spot_img
Senin, Juni 17, 2024
spot_img

Batalkah Wudhu Jika Suami Istri Bersentuhan?

KNews.id – Persoalan batal atau tidaknya wudhu saat suami dan istri bersentuhan menjadi salah satu persoalan yang masih sering dibahas oleh sebagian umat muslim. Bagi pasangan suami istri yang sudah lama menikah, persoalan ini mungkin bukanlah sesuatu hal baru yang harus diketahui.

Namun bagi pasangan yang baru saja menikah, hal ini mungkin merupakan hal yang baru dan harus segera dipahami. Pasalnya, persoalan hukum bersentuhan antara suami istri setelah wudhu ini pada akhirnya juga menyangkut ibadah utama, yakni shalat.

- Advertisement -

Berkaitan dengan hukum suami istri bersentuhan setelah berwudhu, ada beberapa pendapat yang beredar di kalangan masyarakat. Pada umumnya, banyak masyarakat di Indonesia memegang pendapat bahwa batal wudhu jika bersentuhan dengan suami atau istri.

Sementara pendapat lain ada yang menyatakan sebaliknya, tak batal wudhu jika bersentuhan antara suami dengan istri. Sebagaimana diketahui, setelah berwudhu, umat muslim dilarang bersentuhan dengan lawan jenis, terutama yang bukan mahramnya. Sebab hal itu dapat membatalkan wudhu.

- Advertisement -

Akan tetapi, di samping itu, antara pria dan wanita yang sudah resmi menikah, maka telah menjadi pasangan mahram dengan status suami istri.

Lantas bagaimana hukum yang sebenarnya?

- Advertisement -

Hukum suami istri bersentuhan dalam keadaan wudhu

Mengenai persoalan hukum bersentuhan antara suami dan istri dalam keadaan berwudhu sebenarnya sudah pernah dibahas oleh dai kondang Ustad Abdul Somad.

Dalam sebuah tayangan video yang pernah diunggah oleh kanal YouTube Wasilah Net, Ustad Abdul Somad mengatakan, terkait hukum bersentuhan kulit antara suami dan istri dalam keadaan berwudhu, ada perbedaan pendapat atau khilafiyah dari para ulama besar.

Menurut Imam Abu Hanifah ra, pendiri mazhab tertua yakni mazhab Hanafi, jelasnya, bersentuhan antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu.

“Menurut mazhab Hanafi, mazhab yang paling tua dulu, namanya Imam Abu Hanifah, mazhabnya Hanafi. Tinggal di Kufah (sekarang Iraq) meninggalnya tahun 150 H,”

“Menurut mazhab Hanafi, laki-laki dan perempuan tidak batal wudhu,” ujar Ustad Abdul Somad.

“Karena makna ayat: aula mastumun nisa’, kalau kamu menyentuh perempuan,” sambungnya menyebutkan potongan ayat Alquran Surah An-Nisa’ ayat 43.

Surah An-Nisa’ ayat 43 tersebut merupakan pegangan hukum bersentuhan antara laki-laki dan perempuan dalam mazhab Hanafi. Lebih lanjut Ustaz Abdul Somad menjelaskan, yang dimaksud makna menyentuh oleh mazhab Hanafi dalam ayat tersebut bukanlah bersentuhan kulit, melainkan jima’.

“Tapi karena bahasa Alquran itu tidak vulgar, maka tidak dia katakan jima’, dia katakan menyentuh. Tapi makna menyentuh disitu jima’. Jima’ baru batal wudhu. Kalau sekedar menyentuh tak batal menurut mazhab Hanafi,” terang dai yang akrab disapa UAS tersebut.

Berbeda dengan mazhab Maliki yang diimami oleh Imam Malik bin An-Nas. Menurut Imam Malik, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram lalu bersentuhan, dapat membatalkan wudhu.

Tapi dengan syarat jika sentuhan itu menimbulkan syahwat. Sementara jika tidak ada syahwat diantaranya, maka tidak batal wudhu apabila keduanya bersentuhan.

“Mazhab Maliki bersentuhan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, batal kalau ada syahwat. Kalau tak ada syahwat tak batal,” ujar UAS.

Berbeda lagi dengan pendapat dari mazhab selanjutnya, yaitu mazhab Syafi’i yang ajarannya paling ramai dianut oleh masyarakat muslim di Indonesia. Menurut Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i atau Imam Syafi’i, kata UAS, tetap batal wudhu laki-laki atau perempuan jika bersentuhan kulit.

Baik itu menimbulkan nafsu atau tidak.

“Menurut mazhab Syafi’i, asal bersentuh laki-laki perempuan, mau bernafsu tak bernafsu, batal wudhu,” jelasnya.

Buya Yahya juga memberi penjelasan serupa seperti yang diterangkan UAS terkait hukum bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, sekalipun suami istri. Lebih rinci lagi, Buya Yahya memaparkan dasar yang menjadi pegangan dari ketiga mazhab tersebut hingga menimbulkan perbedaan pendapat.

Dijelaskan Buya Yahya, bahwa Imam Syafi’i pastinya memiliki rambu-rambu saat mengambil sebuah hadist.

‘Aula mastumun nisa’ dalam Alquran surah An-Nisa’ ayat 43, kata Buya Yahya, diartikan oleh Imam Syafi’i bersentuhan, bukan bersenggama. Sementara oleh Mazhab Hanafi, itu diartikan bersenggama.

“Imam Syafi’i mengatakan: oh ini bukan bersenggama. Kenapa? Karena ada satu ayat tentang laki-laki yang berzina, kisah Mais dan lainnya berkata bahwasanya: aku hancur, aku telah berzina ya Rasulullah. Sucikan aku,”

“Kemudian Nabi mengatakan apa? La’allakala masta, mungkin kamu masih bersentuhan. Kalau artinya bersenggama, Nabi ga akan bertanya La’allakala masta, tapi Nabi pertanyaannya: mungkin kamu masih bersentuhan saja,”

“Tidak kami melakukan ya Rarusullah. Baru meningkat, la’allaka qabbalta mungkin kamu nyium saja. Tidak ya Rasulullah aku melakukan, la’allaka faghata mungkin tidak sampai masuk’,”

“Berarti apa? ada empat martabatnya. Yang pertama ‘lamasa’. Dalam hadist artinya bersentuhan tangan,” jelas Buya Yahya yang dikutip dari salah satu video YouTube Al-Bahjah TV.

Sementara itu, lanjutnya, Mazhab lainnya memberi makna bersenggama juga punya sebab dan dalil yang kuat. Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, terang Buya Yahya, dikatakan bahwa Rasulullah melipat kaki Aisyah yang melintang, saat sedang tidur di hadapan Rasulullah yang sedang shalat secara berulang.

Hadis itulah yang menjadi dasar Mazhab Malik memegang hukum tak batal wudhu jika bersentuhan antara suami istri. Hadis itu juga menjadi rujukan Imam Hanafi, sehingga mamaknai kata menyentuh yang disebut dalam Alquran surah An-Nisa’ ayat 43 bukanlah bersenggama.

Disamping itu, hadis tersebut juga diakui kesahihannya oleh Imam Syafi’i. Akan tetapi, oleh Imam Syafi’i tidak dijadikan sebagai rujukan karena ada berbagai kemungkinan.

“Imam Syafi’i punya kaidah, bukan main-main. Kalau dalil ini masih mungkin begitu mungkin begini, ga dipakai dalilnya,” tandas Buya Yahya.

Yang dimaksud status mahram suami istri

Seorang wanita memang sudah menjadi mahram bagi pria atau suaminya setelah menikah. Namun, mahram yang dimaksud itu berbeda dengan status mahram dalam hubungan keluarga (nasab).

Begitupun dengan mahram yang dimaksud dalam sebuah ajaran fikih tentang hukum bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang dapat membatalkan wudhu. Ini seperti dikatakan UAS dalam tayangan video yang sama yang diunggah kanal YouTube Wasilah Net di penjelasan sebelumnya.

“Istri, itu mahram karena nikah. Tapi dia tidak mahram karena nasab. Yang dimaksud disini mahram nasab,” ujarnya seperti dikutip dari tayangan video YouTube Wasilah Net berjudul ‘Suami Istri Bersentuhan Bisa Membatalkan Wudhu? Ini Jawaban UAS’.

Antara mahram nasab dan mahram nikah jelas berbeda.

“Mahram nasab, tak ada syahwat. tak ada nafsu. Antara orang dengan anaknya,” jelas UAS.

Jadi, lanjutnya, mahram yang dimaksud dalam sebuah ajaran tentang hukum batal wudhu karena bersentuhan adalah mahram nikah, bukan mahram nasab.

“Jadi nanti kalau ada orang mengatakan, dia itu kan istrimu, istrimu itu kan mahrammu, maka tak batal wudhumu. Yang dimaksud mahram di sini bukan mahram nikah tapi mahram nasab,”

“yang tak batal itu dengan anak, dengan emak, dengan perempuan yang mahram karena nasab tadi, bukan mahram karena nikah” tegas UAS.

Pendapat yang diikuti UAS

Masih dalam video sama yang pernah diunggah oleh YouTube Wasilah Net, Ustad Abdul Somad secara pribadi menyebutkan, bahwa dirinya memilih mengikuti pendapat Imam Syafi’i. Yaitu batal wudhu apabila suami dan istri bersentuhan kulit baik itu disertai dengan nafsu atau tidak.

“Abdul Somad pilih pendapat Imam Syafi’i,” ujar UAS.

Selain karena sejak kecil sudah mempelajari kaidah-kaidah fikih dari mazhab tersebut, UAS menyebut alasannya memakai pendapat Imam Syafi’i dalam hal ini karena lebih selamat. Menurut UAS, mazhab Syafi’i memiliki tingkat kehati-hatian yang lebih tinggi, salah satunya dalam persoalan wudhu.

Sehingga tidak ada rasa was-was ketika mengerjakan shalat, apakah wudhu masih ada atau sudah batal.

“Kenapa pendapat itu yang ustad pilih? Karena dari kecil saya belajar mazhab Imam Syafi’i. Di sekolah saya pakai mazhab ini, di Mesir saya pakai Mazhab ini, dan menurut saya pakai mazhab ini lebih selamat,” pungkasnya.

(Zs/Trbn)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini