spot_img
Rabu, Mei 8, 2024
spot_img

Buya Hamka dan AR Baswedan: Sebuah Kesaksian Sejarah

Buya Hamka adalah seorang ulama besar, yang juga dikenal sebagai sastrawan handal. Maka dalam suratnya itu pun tidak kehilangan sentuhan narasi sastrawinya. Ingin sedikit membaginya pada Anda, dan itu pada paragraf awal ia memulai suratnya (sedikit pun tidak mengubah ejaan penyebutan kata yang dipakainya):

Sinar mata itu masih belum tunduk. Dia masih belum mengalah kepada umur yang telah mulai meningkat tua. Itulah kesanku ketika menikmati Panjimas No. 163 yang laksana goreng pisang dalam kuali, diangkat satu dan dihidangkan langsung kepada sebelum yang lain ditarok dalam piring, untuk dihidangkan kepada umum.

- Advertisement -

AR Baswedan, kakek Anies, itu punya jejak sejarah yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Menjadi pantas jika lalu sejarah kemudian mengakui kepahlawanannya, yang pada tahun 2018 negara menganugerahkan kepadanya gelar Pahlawan Nasional. (Buku menarik untuk melihat lebih jauh sosoknya, Biografi AR Baswedan, Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan, Suratmin dan Didi Kwartanada, penerbit Kompas). Namun, Hamka dalam suratnya itu lebih memberi kesaksian berdasar pengalaman pribadinya, saat awal mula mengenalnya. Hamka menyampaikan dengan apa adanya.

Surat yang dibuat itu bukanlah sembarang surat. Bukan surat ala kadar menanyakan kabar masing-masing, seperti surat kebanyakan lainnya. Surat itu mengurai peran keturunan Arab di Indonesia dengan pernak-perniknya yang mengagumkan. Buya Hamka pun bicara berterus terang dalam surat yang kental dengan sejarah ini sampai hal sekecilnya, tapi punya makna sosiologis tidak kecil. Misal, satu aspek yang dilihatnya, dan itu tentang songkok yang dipakai orang-orang Arab saat itu. Katanya, Arab singkek (wulaiti) dan yang keturunannya (muwalad), itu bisa tergambar dari “songkok” kepala yang mereka pakai.

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini