spot_img
Minggu, Mei 5, 2024
spot_img

Saham Bank BUMN Penerima Rp30 T Malah Melemah?

KNews.id- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi menempatkan dana pemerintah ke bank BUMN senilai Rp 30 triliun. Benarkah untuk membantu ekspansi kredit, ataukah untuk menambah likuiditas di tengah tingginya beban finansial untuk restrukturisasi?.

Tata-cara penempatan dana tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 70/PMK.05/2020 yang juga merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 (PP 23/2020) tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

- Advertisement -

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi menempatkan dana pemerintah ke bank BUMN senilai Rp 30 triliun. Benarkah untuk membantu ekspansi kredit, ataukah untuk menambah likuiditas di tengah tingginya beban finansial untuk restrukturisasi?.

Tata-cara penempatan dana tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 70/PMK.05/2020 yang juga merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 (PP 23/2020) tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

- Advertisement -

Saham BBRI, misalnya, terkoreksi 2,24% dari Rp 3.120 ketika pengumuman penempatan dana PEN, menjadi Rp 3.050 pada akhir pekan lalu. Saham BBNI terkoreksi paling parah yakni sebesar 3,8% menjadi Rp 4.560 per saham, sedangkan BMRI tertekan 2,9% menjadi Rp 5.000 per unit.

Padahal, sentimen pasar sedang bagus-bagusnya karena perkembangan positif vaksin corona dan mulai ekspansifnya manufaktur negara maju. Manufaktur AS tercatat berekspansi pada Juni, tercermin dari angka PMI manufaktur versi ISM pada 52,6. PMI manufaktur China versi Caixin/Markit di level 51,2. Angka di atas 50 mengindikasikan ekspansi aktivitas manufaktur.

- Advertisement -

Saham BBTN menjadi satu-satunya yang menguat, yakni sebesar 1,23% ke level Rp 1.230 per saham. Lalu apa yang “salah” dari penempatan dana PEN? Mari kita ulas lebih jauh..

Penempatan dana Rp 30 triliun itu merupakan tahap pertama selama paling lama 6 bulan sesuai Pasal 7 No.70/PMK.05/2020. Bank mitra dilarang membebankan biaya pelayanan (termasuk biaya administrasi) serta memungut remunerasi yang diperoleh dari penempatan uang itu.

Namun sebagaimana dijelaskan di atas, pemerintah mengutip remunerasi berupa bunga dari dana tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 PMK tersebut. Besar bunganya tidak boleh kurang dari bunga yang diraih Kemenkeu ketika menempatkan dana di Bank Indonesia (BI).

Dengan asumsi bahwa bunga yang diberikan adalah terdiskon 80% dari BI 7-Day Reverse Repo Rate, maka bank penerima dana tersebut (atau disebut Bank Peserta) mesti memberi bunga kepada Kemenkeu sebesar 3,8%.

Angka tersebut masih lebih rendah ketimbang rerata bunga deposito berjangka 6 bulan yang saat ini berkisar di level 5,4%. Namun jika diakumulasi, maka dana Rp 30 triliun akan berujung pada bunga sebesar Rp 1,24 triliun yang dibayarkan 6 bulan kemudian.

Pertanyaannya, bisakah keempat bank BUMN tersebut memutar dana Rp 30 triliun ke sektor riil dengan daya ungkit (leverage) 3 kali lipat, menjadi bernilai komersial Rp 90 triliun dalam Produk Domestik Bruto (PDB) seperti harapan Menkeu dan janji para bos bank BUMN?

Di tengah kondisi pandemi, hal tersebut bakal sangat menantang. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan sepanjang 2019 penyaluran kredit perbankan hanya tumbuh 6,08% menjadi Rp 5.600 triliun, dan tahun ini diperkirakan melambat, menjadi 4%.

Itupun masih dibayangi tantangan restrukturisasi kredit, yang menurut data OJK per 22 Juni 2020 telah mencapai Rp 695,34 triliun, terdiri dari kredit sektor UMKM sebesar Rp 307,8 triliun, dan non UMKM Rp 387,52 triliun.

Dari sisi pengusaha, nada ekspansi juga masih jauh panggang dari api. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani justru memprediksi pengajuan restrukturisasi kredit perbankan bisa melonjak mencapai Rp 2.500-Rp 2.800 triliun akhir tahun ini jika stimulus tidak cepat diberikan ke dunia usaha.

Sebagai likuiditas, dana PEN membantu para bos bank BUMN jika mereka menghadapi kondisi likuiditas ketat. Namun sayangnya, kendala tersebut kini dihadapi oleh bank buku III dan bukannya bank buku IV. Tidak heran, saham BBTN sebagai bank buku III menguat sejak pengumuman dana PEN. Ada likuiditas tambahan bagi mereka.

Sementara itu, saham bank lain melemah karena mereka dibebani dengan liabilitas tambahan di tengah ekonomi yang menantang. Mereka dituntut memutar uang ketika pelaku usaha berkonsolidasi dan malah minta restrukturisasi, bukannya berekspansi.

Semestinya, Kemenkeu sejak awal memberikan pemahaman lugas kepada pasar bahwa dana itu memang ditujukan untuk membantu industri menghadapi tekanan pandemi. Sebagaimana digariskan dalam PP 23/2020, Bank Peserta membantu Bank Pelaksana (yakni bank umum yang melakukan restrukturisasi kredit) dengan memberi dana penyangga.

Ini tentu saja sebuah skema penyelamatan yang cukup ideal dan berdampak positif untuk industri. Namun, jangan sampai tujuan positif itu tertelan oleh kesan bahwa bank pelat merah sedang dituntut untuk “memancing lebih banyak ikan di tengah lautan badai”. (FHD)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini