spot_img
Selasa, April 30, 2024
spot_img

Bambang Widjojanto, Pengalaman Sengketa Pilpres 2019, apakah kembali Menelan Kekalahan pada Sengketa Pilpres 2024 ?

Oleh : Azam Khan, SH
Sekjen TPUA/ Tim Pembela Ulama & Aktivis

KNews.id – Secara etimologi TSM adalah akronim dari Terstruktur-Sistematis-Masiv dengan terminologi daripada kata dan kalimat:

- Advertisement -
  • Terstruktur, adalah rencana yang sudah dalam keadaan disusun dan diatur rapi;
  • Sistematis, adalah segala usaha untuk menguraikan dan merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis membuat sistem yang utuh dan menyeluruh, terpadu, disengaja untuk melahirkan rangkaian sebab akibat;
  • Masiv, sesuatu hal yang besar dan kuat dan pejal. Hal ini sesuai dengan sinonim kata masiv yaitu kekar, kuat, kukuh, murni, padat/keras; tidak berongga-rongga atau berlubang-berlubang.

Adapun pelanggaran dan kecurangan bersifat TSM itu berada dalam tahapan proses Pemilu, dan keseluruhan kecurangan yang sifatnya TSM mesti dapat dibuktikan oleh Pemohon 01 dan 03 saat sebelum sengketa Hasil Perselisihan Pemilu/ SHPU di ajukan ke MK.

Tentang sifat TSM itu sendiri dapat dipahami melalui Referensi, vide Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) Nomor 8 Tahun 2018. *Bahwa Syarat formil terdiri harus ada pelapornya (laporan), dan syarat Materil ketentuan pelanggaran terjadi paling sedikit 50 persen dari jumlah daerah yang menjadi lokasim pemilihan plus punya alat bukti( saksi saksi & barang bukti termasuk dokumen elektronik).

- Advertisement -

Dan perilaku Pelanggaran atau kesalahan atau pembiaran-pembiran yang sifatnya TSM yang dilakukan oleh Termohon KPU sudah pemohon 01 dan 03 kantongi yang dapat dibuktikan daripada hasil laporan-laporan Pemohon sebelumnya kepada Bawaslu, DKPP, dan PTUN. sehingga KPU terbukti mendapat sanksi dari Bawaslu dan atau DKPP dan atau Bawaslu mendapat sanksi dari DKPP. atau KPU dan Bawaslu dan (bahkan) DKPP. mendapat sanksi adminsitratif dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara/ PTUN.

Syarat-syarat seperti yang didapat dari hasil putusan BAWASLU, DKPP dan PTUN macam inilah yang bisa menjadi rumusan kejahatan pemilu yang karakteristiknya direncanakan (TSM ) atau sengaja dan berencana/ dolus premeditates, merujuk UU Nomor 7 Tahun 2017 atau pelanggaran terkait tentang Pemilihan Umum.

- Advertisement -

Terdapat pengecualian durasi persidangan sengketa pemilu (SPHU) di lembaga peradilan PTUN yang cukup hanya berproses paling lama 21 (dua puluh satu) hari sejak gugatan dinyatakan lengkap, dan putusan PTUN pada sengketa Pemilu, bersifat Final and Binding ( terakhir dan mengikat) Dan KPU wajib menindaklanjuti paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak putusan PTUN.

Sedangkan komparasi durasi dengan pengajuan sengketa pilpres di PTUN setelah pemilu pilpres, ada ketentuan Banding, Kasasi dan request civil/PK. Tentu tempo waktunya terbentur dengan keharusan pelantikan dan sumpah presiden yang terpilih serta dengan rentetan tugas presiden yang berlaku efektif, dan selebihnya oleh sebab jabatan Presiden (Jokowi) is finish.

Terkait pendapat Publik bahwa “Sengketa Pemilu hanya cukup sampai dengan rekapitulasi hasil suara pemilu pilpres”, ini sesuatu dalil yang salah, walau datang dari mulut pakar hukum, karena ada dalil eksplisit tertuang pada frase di klausula pasal 475 ayat (2) UU. Pemilu, yaitu tentang faktor…” yang memengaruhi Penentuan Terpilihnya Pasangan calon Presiden”

Oleh karenanya, segala bukti pelanggaran TSM melalui segala laporan dan bentuk sanksi putusan Bawaslu, DKPP dan atau PTUN serta bukti Jokowi cawe-cawe, yang diajukan oleh Para Pemohon 01 atau 03 dapat dijadikan sebagai alat pertimbangan hukum Majelis Hakim MK. “Memengaruhi” berdasarkan asas keyakinan nurani hakim yang dapat digunakan untuk merujuk ASAS. CONVICTION INTIME atau Conviction Raisonne sebagai pemutus sengketa SPHU.

Sehingga selisih angka hasil rekapitulasi oleh Termohon/ KPU dapat diabaikan oleh sebab keyakinan hakim, bahwa ; “proses penyelenggaraan pemilu yang curang ternyata terjadi tidak hanya di 1 atau 2 daerah atau beberapa daerah saja namun banyak dilakukan diberbagai daerah ( kota, kab dan atau dibanyak propinsi-propinsi) hingga proses rekapitulasi melalui sirekap server asing di Singapura, dan dengan tanda gejala-gejala penyimpangan hukumnya sama, baik polanya dan entitas kental dikenali bahwa kwalitas dan kuantitas kecurangan yang ada dan terjadi TIDAK hanya pada 1 atau 2 daerah atau beberapa daerah saja, namun banyak dilakukan di banyak daerah kota, kab dan atau di berbagai propinsi – propinsi.

Selanjutnya entitas, serta sinyal-sinyal sifat kecurangan (pelanggaran TSM) adalah semodel atau dengan visi misi yang sama, yakni semata demi kepentingan perolehan suara Paslon kontestan tertentu (Paslon 02)

Maka berdasarkan keyakinan (conviction raisonne) terhadap Jokowi yang Presiden RI yeng sepengetahuan umum publik (notoire feiten) terbukti transparansi melanggar asas penting untuk tidak keberpihakan (asas netralitas Jo. Prinsip pada good governance) telah melakukan pola politik CAWE-CAWE maka pertimbangan Majelis Hakim MK dalam putusan perkara a quo in casu SPHU 2024 dapat menyatakan GUGATAN DIKABULKAN, OLEH SEBAB HUKUM TERBUKTI PENYELENGGARAAN PEMILU OLEH TERMOHON KPU CACAT HUKUM OLEH SEBAB BANYAKNYA PELANGGARAN SEHINGGA “MEMENGARUHI HASIL REKAPITULASI PEROLEHAN SUARA 02” OLEH KARENANYA BATAL DEMI HUKUM SEHINGGA PEMILU MESTI DIULANG KEMBALI

Pertanyaan publik, sebelum melangkah mengajukan permohonan gugatan SHPU terhadap KPU di MK. apakah Tim Hukum 01 dan 03 yang jumlah advokat 1000 lebih, telah melaporkan seluruh temuan setidaknya maksimal temuan pelanggaran oleh publik atau temuan THN (01 & 03) sendiri, yang dilakukan oleh KPU. Dan pihak-pihak lain, atau oleh siapapun pelakunya ke BAWASLU dan atau ke DKPP dan atau PTUN serta konkrit mendapatkan putusan-putusan sanksi (berkualitas hukum) atau potensial sebagai alat bukti, sehingga dirasa oleh para hakim MK tidak signifikan terhadap hasil perolehan suara yang seharusnya diperoleh menurut si pemohon.

Maka logikanya, demi untuk menghindari pengalaman kekalahan pemohon SPHU pada tahun 2014 dan tahun 2019 hal peristiwa hukum sengketa pilpres ( SHPU), yang diketahui penyebab kekalahannya pihak pemohon oleh Bambang Widjojanto serta Hamdan Z dan Mahfud MD ? PERIHAL HISTORIS HUKUM DITOLAKNYA PERMOHONAN SPHU. OLEH MK (TAHUN 2014 & 2019) DIKARENAKAN PIHAK PEMOHON TIDAK BANYAK ( KUANTITATIF) MEMILIKI ALAT BUKTI FORMIL DAN BUKTI MATERIL yakni, bukti-bukti hasil laporan dan sanksi- sanksi administratif terhadap pelaporan, sehingga berdampak hukum, bahwa terhadap keterangan para saksi-saksi serta kesaksian dan keterangan ahli dihadapan persidangan kualitatif-nya menjadi lemah atau kurang berharga untuk dijadikan sebagai pertimbangan hukum.

Andai hanya ada beberapa laporan dan putusan dari ratusan pelanggaran (temuan dugaan publik). Patut dipertanyakan oleh publik kenapa ? Apakah mentang-mentang atau akan turun kelas atau menjadi jelata jika para pengacaranya (dari yang 1000 lebih) terjun langsung sebagai individu-individu pelapor ? Atau sengaja kah karena ada sesuatu yang obscur untuk diketahui ?

Lalu kausalitas animo publik pendukung 01 & 03 jika tehadap kegagalan THN 01 ditolaknya permohonan SPHU di MK oleh karena faktor BARANG BUKTI YANG JUMLAHNYA (KUANTITAS) TIDAK SIGNIFIKAN, ATAU HANYA SEDIKIT BUKTI, yang sebenarnya justru dibutuhkan selain (kuantitas) semuanya alat bukti mesti berkualitas, seperti bukti Formulir C yang merupakan hasil suara sebenarnya, yang menunjukan fakta hasil hitungan yang berbeda dengan hasil rekapitulasi (kecurangan) Termohon KPU.

Ditambah faktor-faktor kurangnya atau sedikitnya bukti-bukti pelaporan dan atau permohonan serta hasil sanksi-sanksi terhadap pelaporan dan hasil putusan permohonan 01-03 (dari Bawaslu, DKPP dan atau nota protes ke KPU serta hasil-hasil putusan PTUN), maka tentu akibat hukumnya THN 01- 03 tidak memiliki kekuatan hukum agar MK menggugurkan hasIl rekapitulasi.

_Dengan kata lain, karena kurang atau tidak siginifikannya bukti-bukti hasil pelaporan dan putusan yang diajukan oleh Pemohon 01 dan 03 kepada pihak-pihak yang berwenang dalam hal terjadinya pelanggaran Pemilu Pilpres 2024. _ Maka Para Pemohon tidak memenuhi unsur-unsur dalil hukum untuk supaya MK menyatakan dalam putusannya, “bahwa pelanggaran yang dilakukan Termohon/ KPU. Dan para penyertanya, “memengaruhi suara penentuan calon presiden” juncto pasal 475 vide frase ayat (2) UU. PEMILU._

Sehingga oleh karenanya jika ditolaknya permohonan 01 oleh MK dalam perkara SHPU a quo 2024 disebabkan minimalnya bukti-bukti penting a quo dimaksud, maka akan muncul studi banding hukum publik terhadap gugatan SHPU 2014, 2019 dan 2024, yang materinya menyinggung dan mempertanyakan serta menyesali terhadap eksistensi para tokoh pakar hukum, eks Ketua MK Hamdan Zoelva di THN 01 dan Mahfud MD di 03, para aktor penting yang berkompetensi dalam perkara SPHU 2024 di MK.

Maka wajar, jika publik bertanya, khususnya dari pendukung/konstituen 01, APAKAH KELALAIAN DARI THN 01 KARENA BERSINGGUNGAN DENGAN KOMPENSASI DEPONIR TERHADAP STATUS TSK BAMBANG WIDJOJANTO ATAU KAH PENYEBABNYA ADALAH SUB ORDINASI PADA SEBAGIAN ANGGOTA TIM 01

Namun, penulis selaku salah seorang anggota THN AMIN (PASLON 01) tentunya berharap agar Hakim MK yang berkewajiban belaku adil “menggunakan hati nurani untuk mempertimbangkan serta memutus yang adil dan seadil-adilnya atau ex aequo et bono, dengan mengenyampingkan kekurangan ATAU kelalaian dari THN 01 dan 03, lalu MK cukup mempertimbangkan banyaknya fakta dan peristiwa perilaku KPU yang.melanggar UU.

PEMILU, Jo. UU Keterbukaan Informasi Publik dan penggunaan SERVER ASING untuk merekapitulasi hasil Pilpres 2024 Jo. VIDE Kepres mengenai penunjukan dan pengadaan barang dan jasa pemerintah dan KPU juga melanggar asas tranparansi, terbukti Termohon KPU menolak permintaan publik dan THN 01 & 03 untuk audit terhadap sirekap server asing, terkait perolehan suara masing-masing paslon di seluruh TPS di tanah air.

Sehingga berkeadilan majelis hakim MK memutus dan mempertimbangkan putusan MKMK yang memberhentikan ANWAR USMAN karena terbukti nepotisme dan pertimbangan hukum bahwa Jokowi melakukan pembiaran serta keberpihakan alias CAWE-CAWE, untuk itu MK menyatakan BATAL DEMI HUKUM HASIL REKAPITULASI KPU SERTA MENYATAKAN PEMILU ULANG, TANPA GIBRAN ATAU PRABOWO MENGGANTIKAN CAWAPRES SELAIN GIBRAN.

(Zs/NRS)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini