spot_img
Senin, Mei 20, 2024
spot_img

Akibat Pernikahan Politik Antara Anwar Usman dan Idawati

Oleh ; Damai Hari Lubis –  Pengamat hukum Mujahid 212 eks kadivhum PA. 212

KNews.id – Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 tentang UU Pemilu Hal JR. Tentang Batas Usia 40 sebagai Capres dan Wapres, akhirnya memiliki kausalitas hukum ( sebab akibat hukum ) bahwa psikopat dan orang – orang gila bisa menjadi presiden dan pejabat birokrasi ( ekskutif atau jabatan politik) dan sebagai wakil rakyat ( anggota DPR RI DPD RI dan MPR RI )

- Advertisement -

Analogi judul artikel ini oleh sebab hukum didasari oleh beberapa pertimbangan putusan MK/ Mahkamah Konstitusi, sehubungan bunyi putusan usia dibawah 40 tahun, dapat menjadi Presiden RI asalkan individu dimaksud, yang diilustrasikan mayoritas publik sebagai personal subjek hukum yang identitas jatidirinya sebagai Gibran Rakabuming Raka Bin Joko Widodo yang kuat isunya bakal menjadi Wapres dari bakal Capres Prabowo Subianto.

Lalu pertimbangan lainnya MK adalah, ” melihat batas usia tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945 “.

- Advertisement -

MK juga menegaskan, dalam batas penalaran yang wajar, setiap warga negara memiliki hak pilih dan juga hak untuk dipilih.

Maka, dapat disimpulkan makna subtansial putusan MK melalui analogi hukum, oleh sebab kausalitas hukum dari putusan MK sebagai putusan satu kali tanpa hak banding juga tanpa kasasi, sehingga vonis MK adalah final dan mengikat, bak undang – undang, maka akibat hukumnya tidak mustahil , ” Para psikopat dan Para Orang Gila bisa jadi presiden dan sebagai para wakil rakyat, karena pada realitas praktik nyatanya, rumah perawatan orang yang ” dianggap tidak waras”, didatangi petugas pemilu serta menjadi sah sebagai peserta pemilu saat pemilu legislatif dan pilkada ( eksekutif ) dan pilpres di republik ini.

- Advertisement -

Kenapa KPU membolehkannya ( dengan kekuatan Undang-Undang ), padahal fakta hukumnya, kategori orang gila adalah tidak dapat dihukum ( vide pasal 44 KUHP ), makna hukum dari pasal a quo, mereka merupakan subjek hukum yang terbebas daripada sanksi hukum atas perbuatan hukumnya, namun pasal a quo, belum pernah dihapuskan atau dibatalkan oleh DPR RI, Presiden maupun oleh putusan MK.

Beginilah gambaran overlapping nya sistim hukum ditanah air, maka amat primer pembaruan sistim oleh pemimpin yang bernalar sehat, punya prinsip ( konsisten ) cerdas, dan mandiri serta inovatif, bukan seorang pemimpin yang labil, ” culun ” dan delusional.

Sehingga dapat dibayangkan, jika para pejabat publik yang mewakili rakyat dijajaran eksekutif dan legislatif dipenuhi orang – orang yang dinyatakan oleh para ahli jiwa ( medis ) adalah terdata sebagai pasien mereka, maka diskresi ekonomi, hukum dan politik apa yang kelak lahir dicanangkan oleh tipikal dimaksud, sementara terhadap mereka dalam segala tindakan hukumnya dibutuhkan seorang subjek hukum yang berpredikat sebagai pengampu atau melalui seorang perwalian, oleh sebab putusan badan peradilan.

Urgensi, sebagai bakal agenda bakal Presiden RI. Anies Baswedan yang diharapkan oleh bangsa ini, sebagai perwalian rakyat bangsa yang top person number one (highest) orang dipuncak tertinggi sebagai penyelenggara pemerintahan NKRI maka sosok Anies diharapkan dapat menghapus model dualisme sistim hukum lainnya, diantaranya adalah tentang eksistensi Jaksa sebagai pengacara negara, jika ASN atau pejabat publik negara dalam posisi sebagai tergugat dalam perkara perdata, namun sebaliknya JPU berfungsi juga sebagai Jaksa Penuntut Umum/ JPU. terhadap pelaku kejahatan ( Vide UU. Kejaksaan RI ) ASN atau pejabat publik yang dituduh korupsi.

Dan Anies sebagai presiden, memang nyata amat dibutuhkan demi pelurusan pada sistim hukum yang berlaku terkait tugas dan fungsi MK yang yudikatif, (vide UU. Tentang MK ) namun fakta hukumnya ( vide UU. MD 3 ) MK. berfungsi juga menjadi lembaga tempat bermohon, MK sebagai penentu jika DPR RI ( legislatif ) ingin melakukan impeachment terhadap Presdien RI. Sehingga ambiguitas peran dan fungsi legislatif DPR RI dan MPRI RI terkait impeachment, sehingga jika presiden sudah memenuhi persyaratan untuk diimpeach, namun penentunya berada ditangan MK ( yudikatif ).

Maka pertanyaan logisnya, apakah legislatif atau MK yang berfungsi sebagai wakil rakyat. Atau kah sistim hukum negara ini sudah berubah akibat revolusi mental ? Sehingga DPR RI dan MPR RI berposisi langsung dibawah MK ?

Karena menurut sistim hukum ( kontitusional ) terhadap hal impeachment presiden, DPR RI – MPR RI wajib mesti melalui putusan Mahkamah Konstitusi, yang kini ketuanya adalah semenda Jokowi Anwar Usman. Sementara pemilu itu sendiri adalah pelimpahan suara rakyat bangsa ini untuk mewakili mereka yang duduk di legislatif ( DPR RI ), pastinya suara pemilu bukan untuk fungsi yudikatif ( MK ).

Sepertinya Indonesia sejak kurun waktu 2014 – 2023 memiliki sistim dan pelaksanaan hukum yang abnormal. (Zs/NRS)

 

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini