang menerima benar-benar layak atau tidak.

Andry menegaskan evaluasi ini bisa mengarahkan bansos dan subsidi menjadi lebih tepat sasaran. Harapannya, para penerima bansos itu bisa merasakan manfaat sesuai dengan tujuan pemberian bantuan tersebut.

Sementara itu, Peneliti Makro Ekonomi dan Pasar Keuangan LPEM UI Teuku Riefky punya pendapat yang berbeda. Ia melihat angka kemiskinan di Indonesia justru berkurang dari tahun ke tahun.

“Kita lihat angka kemiskinan ini jangan dilihat dari jumlah orang, tapi dari persentase jumlah penduduk. Kalau kita lihat dari persentase jumlah penduduk, rasio kemiskinan kita terus menurun secara konsisten,” tuturnya.

“Negara lain yang meningkat (persentase kemiskinan) karena covid-19, kita sudah mengalami tren penurunan. Jadi sebetulnya enggak ada yang salah di bansos, karena angka kemiskinan kita terus menurun,” sambung Riefky.

Jika mengacu data BPS, memang persentase kemiskinan di Indonesia menurun. Misalnya, data Maret 2023 yang mencatat ada 9,36 persen penduduk miskin alias turun 0,21 persen poin terhadap September 2022 dan berkurang 0,18 persen poin dibandingkan Maret 2022.

Meski begitu, Riefky mengakui masih perlu pembenahan di sejumlah titik penyaluran bansos. Ia menilai ini harus dilakukan agar penyaluran bansos bisa lebih efektif.

“Terkait bagaimana anggaran bansos harus lebih efektif, tentu ini perlu perbaikan data (penerima). Memang kita tahu selama ini kita masih mengalami inclusion error dan exclusion error, tapi ini memang bisa terus diperbaiki dari aspek pendataan yang lebih baik,” jelasnya.

Inclusion error adalah kesalahan data, di mana orang yang seharusnya tidak tercatat malah masuk sebagai penerima manfaat. Sedangkan exclusion error merupakan kebalikannya, yakni orang yang seharusnya tercatat menjadi tidak terdata sebagai penerima manfaat.
(Zs/cnn)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini