spot_img
Rabu, Mei 8, 2024
spot_img

Indonesia Mau ‘Buang Dolar’, Apa Dampaknya?

KNews.id- Tren langkah membuang dolar Amerika Serikat (AS) atau de-dolarisasi sedang dilakukan oleh beberapa negara maju seperti Rusia, China dan Jepang. Tak hanya negara maju, negara berkembang pun mulai melakukan hal serupa, agar mata uang lokal dapat digunakan untuk transaksi antarnegara maupun memperkuat transaksi di dalam negeri.

Di kawasan Asia Tenggara, Thailand dan Malaysia, bahkan Indonesia pun tak kalah dengan China, Jepang dan Rusia. Sementara di Afrika, negara Zimbabwe pun pernah melakukan hal yang sama. Di Indonesia, Bank Indonesia (BI) mengaku telah menuntaskan transaksi penggunaan mata uang lokal antar negara atau local currency settlement (LCS) untuk Indonesia dan China.

- Advertisement -

Gubernur BI Perry Warjiyo mengemukakan seluruh persyaratan dan teknis operasional LCS antara Indonesia dan China sudah selesai. Bahkan, bank sentral telah menunjuk beberapa bank untuk mendukung transaksi LCS Indonesia – China.

“Teknis penunjukan bank sudah selesai, sampai juga mekanisme teknisnya,” kata Perry dalam konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Edisi Juli, Kamis (22/7).

- Advertisement -

BI, sambung Perry, bahkan sudah melakukan sosialisasi kepada kementerian lembaga hingga dunia usaha. Menurutnya, LCS dapat meningkatkan ekspor nasional di masa yang akan datang.

“Insya Allah LCS akan berkontribusi mendorong ekspor,” kata eks Deputi Gubernur BI tersebut.

- Advertisement -

LCS sendiri merupakan kerja sama antara bank sentral Indonesia dengan sejumlah bank sentral negara lain. Kerja sama ini memperbolehkan penggunaan mata uang lokal setiap kali berlangsung transaksi perdagangan bilateral maupun investasi.

Dengan kerja sama LCS, maka kedua negara bisa sama-sama mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Artinya dalam setiap transaksi, kedua negara tak lagi perlu untuk menukar dolar seperti yang saat ini dilakukan.

Transaksi di LCS ini mencakup penggunaan kuotasi nilai tukar secara langsung serta perdagangan antar bank untuk mata uang negara tersebut dan rupiah. Selain itu ada juga sharing informasi dan diskusi secara berkala antar otoritas.

Kesepakatan LCS antara Indonesia dengan Jepang, Thailand dan Malaysia sudah berjalan lebih dulu. Pengusaha cukup banyak yang memanfaatkan hal tersebut. Terbaru adalah dengan China.

China yang merupakan mitra dagang utama Indonesia. Dalam 6 bulan tahun ini, ekspor non migas ke China mencapai US$ 21,2 miliar dan impor US$ 25,2 miliar. Kedua negara telah telah menyelesaikan mekanisme teknis dari pelaksanaan LCS.

“Teknis penunjukkan bank sudah selesai, sampai juga mekanisme teknisnya,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Edisi Juli.

Dalam waktu dekat kalangan dunia usaha sudah bisa memanfaatkan fasilitas tersebut. Sehingga tujuan dari adanya LCS bisa tercapai.

“LCS ini tidak hanya memfasilitasi pembayaran perdagangan melalui LCS yaitu yuan dan rupiah tapi kita arahkan melakukan implementasi berbagai program pendalaman pasar uang sehingga tidak hanya mata uang untuk transaksi tapi bagaimana dari mekanisme ini mendukung transaksi valuta asing rupiah yuan,” terangnya.

Selama ini di Indonesia, transaksi tersebut memang menggunakan dolar Amerika Serikat (AS). Sehingga menimbulkan risiko ketidakpastian yang cukup tinggi. Seperti dalam beberapa tahun terakhir, ketika Indonesia ingin menggenjot perekonomian, maka lonjakan impor tidak terhindarkan. Di waktu yang sama Indonesia juga membutuhkan pasokan dolar AS untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang.

Bila ditambah dengan sentimen negatif dari global atau dalam negeri, nilai tukar rupiah sulit untuk dikendalikan alias pelemahan. Meskipun BI tetap berupaya keras mengkondisikan rupiah stabil sesuai fundamentalnya. Walaupun hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi rupiah, namun ada dampak negatif jika langkah ‘buang dolar’ dilakukan.

Usaha mengguncang dolar ini pasti menimbulkan ketidakpastian baru dalam ekonomi global. Dalam jangka panjang keseimbangan yang timbul dalam penggunaan mata uang antarnegara akan menciptakan sistem ekonomi moneter yang bebas guncangan. Namun hal ini tentu tidak berlaku dalam jangka menengah.

Dalam jangka menengah, keseimbangan yang timbul oleh akibat keragaman mata uang yang digunakan justru akan mengakibatkan ketidakpastian ekonomi menjadi pasti. Dan, beberapa ekonom beranggapan bahwa kontraksi ekonomi cenderung ke arah resesi yang terjadi saat ini salah satunya karena mulai berkurangnya dominasi dolar AS dalam transaksi global, sehingga kepastian ekonomi justru membawa dampak yang buruk terhadap pertumbuhan ekonomi global.

Apalagi, hal ini akan membuat AS menjadi pihak yang dirugikan. Dan pastinya, AS tidak akan tinggal diam dalam menyikapi hal ini. Tak hanya negara maju dan negara berkembang yang pertumbuhan ekonomi sudah cukup bagus. Negara Zimbabwe juga pernah melakukan de-dolarisasi.

Namun, alasan Zimbabwe melakukan buang dolar tidak sama seperti negara-negara besar itu. Jika Rusia, China dan negara maju lainnya membuang dolar karena ingin mengurangi pengaruh Amerika Serikat (AS) dan dolar pada negara mereka, alasan Zimbabwe membuang dolar adalah karena ‘gagal’ dalam memulihkan ekonominya yang kacau balau.

Seperti dilaporkan oleh media Bulawayo 24, Zimbabwe telah berhenti menggunakan mata uang lokalnya pada 9 April 2009 dan menggantinya dengan sekeranjang mata uang ganda seperti rand Afrika Selatan, pound Inggris, pula Botswana, yen Jepang, euro, dan dolar AS.

Langkah Zimbabwe membuang mata uang negaranya sendiri adalah karena nilainya telah tergerus oleh inflasi yang sangat tinggi pada 2017, yaitu sebesar 231 juta persen. Akibat inflasi yang liar ini negara Afrika Selatan ini mengalami de-industrialisasi dan kekurangan pasar barang-barang dan jasa-jasa pokok.

Oleh karenanya, pemerintahnya tidak punya pilihan selain menerima tuntutan pasar untuk menggunakan dolar AS dalam bertransaksi secara sah. Ini juga dilakukan setelah negara gagal meredenominasi mata uang lokal melalui penghapusan nol sebanyak tiga kali.

Digunakannya Dolar AS membuat mesin cetak uang bank sentral kelebihan dana, tetapi hal itu mampu menstabilkan ekonomi dan menjinakkan hiperinflasi. Mengadopsi banyak mata uang juga memungkinkan Zimbabwe untuk menghilangkan risiko nilai tukar, membuat tabungan, mengelola suku bunga, meningkatkan iklim investasinya, melanjutkan intermediasi keuangan, mengurangi biaya transaksi dalam perdagangan dan memperlengkapi kembali produksi melalui akses jalur kredit luar negeri.

Akibat hal itu, tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun, di mana semua sektor ekonomi mencatatkan pertumbuhan berturut-turut antara tahun 2009 hingga 2015. Namun, menggunakan banyak mata uang ini ternyata memiliki dampak buruk. Penggunaan banyak mata uang asing ini membuat bisnis asing merasa diuntungkan untuk menjual barang dagangan mereka di Zimbabwe karena tingginya harga yang dibebankan secara lokal.

Sayangnya, keuntungan yang diperoleh oleh bisnis asing ini tidak disimpan di Zimbabwe sebagai tabungan atau investasi ulang sehingga mereka tidak berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Tanpa kebijakan proteksionis yang memadai, produsen lokal juga kerap kesulitan bersaing dengan impor dari negara Afrika Selatan lainnya karena mahalnya biaya produksi dalam negeri.

Pada Agustus 2015, Departemen Keuangan Zimbabwe mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Asumsi Reserve Bank of Zimbabwe (RBZ) yang melibatkan pemerintah dengan asumsi utang warisan RBZ lebih dari US $ 1,4 Miliar melalui penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (TB).

Tujuan dari RUU asumsi utang ini adalah untuk membersihkan neraca bank sentral dan memungkinkannya untuk melanjutkan peran kliringnya melalui sistem RTGS (pencetakan uang elektronik).

Akibat hal ini, pasokan uang negara tumbuh lebih dari US$ 1 miliar dalam waktu kurang dari 12 bulan dan akun valuta asing Nostro menurun karena eksternalisasi mata uang asing. Investor yang waspada mulai melepas TB bertenor 5 tahun di pasar lokal dengan diskon untuk kredit luar negeri. Ini terjadi setelah bank sentral negara semakin jelas terlihat tidak memiliki kemampuan untuk membayar TB dalam mata uang asing tanpa mencetak mata uang lokal dalam waktu dekat.

Akhirnya, pada 24 Juni 2019 pemerintah pun mencetak dolar Zimbabwe dengan pelarangan multicurrency. Mata uang lokal mulai diperdagangkan di pasar antar bank pada Februari 2019, tetapi telah kehilangan lebih dari 85% nilainya dalam 8 bulan terakhir. Inflasi resmi telah melonjak lebih dari 353% pada September 2019 dan ekonomi Zimbabwe sama berfluktuasinya dengan mata uang yang digunakannya. (Ade/cnbc)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini