spot_img
Kamis, Juni 27, 2024
spot_img

Prabowo Disebut Bakal Naikkan Rasio Utang RI, Ini Dampaknya ke Ekonomi

KNews.id – Pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto disinyalir akan mengubah beberapa indikator dalam Undang-Undang Keuangan Negara, seperti batasan defisit hingga rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Langkah ini disebut-sebut akan ditempuh untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan terhadap janji-janji kampanyenya saat Pilpres 2024, salah satunya program makan siang gratis atau yang kini disebut makanan gizi gratis bagi anak sekolah. Porsinya Rp 15.000 per siswa, dengan kebutuhan anggaran sekitar Rp 450 triliun setahun.

- Advertisement -

Sementara itu, rancangan awal defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN untuk 2025 yang didesain pemerintahan saat ini batas atasnya sudah mencapai 2,82% atau mendekati batas yang diatur dalam UU Keuangan Negara 3% PDB. Sedangkan batas bawahnya yang dipatok 2,45% sudah di atas target defisit 2024 sebesar 2,29%, dan jauh melebihi realisasi defisit APBN 2023 sebesar 1,65%.

Batasan defisit yang ditetapkan dalam UU Keuangan Negara sebagaimana diketahui termuat dalam bagian penjelasan Pasal 12 ayat 3. Pengelasan pasal itu menyebutkan maksimal defisit anggaran ialah 3% dari PDB dengan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB. Indikator batasan-batasan itulah yang kabarnya akan diubah pada masa pemerintahan Prabowo.

- Advertisement -

Di Parlemen yang mengetahui rencana itu menyebutkan, celah pengubahan batasan defisit dan rasio utang tersebut akan dilakukan Prabowo karena tidak ditetapkan dalam pasal di UU Nomor 17 Tahun 2003, melainkan hanya di dalam bagian penjelasan pasal. Apalagi, UU ia katakan bukanlah kitab suci agama yang tak bisa diubah-ubah.

Proses pengesahan atau perubahan UU pun sumber ini ungkapkan bisa cepat dilakukan dalam hitungan mingguan, yakni sekitar dua pekan, meskipun ada juga yang membutuhkan waktu tahunan. Pengesahan RUU tercepat yang telah dilakukan DPR diketahui terjadi saat pengesahan RUU IKN menjadi UU, sebagaimana catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).

- Advertisement -

Media asing juga telah menyoroti kemungkinan melonjaknya angka defisit dan rasio utang itu. Seperti yang dilaporkan Bloomberg dalam artikel berjudul “Prabowo Aims to Raise Indonesia Debt-to-GDP Ratio Toward 50%”. Disebutkan dalam laporan itu, untuk rasio utang sendiri akan ditingkatkan selama lima tahun ke depan hingga mendekati 50%.

Bahkan, sejumlah ekonom memandang, persoalan potensi pelebaran defisit itu menjadi salah satu faktor pendorong sentimen negatif pelaku pasar keuangan terhadap Indonesia. Memicu tambahan tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang melemah di atas Rp 16.000/US$, hingga akhirnya Jumat siang (14/6/2024) sempat menyentuh level Rp 16.400, meski akhirnya ditutup di Rp 16.395/US$.

Ekonom Senior & Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto mengatakan, sentimen terhadap pembengkakan defisit itu diperburuk dengan munculnya keputusan Morgan Stanley yang menurunkan peringkat investasi di pasar modal Indonesia menjadi underweight karena salah satu pertimbangannya soal defist APBN 2025 yang membengkak.

Menurut Morgan Stanley janji kampanye Prabowo Subianto, seperti program makan siang dan susu gratis untuk pelajar, dapat menimbulkan “beban fiskal yang besar.” Hal tersebut semakin diperparah oleh prospek pendapatan Indonesia yang juga akan memburuk. Selain itu, mereka juga menyoroti permasalahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah.

“Kalau dibilang itu menjadi salah satu faktor yang membuat rupiah kita melemah beberapa hari terkahir itu iya, bisa diterima, karena riset Morgan Stanley menyatakan mendiskon semua stok harga saham di pasar modal, kan gitu,” ungkap Ryan.

“Kalau kita bicara pasar modal kaitannya bicara pasar uang, otomatis apa yang diekspos Morgan Stanley memberi sentimen negatif ke pasar uang kita, di mana lalu sebagain pelaku pasar uang kita mendiskon mata uang rupiah kita karena terbawa sentimen negatif yang dibawa Morgan Stanley,” tegasnya.

Namun, Ryan mengingatkan, pelemahan nilai tukar rupiah yang makin mendalam saat ini tentu tidak hanya dipicu oleh sentimen negatif terhadap defisit itu, sebagaimana laporan Morgan Stanley. Sebab, juga dipengaruhi faktor eksternal, seperti Bank Sentral AS The Fed yang kembali mempertahankan suku bunga acuannya tetap tinggi di level 5,25%-5,50%, sehingga indeks dolar ikut menguat.

“Tapi pada saat yang sama sebulan terkahir saya cermati berbagai pemberitaan domestik nyaris enggak ada berita positif, terutama terkait masalah ekonomi. Yang ada justru cerita-cerita termasuk negative news seperti mengenai ribut-ribut Tapera, kemudian ribut-ribut mengenai defisit APBN kita tahun depan yang jadi polemik itu,” kata Ryan.

Menurut Ryan sentimen negatif soal pembengkakan defisit itu tidak bisa dikesampingan pemerintah, termasuk sentimen negatif yang muncul akibat keputusan Morgan Stanley. Sebab, ia mengingatkan, bentuk langkah apapun yang dilakukan lembaga asing itu memiliki pengaruh besar terhadap sentimen investor di tingkat global.

“Pengalamannya sudah bertahun-tahun sampai Morgan Stanley punya indeks MSI yang jadi acuan pelaku pasar modal di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Jadi kalau Morgan Stanley merilis keputusan menurunkan bobot pasar modal di Indonesia itu dirujuk seluruh inevstor dunia,” ucap Ryan

Oleh sebab itu, ia mengingatkan kepada pemerintah pentingnya merespons langkah Morgan Stanley dengan membuat pernyataan khusus yang jelas sinyalnya kepada para investor, bahwa apa yang mereka takutkan itu tidak terjadi, bukan malah menganggap remeh laporan itu dan mengesampingkannya.

“Sebaiknya pemerintahan sekarang dan yang mendatang menyiapkan berbagai perangkat kebijakan termasuk counter argument terhadap publikasi Morgan Stanley. Tujuannya untuk mengembalikan kepercayaan karena ini urusannya kepercayaan pasar yang ketika tereduksi keluar dia,” tutur Ryan.

Hal senada disampaikan Ekonom dari Universitas Diponegoro (Undip) Wahyu Widodo. Ia menyebutkan persoalan defisit anggaran lebih berpengaruh kepada faktor psikologis dan kepercayaan pasar. Maka ketika spekulasi liar muncul otomatis akan membuat mereka bergerak keluar, seperti halnya di pasar keuangan, termasuk pasar modal.

“Secara teoritis, defisit APBN masih aman karena masih di bawah 3%, tetapi jika dilihat dari defisit tahun sebelumnya yang sudah rendah, kenaikan target defisit 2025 menimbulkan banyak spekulasi pasar terutama terkait dengan APBN transisi yang untuk pemerintah baru. Terlebih kemudian direspon oleh Morgan Stanley dengan penurunan peringkat saham RI, tentu ini menjadi sentimen negatif terhadap perekonomian domestik termasuk nilai tukar,” ujar Wahyu.

Bank Indonesia (BI) pun mencatat, berdasarkan transaksi sepanjang tahun ini hingga 13 Juni 2024, aliran modal asing secara neto telah keluar Rp35,09 triliun di pasar SBN, demikian juga keluar secara neto di pasar saham sebesar Rp10,40 triliun, dan masuk alirannya senilai Rp108,90 triliun hanya ke SRBI.

Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan, sejak pekan lalu memang ada tekanan di pasar modal Indonesia yang menyebabkan dolar banyak keluar dari dalam negeri. “Kita lihat memang sejauh ini year to date dari awal tahun itu asing kecenderungan jual di pasar obligasi, tapi beberapa minggu terkahir ini ada tekanan juga di pasar saham,” tuturnya.

Salah satu pemicunya memang disebabkan keputusan mereka untuk mengurangi porsi kepemilikan saham di Indonesia dengan memindahkan porsi sahamnya itu ke negara lain. Ini yang sebetulnya juga dilakukan oleh Morgan Stanley dengan menurunkan peringkat pasar saham RI menjadi “underweight.” Penurunan itu memiliki arti alokasi perusahaan Indonesia dalam portofolio pasar Asia dan negara berkembang milik mereka akan dikurangi.

“Banyak fund manager yang melakukan repositioning, jadi ini sebenarnya sifatnya teknikal dan biasanya itu temporer. Biasanya mereka melakukan relokasi antar negara, bisa intra region atau dengan region lain,” tutur David.

“Jadi kami melihatnya lebih dari sisi faktor sentimen dan reposisi dari alokasi likuditas dari fund-funs manager regional,” ujarnya.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas sebetulnya sudah buka suara ihwal keputusan Morgan Stanley menurunkan peringkat investasi di pasar modal Indonesia karena alasan pelemahan rupiah dan beban fiskal yang menantang jelang pelantikan presiden terpilih RI 2024-2029 Prabowo Subianto.

Suharso menegaskan, sentimen tersebut seharusnya tidak muncul karena pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto lebih mengarahkan belanja negaranya pada program-program yang sifatnya investasi atau belanja modal, bukan belanja yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan belanja barang hingga akhirnya menambah beban belanja rutin.

Ia pun menegaskan, program-program yang menjadi andalan pemerintahan Prabowo ke depan juga sudah masuk ke dalam rentang defisit yang telah dirancang pemerintah dalam APBN 2025, di antaranya program makan siang gratis atau makanan bergizi gratis untuk anak sekolah, hingga keberlanjutan program pembangunan infrastruktur seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Kan pos-pos kamar sudah ada cuma angka yang belum. Ada sebagian besar kamar-kamarnya ada, contohnya yang sifatnya keberlanjutan infrastruktur, percepatan hilirisasi, makan siangnya, ada,” tutur Suharso.

Lagi pula, dia menegaskan saat ini defisit APBN 2025 yang dirancang pemerintah masih tahap sangat awal dan masih ada pembahasan panjang dengan DPR. Selain itu, kebutuhan anggaran yang tengah diajukan tiap kementerian atau lembaga (K/L) juga masih dalam bentuk pagu indikatif, bukan angka resmi yang telah didasari atas kesepakatan antara DPR dan Pemerintah.

“Ini kan belum, masih pagi indikatif K/L yang menggunakan RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional) lama. Nanti setelah pembahasan ini kita lihat, kita sinkronisasi dengan program-program pak Prabowo,” ucap Suharso.

(Zs/cnbc)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini