spot_img
Selasa, April 30, 2024
spot_img

Tidak Ada Pembatas Bagi MK Membuat Putusan Adil yang Seadil-Adilnya

 

Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212

- Advertisement -

(TAMBAHAN AMICUS CURIAE/ FRIENDS OF THE COURT HAKIM DAN KELUARGANYA TERKENA SANKSI MORAL)

KNews.id – Rule of law, makna dari hukum dalam terapan (aplikasi) yang merupakan kebutuhan hidup dan kehidupan manusia itu sendiri (antroposentrisme).

- Advertisement -

Indonesia menerapkan rule of law untuk mendorong penegakan hukum yang tidak hanya menjamin hak secara formal melainkan menjamin keadilan subtansial (teori dan praktik) hasil yang akan berhubungan pada hidup dan kehidupan setiap orang dan pada setiap sisi/HAM dan berlaku ke depan ( berkesinambungan).

Hakim mempunyai hak dan kebebasan dalam memberikan pertimbangan hukum menurut pengetahuan dan keyakinan hakim (conviction intime) demi membuat putusan terhadap perkara yang teramat sulit yang disidangkannya, maka salah satunya resiko hukum (kausalitas), andai dalam hukum tertulis tidak ditemukan atau dirasa tidak cukup, maka Hakim dapat melakukan penafsiran hukum sebagai buah pertimbangan dan putusannya atau halal melahirkan rule breaking (terobosan hukum).

- Advertisement -

Hal tingkat kesulitan hakim ini dapat digambarkan dengan tugas hakim mahkamah konstitusi/ MK. Ketika menangani perkara sengketa pemilu pilpres (SHPU). Karena SPHU bukan sekedar kepentingan pribadi dari para kontestan capres-cawapres saja saja, tapi NASIB seluruh masyarakat dari semua sisi pandang kebutuhan dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara kedepannya !

Oleh karenanya sandaran hakim dalam memutus selain dari dan berdasarkan asas legalitas atau ketentuan hukum positif (memaksa) atau rules of law, hakim dapat berpedoman dari:

1. Yurisprudensi (analogi putusan-putusan sebelumnya yang sejenis);
2. Notoire feiten notorius (bukti HISTORIS yang sepengetahuan umum dan buruk);
3. Conviction intime/ conviction raisonne (keyakinan hakim/nurani).

Ke empat macam-macam dasar pengambilan putusan tersebut, kesemuanya memang merujuk daripada rule of law, dan tertera secara implisit dan eksplisit pada ketentuan sistem hukum perundang-undangan, dan menjadi batasan jelas agar paradigma-paradigma hukum tidak keluar atau tersesat dari jalur untuk menuju, mendapatkan atau menemukan materiele waarheid (kebenaran sejati), dan terapan/aplikasi ke empat jalan bagi MK tersebut memang sebenarnya merupakan alat terapan pertimbangan dan putusan, sebagai representatif legal standing PROGRESIF para hakim MK yang IMPLISIT terdapat pada pasal 5 ayat (1) UU. Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 hasil adopsi daripada UU. Tentang Pokok- Pokok Kekuasaan Kehakiman (1970). Sehingga bukan barang baru, hakim diharapkan untuk melakukan terapan progresif, sebagai asas-asas halalnya hakim dalam pengambilan putusan yang rule breaking. Atau RULE BREAKING BUKAN PRODUK HUKUM YANG DIHARAMKAN OLEH SISTIM HUKUM NASIONAL.

Legal standing yang menjadi asas legalitas para hakim sesuai Pasal 5 ayat (1) UU. a quo berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Maka, berdasarkan petunjuk sistim hukum a quo kepada MK tersebut, mengharapkan terapan atau wujud kepribadian hakim yang ideal memang harus ber karakteristik progresif, hakim tidak sekedar cerdas dan bermoral saja, MK harus memiliki keberanian, dalam memutus, pastinya tidak boleh terpaku sekedar kepentingan kontestan capres-cawapres dan para bobotoh (kelompok entitas dan masiv yang memiliki attitude condong kelompok atau ciri ke khas-an) tertentu, melainkan mesti dari berbagai aspek dan sudut pandang kepentingan yang general (kompleks) atau komprehensif, bahkan menganalisalis dampak perilaku penguasa nantinya, kepada sistim perpolitikan, dari gejala-gejala yang sudah ada dan berkembang, namun bakal diputuskan kemenangannya menjabat posisi puncak RI 1 dan RI 2 oleh MK ? Ini tragedi sejarah hukum pilpres di tanah air untuk keberapakali !?

Kini tinggal beberapa hari lagi, prinsip hakim MK harus sadar bahwa putusannya adalah final and binding, dan dasar dalam menemukan keadilan, bersisa kehendak dan keberanian mereka para hakim majelis, dasar sebagai refrensi UU. Pemilu menuntut agar hakim MK. tidak berpikiran sempit, putusan harus akuntabel, objektif (benar , jujur dan berkeadilan) dan mesti datang dari hakim-hakim yang profesional dan proporsional, pro dan tunduk, patuhi progresivitas hakim yang terdapat pada Pasal 5 ayat (1) UU. Tentang Kekuasaan Kehakiman Jo. UU. Tentang Pemilu, Pasal 475 ayat (2), yaitu faktor “yang memengaruhi kemenangan pasangan presiden”. Oleh sebab itu, perihal pola penyelengaraan pilpres oleh Termohon/ KPU : “Hakim berdasarkan prinsip objektivitas, dilandasi profesional/ expert dan proporsional harus kapabel (cerdas, berani, jujur benar dan adil) dan progresif, tidak akan sekedar mempertimbangkan dan mengerucut kepada kuantitas namun kualitas hasil pilpres, karena ada banyak faktor yang amat krusial yang merusak akuntabilitas serta kredibilitas pemilu itu sendiri oleh bukti-bukti pelanggaran nyata oleh KPU dan Bawaslu dalam bentuk pembiaran kepada perilaku KPU selaku penyelenggara sekaligus wasit.

Lalu, MK. semestinya mengkaji adakah tendensi penguasa diluar KPU. ikut campur, yang semestinya berposisi independen/ netralitas (tidak keberpihakan) atau tidak cawe-cawe.

Semua faktor potensi penyimpangan harus ditelaah oleh hakim. Legal standing hakim MK wajib mengusik dan menyimpang dari asas kuantitas atau dengan kata lain sebenarnya bahwa kemenangan tidak hanya berdasarkan rekapitulasi _(sirekap server asing), hal ini sesuai UU. KPU yang eksplisit mematahkan dalil (semata kuantitas), melainkan JELAS- JELAS dan terang benderang terdapat kalimat pada frase pasal 475 Pasal (2) UU. a quo, yakni faktor, “yang memengaruhi”.

Apa makna memengaruhi tersebut ? Maka harus disanding serta dihubungkan dengan segala macam unsur-unsur, tentunya, diantaranya ; keberpihakan (penguasa birokrat yang seharusnya berlaku independen,) Termohon KPU. yang melakukan pembiaran atas cawe-cawe petinggi birokrat/ Penguasa adanya putusan MKMK (konspirasi atau berencana yang TSM), maka wajar secara progresif hakim menggunakan legal standing yurisprudensi dalam memutus sesuai asas legalitas, yaitu progresivitas, dengan menghubungkan yurisprudensi Pemilu Ulang Pilkada Jawa Timur pada tahun 2008″ selebihnya adalah memutus berdasarkan pertimbangan, dan atas dasar:

Asas notoire feiten notorius, perilaku Termohon dalam pembiaran atas pelanggaran pejabat publik negara pada pemilu pilpres 2024, sehingga notoire feiten derogat ini, dapat dijadikan oleh MK sebagai alas pertimbangan keyakinan atau conviction intime, karena pertimbangan dari ketiga jenis pertimbangan putusan hakim ini, MENURUT PERSPEKTIF HUKUM TIDAK ADA UNSUR SUBJEKTIF MELAINKAN OBJEKTIF, LOGIS DAN CUKUP SEDERHANA, BAHWA TENTUNYA EKSISTENSI PELANGGARAN TSM YANG MELIBATKAN KPU DAN PENGUASA (KONSPIRASI) TENTU “MEMENGARUHI PROSES PEMILU YANG HARUS JUJUR DAN ADIL ” dan prinsip demi menjunjung tinggi hakikat keadilan, sebagai harapan manusia pada umumnya, tentunya dalam menemukan keadilan, tidak ada norma atau kaidah larangan bagi para hakim.

Sehingga ideal majelis hakim MK menuntut diri mereka sendiri utamanya, agar membuat pertimbangan-pertimbangan hukum sebagai bahan putusan, “menggunakan metode progresif demi manfaat hukum dan kepastian, prinsip substantif lainnya, adalah demi keadilan tehadap diri mereka (para hakim), keluarga dan general seluruh lapisan mayoritas masyarakat bangsa ini kelak, yang butuh representatif kejujuran dan objektifitas para hakim MK yang menangani perkara a quo in casu SHPU 2024 agar hasilnya baik dan berkesinambungan dari cikal bakal seorang pemimpin saat ini 2024 yang penentunya adalah mereka para Hakim MK saat ini. Demi menuju dan mencapai cita-cita masyarakat adil dan kehidupan sejahtera sesuai prinsip teori berdirinya negara RI (vide alinea ke- 4 pembukaan UUD. 1945) serta yang berkepastian hukum.

Serta dalam metode progresivitas (positif), tentunya majelis hakim berkewajiban melihat perilaku dan sepak terjang para kontestan dan figur para pendukungnya secara (komprehensif ) including track record, atau perjalanan karier para jatidiri (historikal) para kandidat pemimpin bangsa tertinggi di republik ini, apa dan siapa Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar, apa dan siapa Prabowo Subianto, Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo, serta Mahfud MD. Dan bagaimana historis politik dan hukum masing-masing proses calon dapat menjadi capres dan dapat menjadi cawapres ? Apakah konstitusional atau haram konstitusi ?

Tentunya akibat segala sesuatu jika para hakim MK tidak mempertimbangkan hal-hal krusial pelanggaran atau kecurangan yang TSM atau keharusan pemilu yang JUJUR DAN ADIL, maka para hakim identik “sengaja mencampakkan status terhormat dan mulia yang mereka sandang”, oleh sebab menampik legal standing yang halal mereka gunakan, melainkan kontra produktif pola “konserpatif” serta wrong momentum.

Karena seorang hakim yang cerdas tentu tahu keberpihakan/ subjektivitas yang bertentangan dengan konsep adil dan seadilnya, akan ber-implikasi kehancuran nilai-nilai moralitas bangsa ini secara step by step berdampak lemahnya ketahanan dan persatuan bangsa secara general dan amat kompleks.

Lalu penulis percaya, penyimpangan nurani dan moralitas masing-masing para hakim disisa hidup mereka dan termasuk para keluarga hakim ( internal keluarga yang tahu dan sadar ) namun kontributif melalui pembiaran, sebaliknya menikmati fasilitas atau hadiah dari stakeholder, tentu akan ada konsekuensi negatif dari sisi moralitas, dalam aspek pergaulan kehidupan sosialnya kelak, hakim dan keluarganya akan bersama-sama dihantui rasa gelisah, juga penelanjangan melalui buku-buku sejarah hitam. Lalu akhirnya kelak tentu akan berbalas dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.

Oleh sebab mayoritas kepercayaan hakim MK. dan mayoritas penduduk negara ini adalah Muslim, tentu tidak keliru jika penulis men-sitir, prinsip Ummar Ibn Khattab dalam memilih dan menunjuk para gubernur yang Ia tugaskan untuk menjadi pemimpin sebuah wilayah otonomi kekuasaannya. Ummar Ibn Khattab selalu berprinsip lebih dulu melihat, “latar belakang atau track record perilaku gubernur yang akan Ia beri mandat.”

(Zs/NRS)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini