spot_img
Minggu, Mei 5, 2024
spot_img

‘Wafatnya’ Good Coporate Governace di Jiwasraya

KNews.id- Dr. Agoestina Mappadang, seorang konsultan pajak sekaligus dosen, menulis tentang skandal Jiwasraya di Kompasian dengan judul yang menantang dan provokatif, ‘Wafatnya Good Coporate Governace di PT Jiwasraya’. Menurutnya penyebab utama tumbangnya perusahaan plat merah itu dibidang asuransi itu tidak lain dan tidak bukana karena  gagalnya penerapan Good Corporate Governance (GCG). Akan halnya Direktur Riset Centre of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai belakangan ini banyak kasus yang sengaja dimunculkan untuk melemahkan OJK.

Jiwasraya (AJS), menurut Agoestina Mappadang, tidak menerapkan prinsip-prinsip GCG dalam manajemen yakni:

- Advertisement -
  • Tidak adanya Keterbukaan dengan memanipulasi laporan keuangan sehingga disangsikan akan kebenarannya oleh OJK dan BPK serta PWC. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya transparency dari manajemen AJS.
  • Kebijakan yang diputuskan tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan tidak memperhitungkan resiko atas investasi yang dilakukannya (REPO saham Backrie Group, pembelian saham-saham “gorengan” di Reksadana) , terlebih dana untuk investasi resiko tinggi tersebut menggunakan dana nasabah yang berarti AJS mengabaikan prinsip Accountability.
  • Tidak bertanggungjawpab atas hasil pelaksanaan dimana hal itu terlihat dengan terjadinya AJS gagal bayar atas kewajiban JS Saving Plan kepada nasabahnya dan terjadinya nilai ekuitas yang negatif, adanya rekayasa harga saham sesuai hasil audit investigasi BPK serta adanya manipulasi nilai laba dan aset pada laporan keuangan menandakan bahwa AJS tidak menerapkan prinsip Responbility.
  • Adanya kepentingan pihak tertentu yang terlihat dari adanya penangkapan oleh Kejaksaan Agung atas sekian banyak manajer investasi serta pribadi-pribadi pengurus di AJS menandakan telah terjadinya kolusi berjamaah dalam “merampok” dana negara melalui AJS yang berarti bahwa prinsip Independence tidak diterapkan dalam manajemen AJS.
  • Tidak adanya keadilan, kewajaran dan kejujuran dari para pengurus AJS yang hanya menguntungkan diri sendiri serta kelompoknya tanpa memperhatikan kepentingan stakeholders yakni para nasabah AJS serta pemerintah selaku pemegang saham utama AJS.

Jika dalam suatu manajemen telah terjadi perlakuan tindak kejahatan / kecurangan secara berjamaah dari pemegang-pemegang kebijakan maka sebaik-baiknya system yang harus diterapkan dalam suatu manajemen tetap egara artinya.

‘’Demikian pula prinsip-prinsip GCG tidak dapat dijalankan dan tidak dapat berguna apabila setiap pribadi pemegang kebijakan secara bersama-sama melakukan niat tidak baik demi kepentingan diri pribadinya dan kelompoknya. Hal ini terjadi pada AJS sejak lama, setidaknya sejak tahun 2004,’’ tulis Dr. Agoestina Mappadang di kolomnya di Kompasiana.

- Advertisement -

Dia meyakini pola-pola kejahatan seperti yang terjadi di AJS ega saja terjadi pula pada BUMN lainnya, sebab penulis melihat sekian banyaknya BUMN yang ada diIndonesia, namun hanya sebagian kecil yang dapat memberikan setoran laba yang berarti bagi egara. 

Dia berharap pemerintah (Eksekutif) bersama-sama lembaga lainnya (Legislatif, Yudikatif, KPK, BPK, dan lainnya) bersatu padu segera mengambil tindakan nyata dan tegas untuk penyelamatan uang egara dengan menyita asset-asset para pihak yang terlibat serta menerapkan sanksi egar seberat-beratnya kepada para pelaku kejahatan tersebut demi memperbaiki citra dan kemakmuran egara Indonesia yang kita cintai.

- Advertisement -

Pandangan Agoestina Mappadang ini memberi persepektif berbeda dengan pandangan umum selama ini yang selalu melihat kasus Jiwasraya dari sudut pengawasan OJK semata. Padahal masalah ini sudah terjadi jauh sebelum OJK lahir dari egar reformasi.

Direktur Riset Centre of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai banyak isu yang sengaja dikeluarkan untu untuk melemahkan OJK. Dia memberi contoh kasus Jiwasra

‘’Muncul pertanyaan sangat besar, kenapa pada saat Jiwasraya sudah mengalami insolvensi atau egara sangat besar, otoritas pengawas asuransi saat itu Bapepam LK dan pemerintah sebagai pemilik seakan tutup mata dan tetap membiarkan Jiwasraya tetap beroperasi dengan berbagai rekayasa-rekayasa keuangan,” sambung Piter.

Lebih lanjut Piter mengatakan pada 2011, Bapepam LK justru memberikan izin bagi Jiwasraya me-make-up laporan keuangannya dengan melakukan skema reasuransi sehingga perusahaan mencatatkan surplus sebesar Rp 1,3 triliun di akhir tahun 2011.

Kemudian pada 2012, Bapepam-LK memberikan izin produk JS Proteksi Plan (18 Desember 2012-Produk bancassurance dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim, dan BPD DIY). Produk JS Plan inilah yang kemudian mencuat dan memicu kegaduhan egara karena gagal dibayar oleh Jiwasraya pada Oktober 2018.

Momen peralihan pengawasan dari Bapepam LK ke OJK di 2013 tentu menjadi hal yang krusial. Apakah para pengawas OJK yang baru mendapatkan informasi yang lengkap dan jujur atas kondisi sebenarnya di Jiwasraya ini,” tutur Piter.

“Atau justru ada upaya menyembunyikan fakta buruknya kondisi keuangan Jiwasraya dengan hanya menyampaikan laporan keuangan yang sudah melalui proses rekayasa melalui re-asuransi dan penjualan JS Plan,” tambahnya.

Dikatakan Piter, upaya menutupi kondisi Jiwasraya terlihat berhasil karena OJK yang baru berdiri dengan kondisi yang kekurangan fasilitas masih sibuk dengan penyediaan infrastruktur pekerjaannya, termasuk menyusun tata kerja pengawasan yang baru.

Praktis operasional Jiwasraya tidak tersentuh hingga meledaknya kasus ini di 2018, meski pada 2015 dan 2016, OJK sudah meminta Jiwasraya memperbaiki produk JS Plan yang tidak sesuai dengan kemampuan pengelolaan investasinya. Bahkan pada 2017, OJK memberikan Sanksi Peringatan Pertama karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris tahun 2017.

“Ibarat film, kasus Jiwasraya adalah egarao besar untuk menyembunyikan borok parah perusahaan milik egara itu sehingga tetap beroperasi bahkan menjual produk ‘cantik’ yang membius para investor bancassurance hingga triliunan rupiah,” ujarnya.

“Direktur Utama dan Direktur Keuangan Jiwasraya yang sudah menjadi tersangka mungkin hanya egar-aktor film drama panjang ini. Namun, otoritas pengawas lama yang membiarkannya sejak 2004 bahkan memberikan izin Jiwasraya merekayasa keuangannya adalah sutradara dan produser utama film ini yang juga harus diungkap ke egara,” jelas Piter.

Lebih lanjut Piter mengatakan OJK sebagai otoritas pengawas baru yang didirikan dengan banyak ‘kelemahan’ hingga saat ini tentu tidak ega menolak saat pengawasan Jiwasraya juga dialihkan ke OJK, yang kemudian juga menyeret seorang pejabatnya.

OJK juga tidak ega menghindar kecaman egara terhadap kinerjanya karena dianggap lalai dan lemah akibat kasus Jiwasraya ini. Stigma bahkan semakin terbentuk setelah ada pejabat OJK yang disangkakan juga terlibat.

“Tentu saja ini menjadi catatan sejarah besar perjalanan otoritas egara pengawasan di negara ini yang reputasinya menjadi buruk karena banyak mendapatkan warisan perusahaan busuk dari otoritas pengawasan sebelumnya,” jelas Piter. (FHD)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini