spot_img
Kamis, Mei 2, 2024
spot_img

Antara Majelis Hakim, Tim Pembela Gus Nur dan Bambang Tri Main Kucing-kucingan

Adapun bentuk kebohongan saksi MC. tersebut adalah saat di BAP. Dia menerangkan bahwa agama nya adalah Islam, sehingga agamanya dan al quran seolah dinistakan, namun tenyata dihadapan persidangan dirinya mengaku beragama kristen dan disumpah dengan tangan kirinya memegang injil. Hakim tidak memanfaatkan kelalaian JPU. dan Para Advokat Tim Advokasi yang hadir saat itu ( Hakim Kucing – Kucingan ). Jika benar majelis hakim kucing – kucingan ( manfaatkan ketidak mengertian atau lalainya , lupanya JPU. dan Tim Advokasi, sungguh majelis hakim tidak berkeinginan menemukan dan memutus secara adil dan tidak ingin berkepastian hukum dan tidak hormati hukum sebagai ius konstitum ( hukum harus berlaku ) bukan mudah – mudahan berlaku ( ius kontituentum ). Hakim justru sengaja bertindak anomali.

Karena dari sisi objektifitas dan akuntabilitas, bukankah perilaku MC. ini sebagai catatan tuk hakim majelis terkait kebohongan dan sumpah palsu dirinya? Hubungannya amat erat dengan dipenjaranya GN.dan BTM.

- Advertisement -

Selebihnya demi kepastian hukum dan tegaknya keadilan, menurut pasal a quo in casu yang dituduhkan kepada kedua Terdakwa, tentang kebohongan TDW. Terkait pokok objek ” delik mubahalah “, bahwa Jkw. Memakai ijasah palsu, oleh karenanya secara hukum acara / KUHAP majelis hakim sudah mengetahui, karena sudah menerima berkas perkara seluruhnya dari JPU. Turunan berkas perkara dari Penyidik Polri, termasuk diantaranya ada BAP. Dari seluruh para saksi pelapor, saksi korban, dan ahli serta Barang bukti/ BB. dari penyidik Polri ? Maka majelis semestinya tahu justru Jokowi/ Jkw. Secara hukum semestinya merupakan korban prinsipal, namun kenapa justru tidak ada laporan dari Jkw, jika benar merasa menjadi korban fitnah ? Dan tidak ada surat kuasa Jkw. Untuk mengajukan laporan atas tuduhan dan sumpah mubahalah terkait dirinya *( Jkw presiden RI. menggunakan ijasah palsu )* Sekurang – kurangnya menurut hukum ada kesaksian Jkw. pada BAP. Namun ternyata tidak ada ! Majelis kucing – kucingan terhadap Tim Advokasi

Bukankah proses hukum harus merujuk rule of law atau ketentuan hukum yang berlaku dan harus penuhi jalur yang due process dan equal atau setiap orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum, namun, jika ternyata menyangkut orang yang sudah dipenjarakan, sementara berkas perkara sudah menunjukan ketidak sesuaian akan halnya prinsip delik aduan, lalu *ada MC. saksi pelapor palsu dibawah sumpah, tidak ada ijasah asli Jkw ditunjukan dipersidangan oleh saksi pelapor maupun oleh Jpu. sebagai bantahan tuduhan terkait delik, perkara a quo in casu, serta fakta hukum lainnya yang terungkap dipersidangan, adalah Jkw korban prinsip tidak melaporkan para terdakwa. Jkw. sebagai saksi tidak di BAP. ?*

- Advertisement -

Entah strategi serta kesepakatan para advokat yang hadir pada saat tahapan kesaksian, karena sesuai data empirik atau pengalaman di rezim kekinian, sehingga menyimpulkan ” percuma eksepsi ” bakal ditolak, karena TDW. sudah pada posisi ” ditarget rezim ” melalui tangan yurisdiksi peradilan atau tim advokasi lalai gunakan celah eksepsi , pada tahapan eksepsi, perihal ; kekurangan isi dakwaan JPU. secara formal ( harus jelas, teliti dan cermat ), *maka oleh advokat, walau sudah pada tahapan yang melampaui eksepsi atau sudah memasuki tahapan pemeriksaan materi perkara atau pada proses pembuktian dakwaan untuk dijadikan tuntutan JPU. Namun tetap disampaikan tentang dan terkait eksepsi, yakni pasal – pasal yang menyangkut :*

143 ayat ( 2 ) dan 143 ayat ( 3 ) Jo. 84 Jo. 156 Jo. 183 KUHAP ( UU. RI. NO. 8 TAHUN 1981 )

- Advertisement -

*Prof. DR. Eggi Sudjana* Tim advokasi keberatan kelanjutan sidang untuk diteruskan, dan minta Kedua Terdakwa dibebaskan oleh Majelis Hakim a quo in casu, dengan vonis bebas ( onslag ) segera hari itu juga, setelah 16 orang saksi yang memberikan kesaksian, lalu sidang dinyatakan selesai, sidang ditutup dan tidak perlu dilanjut dan digelar kembali lagi, karena selain ke 16 saksi tidak pernah melihat asli ijasah milik Jkw. Juga ijasah Jkw tidak dijadikan sebagai alat bukti oleh JPU. Karena tidak ada pada berkas perkara. Sehingga dakwaan tidak memenuhi pasal 183 Kuhap, sebagai syarat agar seorang TDW dapat dihukum

Eksepsi Prof. Eggi yang merujuk Kuhap yang uraian ketentuan hukumnya ada terdapat pada Pasal 183. Dimaksud adalah : ” Bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa lah yang melakukanya. ”

Anggota Tim DHL, menyampaikan perihal eksepsi terkait kompetensi relatif sesuai pasal 84 Jo. 85 Jo. Syarat materil pada surat dakwaan pasal 143 ayat ( 2 ) Jo. Ayat ( 3 ) yang jika dirangkum adalah Jpu. Tidak cermat mengenai kemana semestinya JPU. Mendaftarkan perkara pidana a quo in casu ( GN dan BTM ) sesuai pasal 143 ayat ( 2 ) Jo. ayat ( 3 ) tentang domein atau yurisdiksi Pengadilan ( kompetensi relatif ) yakni tempus dan locus delicti ( TKP ) mubahalah yang dituntun oleh GN. dengan pelaku mubahalah BTM di domisili atau kediaman GN. yakni di Jawa Timur. Terlebih isi laporan terkandung dugaan pelanggaran yang masuk pada asas delik aduan yang beberapa pasalnya adalah tindak pidana umum terhadap pasal KUHP ( 156 huruf a dan 14 ayat 1 dan ayat 2 ), dan selain laporannya ada di Mabes Polri ada juga para saksi dan saksi pelapor ( MC ) di polres Solo, maka agar lebih efisien para saksi yang berdomisili di Solo, diperiksa dan pem- BAP. Si Polres Surakarta- Solo, karena secara hukum terkait dugaan pelanggaran pasal 45 Jo. Pasal 28 UU. ITE Tempat para saksi menonton video youtube atau mengetahui peristiwa ” delik mubahalah ” adalah di Solo ?

Jika pun ada justifikasi atau pembenaran terkait kompetensi peralihan peradilan dimaksud, maka sudah seharusnya terkait prosedural seharusnya secara hukum sudah didapat oleh JPU. Dari kementrian kehakiman ( vide Kuhap pasal 84 ) dan dilampirkan didalam pemberkasan perkara para TDW. yang dimiliki oleh JPU. Dan tentu juga ada dalam berkas perkara yang ada pada majelis hakim yang didapat atau diserahkan oleh JPU serta juga berada ditangan Para TDW atau kuasa hukum para pembela atau tim advokasi GN.dan BTM.

Nyatanya prosedural pemindahan persidangan a quo in casu tidak ada, dari pengadilan di Surabaya, Jatim, ke PN. Surakarta , Solo, sesuai kewajiban JPU. Menueut KUHAP. yang isinya menjadi domain PN. Surakarta, Solo untuk mengadili, hal kewajiban ini terdapat pada pasal 84 Jo.85.

Pasal 84 : ” Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara dimana tindak pidana itu terjadi, Pengadilan Negeri yang didalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir dan tempat ia diketemukan, sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan. ”

Pasal 85 : ” Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud. ”

Oleh karenanya atas dasar pasal 143 ayat 2 dan ayat 3 , Jo. Pasal 84 Jo. Pasal 85 KUHAP. Maka JPU. Dan Majelis Hakim, ex officio Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Solo, termasuk lalai atau tidak indahkan terkait kompetensi relatif dimaksud, tentang pemenuhan asas dakwaan terkait lokus delikti sesuai asas kompetensi relatif

*Oleh karenanya wajar dan benar serta logika hukum dalam rangka demi menemukan keadilan berdasarkan kebenaran materil atau kebenaran yang sebenar benarnya, seperti apa yang disampaikan para anggota tim hukum GN. dan BTM. melalui ” terobosan hukum ” oleh Prof. Dr. Eggi Sudjana dan DHL terkait Jpu. Tidak cermat dan tidak teliti. ” terobosan hukum ” dimaksud adalah, selain dasar proses peradilan pidana adalah demi mencari, menggali untuk mendapatkan hakekat kebenaran materil pada peristiwa perkara pidana, maka hakim tentunya mesti aktif dan adil sejak perkara dimulai, sejak berkas perkara berada didalam genggaman majelis hakim, selain mengingat menimbang para TDW berada dalam tahanan, mengingat menimbang berdasarkan perintah hukum positif ( ius konstitum ) atau hukum mesti berlaku, yaitu UU.RI. No. 8 tahun 1981/ KUHAP. Terkait asas praduga tak bersalah atau presumptio of innocent dan UU. RU.No. 48 Tentang Kekuasaan Kehakiman terkait asas Contante Justitie, yaitu asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Secara hukum kedua asas ini adalah demi kepentingan TDW/ TSK dan pro justicia

Asas – asas ini menghendaki proses pemeriksaan tidak berbelit-belit dan untuk melindungi hak tersangka guna mendapat pemeriksaan dengan cepat agar segera di dapatkan kepastian hukum serta dalam keadaan bebas sebelum vonis inkracht

Selebih dan selainnya atas dasar fakta hukum ada peluang eksepsi ( namun tim advokasi lalai atau tidak menggunakannya ), namun secara kebenaran materiil, fakta materi eksepsi nyata ada dan faktual terbukti dimuka persidangan, yakni tentang korban prinsip sebagai yang memiliki hak aduan yaitu Jkw. ternyata tidak mengadu atau patut dinyatakan secara hukum tidak keberatan secara hukum, atau bisa jadi, justru malah sebuah kebenaran dari sisi narasi dan makna subtansial sumpah mubahalah ? Atau korban Jkw tidak mempermasalahkan, karena Jkw sadar selaku pejabat publik bahkan tertinggi di negara ini, dia harus tunduk dan patuhi hukum ? *Oleh sebab hukum, kedua subjek hukum GN. Dan BTM. Memang memiliki hak hukum yang sah sesuai peran serta masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, baik lisan maupun tulisan, sesuai sumber hukum NRI. Pasal 28. UUD. 1945, sesuai UU. RI. No. 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat dan prinsip tentang good government/ Good Governance yang ada didalam UU. RI. No. 28 Tahun 1999. Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih Bebas dari KKN. Jo. UU. RI No. 39 Tentang HAM.Jo. UU. RI. No. 14 tahun 2008 Tentang keterbukaan informasi publik, Serta UU. RI. No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Kesemuanya adalah hukum positif yakni hukum mesti harus berlaku ( ius konstitum ), sehingga keduanya berhak berpendapat serta mengeluarkan pendapat , justru sebaliknya oleh sebab perintah sistim konsitusi yang ada, ketika ada keraguan dari publik, maka hendaknya Jkw. segera sebagai pejabat publik negara, memberikan informasi yang dikehendaki oleh publik oleh sebab memiliki data impirik, bukan asal jeblak, apriori dan bukan fitnah. Terlebih GN. Adalah Dai , maka ia memiliki dalil untuk dan terkait sumpah dengan gunakan Kitab Suci Al Quran, selain haknya dalam hak informasi Publik sebagai WNI. Begitu pula BTM. Sebagai memiliki hak mendapatkan informasi publik terhadap Jkw. selaku Jkw pejabat publik negara tertinggi ( eksekutif ) yang mesti lebih dulu patuhi semua sistem perundang – undangan, suri tauladani dengan perilaku atau sikap sesuai menurut undang – undang, oleh karenanya menurut hukum, Jkw berkewajiban memperlihatkan ijasah aslinya, dihadapan persidangan a quo in casu , agar berkepastian hukum terhadap TDW sudah nyata nyata ditahan atau dipenjara, hingga sekian bulan hak absolut terkait kemerdekaan atau kebebasan hidup dan bergerak para terdakwa sebagai manusia dirampas dari sisi HAM

Jadi dimana salahnya GN. Dan BTM. mengapa mereka dipenjara, dan mengapa majelis hakim berlama – lama, ketika sudah menemukan, ternyata korban prinsipal Jkw. Bukan sebagai pelapor ? Dan ternyata tidak ada BAP dirinya sekalipun sebagai saksi korban, walau orang lain sebagai pelapor oleh sebab nama sekolah mereka SD. Dan SMP dimana Jkw bersekolah merasa tercemar nama baiknya, lalu mengapa di buku induk siswa SMP 1 Surakarta nama Jkw. bertinta biru, sementara keterangan lainnya pada kolom nama Jkw. Alamat dan identitas lainnya bertinta hitam, begitu pula nama murid murid lainnya bertinta hitam, lalu ada nama lainnya yang sama dengan nama depan Jkw. gunakan ejaan lama Djoko, sedangkan terhadap diri Jkw. Tertulis Jokowi ?

Perihal keanehan ini pada materi perkara termasuk merupakan bagian dari alat bukti ( barang bukti/ BB. dan kesaksian para saksi ( setidak dua orang saksi ), yang katanya teman sekelas SD. Dan SMP serta SMA, guru dan lain lain saksi dan kewajiban hukum acara dari delik aduan adalah harus sang korban pelapornya, maka dihubungkan satu dengan lainnya ( ternyata seorang saksi pelapor memberikan keterangan palsu dibawah sumpah ) dan BB. ( buku induk alumni ) dihubungkan dengan hal lainnya yang terungkap dipersidangan adalah sebuah keadaan atau peristiwa yang aneh dan sulit diterima secara perpektif dan logika hukum, tidak ada bukti labfor terhadap buku induk perihal.keterangan keaslian BB. buku induk yang meragukan, maka tidak keliru, demi praduga tak bersalah namun sudah sebagai berstatus tahahan atau dipenjara, walau fakta persidangan demikian adanya, serta persidangan berlama – lama sampai dengan 16 saksi ditambah ahli, belum lagi tuntutan, setelahnya pleidooi, replik , duplik atau kelak ada rereplik dan reduplik, bukankah majelis sudah melanggar asas constante justitie sesuai perintah undang – undang sebagai peraturan kepada badan peradilan, terhadap dan atau kepada majelis hakim a quo in casu sendiri ? Jadi tidak keliru melainkan tepat. Jika prof Eggi Sudjana dengan landasan berfikir selaku seorang penegak hukum serta logika hukum demi keadilan yang berkepastian hukum terhadap realitas fakta persidangan, mulai dari tehnis acara sampai acara pembuktian dengan dua alat bukti yang ternyata nihil kualitas hukumnya ( saksi saksi yang jumlah belasan dan BB. Tidak berkualitas adanya ) maka terobosan hukuk dari prof Eggi Sudjana membuat hukum lebih berwibawa dan berkepastian serta berkeadilan, dan agar penerapan hukum itu tidak melanggar HAM, dan majelis tidak melanjutkan kekejaman terhadap kedua terdakwa yang tidak atau belum tentu bersalah dihari kelak saat dimasa Jkw. Sudah tidak berkuasa

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini