KNews.id- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memastikan kondisi perbankan domestik pada saat ini masih tetap normal kendati tetap harus waspada. Dalam kondisi ini, LPS menyatakan telah menyiapkan sejumlah strategi untuk memperkuat sektor perbankan domestik di tengah belum meredanya pandemi virus corona (Covid-19).
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menegaskan, dengan aset yang saat ini dikelola oleh LPS sebesar Rp 120 triliun, hanya bisa cukup menangani empat hingga lima bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan bukan bank dengan kategori besar dan berdampak sistemik. Skenario yang disiapkan adalah membagi aset sebesar 50% atau Rp 60 triliun dalam bentuk repurchase agreement (repo) atau gadai ulang kepada Bank Indonesia (BI) dan 50% lainnya untuk membayar repo pada tiga bulan kemudian.
“[Sebanyak] 4-5 bank
masih bisa ditangani LPS, [tapi] kalau sudah masuk ke bank besar, atau bank
sistemik, saya rasa sudah tidak mungkin LPS punya kemampuan keuangan,”
kata Halim, dalam Rapat Kerja Virtual dengan Komisi XI DPR.
LPS telah berkomunikasi juga dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk
bersama-sama menghadapi potensi memburuknya ekonomi ini.
“Berdasarkan stress test,sudah
masuk ke wilayah yang bisa dikatakan sistemik, kami sedang merancang aturan
main, bagaimana OJK dan LPS itu bisa mengusulkan adanya meeting yang sifatnya tidak normal.”
Sebagai informasi, stress test adalah alat manajemen risiko yang
biasa digunakan untuk menilai kecukupan tingkat ketahanan permodalan dan
kecukupan likuiditas bank dalam menghadapi perubahan dan shock pada kondisi
makroekonomi. Berdasarkan hitungan LPS pada skenario paling berat, setidaknya
ada delapan bank yang berpotensi.
“Kita sudah melakukan stress test dari skenario berat terjadi, ada
potensi 8 bank yang dalam potensi kriteria yang ada. Itu semua sangat
tergantung kapan diserahkan kepada LPS,” kata Direktur Eksekutif LPS, Lana
Soelistianingsih, dalam kesempatan yang sama.
Di tengah pandemi
seperti ini, dampak kesulitan likuiditas mulai dirasakan bank-bank di daerah. Anggota
Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar, Muhidin M. Said, dalam Rapat Kerja Virtual
dengan LPS, menerangkan, banyak kantor cabang di daerah yang harus menutup
opeasionalnya karena pandemi virus corona. Dengan kondisi ini, terjadi
penumpukan nasabah karena mereka menarik uang secara bersamaan.
Selain
membahayakan dari sisi kepercayaan masyarakat karena terjadinya rush, kondisi
ini juga melanggar aturan kebijakan pembatasan sosial untuk mengurangi
penularan virus corona. Karena itu, ia meminta OJK dan LPS memastikan
ketersediaan likuiditas bank di daerah tetap tersedia.
“Saya dapat
info di daerah banyak penutupan outlet cabang di kota yang terjadi penumpukan
nasabah menarik uang luar biasa, ini berbahaya sekali, kalau terjadi ada bank
yang sudah tidak punya likuiditas, bank ini adalah bisnis kepercayaan, kalau
ada pembatasan cabang ini sangat berbahaya,” terang Muhidin, Kamis.
Merespons
situasi tersebut, Halim menjelaskan, pihaknya akan melakukan pengecekan lebih
lanjut bersama dengan OJK guna memastikan ketersediaan likuiditas di masa
pandemi Covid-19.
Tidak hanya
itu, kondisi pelik juga dialami sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
berstatus gagal. Namun, LPS menegaskan tidak memiliki opsi untuk menyelamatkan
BPR karena masalah yang sudah terlalu berat.
“Kemudian, dalam
konteks BPR, kita tidak memiliki opsi melakukan bisa menolong BPR. Ini dalam
perhitungan yang ada agak sulit dilakukan. Karena kalau sudah masuk ke BPR,
kerugiannya sudah sangat berat, yang disampaikan OJK kepada kami CAR [Capital Adequacy
Ratio, rasio kecukupan modal]-nya bisa minus 200%-300% persen, artinya sudah
ada kerugian sebesar itu. Untuk BPR recovery rate-nya sangat rendah,” kata
Halim.
Halim menuturkan, dalam situasi seperti sekarang ini banyak yang gagal karena
kegiatan bisnis tidak menguntungkan karena banyak program pemerintah yang
menjadi saingan BPR. Ini membuat jumlah BPR terus menyusut, jumlahnya tinggal
1.700 perusahaan.
Status bank gagal yaitu, suatu keadaan di mana operasional bank tertentu dapat
dihentikan oleh otoritas pengawasan perbankan. Saat ini, menurut Halim, banyak
Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang memberikan dana kepada DPR. Ini menyebabkan
banyak sekali tagihan BPD kepada BPR.
“Ini masuk wilayah
pemantauan kami. Untuk BPR, ini tentu akan kita diskusikan dengan OJK (Otoritas
Jasa Keuangan). Dalam hal misalnya kemungkinan terutama BI bisa memberikan
semacam dana talangan BPR dalam kondisi sangat tidak normal, tentu ini bisa
dilakukan melalui BI,” kata mantan Deputi Gubernur BI ini.
Sementara untuk penguatan modal BPD, pemerintah daerah bisa mengeluarkan surat utang (municipal
bond) untuk menolong BPR tersebut. Namun itu semua tergantung kesiapan BPD dan
BI.
Ada sejumlah langkah mitigasi yang saat ini sedang dikaji LPS untuk meningkatkan kepercayaan kepada masyarakat, di antaranya adalah mewacanakan untuk menaikan batas nilai simpanan nasabah yang dijamin, di atas Rp 2 miliar atau seluruh simpanan dijaminkan.
“Respons kebijakan
yang ditempuh adalah bagaimana menjamin atau mengembalikan kepercayaan
masyarakat. Salah satunya bagaimana memperluas program penjaminan, dengan
menaikkan nilai jaminan, bisa memperluas simpanan yang dijamin, dan apabila
kalau itu belum cukup bisa menjamin seluruh simpanan yang ada di bank,”
kata Halim.
LPS memberikan catatan, menaikkan batas perlindungan dana nasabah di atar Rp 2
miliar akan ditentukan dari situasi yang ada, tergantung pergerakan dana
simpanan, pergerakan simpanan antar bank dan perilaku masyarakat dalam menarik
dana.
Sebenarnya, melalui Perppu nomor 1 tahun 2020, LPS diberikan kewenangan untuk melakukan langkah ekstrem, termasuk penjaminan secara penuh. Bukan hanya dalam bentuk kewajiban simpanan, tapi juga bank non simpanan.
“Ini
sebagai langkah terakhir sebagai full guarantee. Pengalaman kita ini memiliki
moral hazard yang tinggi. Sehingga diperlukan pengawasan yang tinggi dan
monitoring yang ketat,” kata Halim beberapa waktu lalu.
Selain
itu, LPS juga berencana memberikan keringanan kepada bank anggota penjaminan
dengan menunda iuran premi tahunan yang dibayarkan bank kepada LPS sebesar 0,2%
dari rata rata simpanan. Namun, usulan skema ini akan dibahas lebih lanjut
dengan Kementerian Keuangan.
“Ini menjadi opsi, apakah memberikan penundaan [premi tahunan], tergantung situasi. Ini dimungkinkan untuk memberikan penundaan pembayaran premi kepada LPS, kami akan konsultasi dengan Menteri Keuangan,” pungkasnya. (Fahad Hasan&DBS)