Karena menarik dana ribuan triliun Rp dari para wajib pajak dan bea, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai adalah tempat yang sangat rawan penyelewengan, sehingga penerimaan negara akan berkurang. Mega skandal pajak di atas, yang diyakini merupakan satu dari sekian banyak kasus serupa, tentu saja siginifikan mempengaruhi capaian penerimaan negara dari pajak.
Jenis-jenis kejahatan pajak yang sering terjadi di Indonesia meliputi: Tidak melaporkan usaha untuk didaftarkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; Gagal menyerahkan dokumen seperti SPT atau dokumen resmi; Gagal membayar bagi pajak wajib; Informasi yang tidak lengkap, dipalsukan, atau tidak akurat yang diberikan kepada otoritas pajak; Menyalahgunakan atau pengguna tidak sah Pengusaha Kena Pajak; dan Gagal atau menolakan memenuhi kewajiban perpajakan.
Penyelewengan lain dapat berupa *kejahatan sarat moral hazard di sisi hulu* oleh oknum-oknum penguasa oligarkis. Oknum-oknum tersebut bekerja membuat kebijakan dan peraturan bermasalah, serta berbagai tindakan bernuansa moral hazard yang melibatkan wajib pajak dan oknum aparat pemerintah hingga ke level-level atas. Mereka bisa saja mengatur sehingga windfall profit tax dibuat rendah atau ditiadakan! Kebijakan pajak, pungutan, bea ekspor dan harga terkait sawit/CPO dibuat sedemikian rupa, sehingga pendapatan negara tidak optimal atau bahkan harga migor pun naik.
Salah satu contoh, naiknya harga batubara dunia membuat Pengusaha batubara Low Tuck Wong menjadi orang terkaya di Indonesia (30/12/2022). Sementara, penerimaan negara tidak terlalu signifikan naik. Jika kebijakan pajak dan royalti konstitusional dan objektif, maka negara dan rakyatlah yang harus mendapat manfaat terbesar, bukan pengusaha SDA!.