spot_img
Sabtu, Mei 18, 2024
spot_img

Celakanya Sejumlah aturan yang Diteken Jokowi

Oleh: Agustinus Edy Kristianto

KNews.id- Ketika Presiden Jokowi mendengungkan terus-terusan unicorn, karpet merah investasi, dan sejenisnya sejak kampanye, saya sudah menduga bakal ada agenda bisnis di balik itu. Makanya saya angkat radar begitu Kartu Prakerja diluncurkan 12 April 2020 yang pada akhirnya menukik ke dugaan korupsi komponen biaya pelatihan berupa jual beli video Rp5,6 triliun.

- Advertisement -

Arahnya memang karpet merah buat investor digital kakap yang bersemayam di startup-startup ‘besar’—bisa asing, bisa lokal. Pacarannya dimulai dengan Kartu Prakerja, selanjutnya perkawinan bisnis. Rentetannya mulai dari Perpres Road Map Ecommerce hingga yang terbaru pada 20 Mei 2020 keluar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 53/PMK.05/2020.

Di PMK itu diatur mengenai salah satu bentuk investasi pemerintah yakni investasi langsung berupa pemberian pinjaman kepada startup (Pasal 59 ayat 2 huruf b). Selain itu investasi berupa saham yang dapat dilakukan pada saham yang tidak tercatat dan/atau tidak diperdagangkan di bursa efek (Pasal 45 ayat 3). Eksekutornya Manajer Investasi (MI) yang disupervisi Komite Investasi Pemerintah (KIP).

- Advertisement -

Kelihatannya langkah itu menerbitkan harapan bagi startup-startupUMKM untuk mengakses permodalan. Tapi ini Indonesia, bung! Situ kenal siapa di pemerintahan?

Ini soal Dominasi Kekuasaan Politik dan Bisnis

- Advertisement -

Bisnis digital sudah ‘selesai’. Lihat berita keputusan investasi Facebook dan PayPal di Gojek. Berarti di dalam Gojek sekarang hampir semua raksasa berkumpul. Crunchbase mendatanya sbb: WhatsApp, PayPal, VISA, Mitsubishi, Pegasus Tech Ventures, PT Astra International Tbk, Google, Tencent Holding. Mereka juga kuasai permodalan sejumlah media mainstream tanah air.

Mana Tahan

Techcrunch menulis pendanaan Gojek sampai Serie F mencapai lebih dari US$3 miliar (Rp42 triliun). Berapa pasukan mitra driver Gojek (sisi bisnis transportasinya)? 12 juta orang secara nasional—menurut catatan Rakor Program Kartu Prakerja 1 April 2020 yang saya pegang bahannya—dan mereka itu didorong ikut Prakerja supaya dapat insentif Rp600.000/bulan.

Arahnya ke mana lagi, bisa kita baca dari pernyataan Matt Idema, COO WhatsApp: bisnis pembayaran digital (digital payments). Mereka tergiur melihat besarnya market Indonesia yang sebagian besar adalah unbanked population (masih masyarakat tunai). Mereka butuh mitra lokal dan Gojek dengan klaim akses ke 170 juta pelanggan se-ASEAN itu menarik minat mereka.

Masyarakat biasa jelas sulit untuk masuk ekosistem raksasa itu sebagai pengendali. Paling mungkin hanya berjualan di lapak online (mitra GoFood) atau menjadi mitra driver. Saya melihat alih-alih cenderung ke arah pembangunan pertanian dan kelautan sebagai kekuatan kita yang nyata, Presiden Jokowi agaknya menggemari digital-digitalan, venture-venture-an, putar-putar uang dan kertas berharga.

Saya lihat itu juga di Tapera. Payung PP 25/2020 terbit pada saat korona begini. Para pekerja dan pekerja mandiri harus (karena ada sanksi administratifnya) menjadi peserta dan setor 3% dari gaji/penghasilan mereka tiap bulan ke Dana Tapera. Dalam desain pengelolaan Tapera, ini namanya pengerahan Dana Tapera. Lalu pemupukan Dana Tapera. Diinvestasikan ke berbagai instrumen investasi oleh MI berdasarkan Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Kemudian pemanfaatan Dana Tapera. Ini yang katanya buat pembiayaan pembelian rumah atau renovasi.

Masalahnya, menurut data BPS 2019, jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di Indonesia (termasuk ASN) 129,3 juta orang. Jika pukul rata gaji/penghasilan Rp5 juta/bulan dikali 3% adalah Rp150 ribu. Kalikan dengan—taruhlah 100 juta pekerja—Rp15 triliun/bulan. Kalikan setahun Rp180 triliun!

Bahasa dalam PP, khusus mengenai pemupukan Dana Tapera, akan diinvestasikan ke instrumen yang aman dan menguntungkan. Walah! Coba sebut apa itu “aman” dan “menguntungkan” biar jelas semua. Macam kita sudah lupa saja kasus-kasus macam Jamsostek, Jiwasraya, ASABRI dsb.

Timbun dulu harapan kita akan mudah punya rumah (masih banyak masalah nanti tentang lokasi, harga, cicilan, legalitas tanah dll). Ini kita semua sedang didorong menjadi pemilik unit penyertaan investasi. Duitnya diputar ke mana?

Saya highlight saja kata-kata kuncinya sesuai PP Tapera.

Pemupukan itu dilakukan oleh MI yang portofolionya ditempatkan pada instrumen investasi dalam negeri. Dikelola sesuai prinsip konvensional maupun syariah. Wujudnya berupa deposito, surat utang pemerintah pusat, surat utang pemda, surat berharga di bidang perumahan dan kawasan permukiman, dan bentuk investasi lain yang aman dan menguntungkan.

MI dapat imbal jasa dihitung dari persentase tertentu nilai aktiva bersih. Nah, tingkat hasil investasi Dana Tapera ini ditetapkan paling sedikit sebesar rata-rata suku bunga deposito standar.

Kelihatannya Dana Tapera itu sebagian besar akan dilempar ke Surat Utang Pemerintah. Posisi saat ini menurut data OJK Minggu ke-3 Mei 2020, Government Bond sebesar Rp96,04 triliun. Rp95,74 triliunnya dipegang oleh pihak lokal, yang terbesar asuransi/IS (Rp61 triliun), individu/ID (Rp32 triliun), dan korporat (Rp1,1 triliun). Selebihnya dipegang reksadana/MF, dana pensiun/PF, sekuritas/SC, yayasan/FD, institusi keuangan/bank, dll.

Ini semacam kita kasih utang ke pemerintah begitu.

Yang abu-abu adalah penempatan di “surat berharga di bidang perumahan dan kawasan permukiman”. Apakah ini maksudnya mau guyur lagi PPRO (PT PP Properti Tbk)? (Saya disclaimer dulu bahwa ini bukan berarti PPRO adalah perusahaan yang buruk. Perusahaan ini bereputasi, jelas jenis usahanya, terbuka, berkontribusi terhadap penyediaan properti tanah air. Saya cek kepemilikan saham publik yang beredar juga mayoritas dikuasai investor lokal (95%) terutama ritel/individu, menurut data KSEI 29 Mei 2020).

Masalahnya adalah jika masuk PPRO, di dalam masih ada Jiwasraya (8,51%) dan Asabri (5,33%). Padahal perkara ini baru saja disidang perdana beberapa hari lalu dan didakwa merugikan negara Rp16,8 triliun.

Bayangkan jika diguyur triliunan dari Dana Tapera, langsung cabut itu cucian piring. Enak mereka. Kita nyangkut. Ya, mungkin saja tidak selalu PPRO, tapi intinya maksud “surat berharga di bidang perumahan dan kawasan permukiman” ini harus jelas dulu. Jangan asal nyebur.

Mari kita belajar dari dakwaan jaksa dalam kasus Jiwasraya untuk terdakwa Heru Hidayat. Di situ jaksa menggunakan istilah buyer initiator up (Binit Up) untuk tindakan Heru dan Benny Tjokrosaputro mengendalikan harga saham di pasar reguler pada kurun 2016-2017 melalui tangan-tangan MI dan pihak terafiliasi dengan tujuan mengerek harga. Digoreng!

“Karena saham PPRO merupakan salah satu saham yang dikendalikan oleh Terdakwa HERU HIDAYAT dan BENNY TJOKROSAPUTRO serta pihak yang dikendalikan,” demikian surat dakwaan.

Khusus untuk PPRO, jaksa menulis kerugian negara sebesar Rp1,3 triliun. (Disclaimer: perkara ini masih diperiksa PN Jakarta Pusat dan belum ada putusan terbukti tidaknya tindak pidana oleh terdakwa).

Rumit ya?

Namun intinya pemerintah patut sekali berhati-hati dan belajar dari kasus masa lalu. Ini semua berpotensi skandal besar di masa depan. Celakanya sejumlah aturan yang diteken Presiden Jokowi antara lain Perpres Kartu Prakerja, PP Tapera, PP 63/2019 tentang Investasi Pemerintah, Perpres 74/2017 tentang Road Map Ecommerce… cenderung berisiko tinggi untuk ‘dimainkan’ segelintir orang demi uang!

Kok jadi begini. Katanya pilih pemimpin baik dan sederhana.Salam 5,6 Triliun. (***)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini