KNews.id – Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita menilai aturan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang merupakan revisi dari Permendag nomor 50 tahun 2020 hanya bersifat kebijakan jeda bukan solusi.
“Permendag yang baru setidaknya memang bisa menyenangkan para pihak yang mengeluhkan soal pengaruh social ecommerce atas penjualan UMKM. Namun, untuk membendung saya pikir susah. Kita dan China punya kebijakan domestik yang berbeda,” kata Ronny.
“Sudahlah biaya produksi dan tingkat efisiensi produksi di China sangat rendah dibanding di sini, lalu diberi subsidi pula, maka sudah bisa dibayangkan hasilnya, yakni harga yang sangat murah,” ujarnya.
Menurut Ronny, China melakukan itu karena faktor struktural. Pertumbuhan ekonomi China berbeda dengan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi China ditopang oleh ekspor dan investasi asing. Sementara, kontribusi konsumsi rumah tangganya di bawah 50 persen, sekitar 30 persen. Maka saat pertumbuhan ekonomi global mulai melandai, tepatnya sejak krisis finansial 2008, permintaan atas produk China otomatis ikut terpengaruh.
Bahkan China sampai saat ini belum juga berhasil melakukan rebalancing ke konsumsi rumah tangga, sehingga pertumbuhan ekonominya masih bertumpu pada ekspor.
“Nah, daripada permintaan ekspor turun, lalu produsen pada gulung tikar, lalu terjadi PHK masal, China akhirnya memilih langkah subsidi masif, agar produknya menjadi sangat kompetitif alias sangat murah,” ujarnya.
Daripada dihadapkan pada situasi PHK masal, China memilih langkah subsidi besar-besar, sampai proses rebalancing membuahkan hasil, di mana tingkat kontribusi konsumsi rumah tangga pada pertumbuhan bisa naik sampai ke level 50-60 persen. Di sisi lain, Pemerintah bisa saja melarang atau menaikan tarif beamasuk, tapi tentu ada point-point free trade antara Asean dan China yang harus dipatuhi.
Tapi jika terpaksa bisa dilakukan, selama Pemerintah Indonesia juga berani menerima resiko jika China melakukan balasan dengan menerapkan tarif bea masuk pada komoditas kita.
“Jadi, pembatasan hanya bersifat sementara, sebagai kebijakan jeda. Karena pada intinya, kemampuan bersaing dengan produk luar terletak pada produk kita, apakah produk kita bisa bersaing, baik secara kualitas maupun secara harga. Jadi kebijakan ini sebenarnya adalah instrospeksi bagi pemerintah untuk fokus pada kapasitas produksi nasional, dari UmKM sampai korporasi domestik,” tegasnya.
Terbukti kebijakan infrastruktur Jokowi hanya mempermurah biaya tanspor barang-barang impor, bukan mempermudah biaya transpor barang dalam negeri untuk diekspor, karena kapasitas produksi nasional tak disentuh oleh pemerintah. Lihat saja industri TPT/Tekstil, nyaris gulung tikar semua. Padahal infrastruktur sudah dibangun di mana-mana.
“Saya sudah sejak 2018 lalu mengingatkan soal infrastruktur tersebut, kalau tak mendukung kapasitas produksi nasional, maka hanya akan menjebak BUMN ke dalam utang dan akan menenggelamkan produk dalam negeri kita, karena penikmatnya secara ekonomi bukan produk kita, tapi produk impor yang semakin lancar masuk sampai ke pedalaman, karena infrastrukturnya sudah sampai ke desa-desa,” pungkasnya. (Zs/LPN.6)