spot_img
Jumat, April 26, 2024
spot_img

Simak Analisis Gita Wirjaman, Panduan Pahami Akar Konflik Rusia-Ukraina

KNews – Simak analisis Gita Wirjaman, panduan pahami akar konflik Rusia-Ukraina. Derasnya arus informasi membuat upaya memahami akar konflik Rusia dan Ukraina menjadi begitu sulit.

Tapi, jangan khawatir. Berikut rangkuman poin penting terkait akar konflik Rusia-Ukraina. Sebagaimana dilansir Hops.ID dari kanal YouTube Gita Wirjawan yang diunggah pada 12 Maret 2022.

- Advertisement -

Pertama, sebagai awalan memahami akar konflik Rusia-Ukraina, terdapat alasan struktural. Kita harus memahami corak ekspansi NATO. Upayanya mempromosikan demokrasi secara masif jelas tidak bisa dipungkiri.

Situasi yang saat ini terjadi di Ukraina tidak terlepas dari ekspansi NATO yang mulai melebarkan pengaruh di Eropa Timur.

- Advertisement -

Gita Wirjawan menuturkan bahwa ekspansi NATO ke Eropa Timur membahayakan Rusia karena hal ini berpotensi memindahkan rudal balistik yang awalnya ditempatkan di Rumania ke Ukraina dan berpotensi menjadi ancaman terbuka bagi Rusia.

Selain itu, mereka berupaya mengupas negara penyangga (dalam hal ini, Ukraina) keluar dari orbit pengaruh Rusia.

- Advertisement -

Kedua, terkait dampak KTT Bucharest 2008. Dampak lanjutan dari KTT Bucharest inilah yang membuat kemarahan dan kepanikan Rusia, dan terutama, mempercepat konflik.

Adanya kudeta 2014, atau yang dikenal dengan upaya penggulingan Presiden Yanukovich juga berawal dari sini.

Terlebih, di saat yang sama, parlemen Ukraina menolak penggunaan bahasa minoritas, termasuk Bahasa Rusia di Ukraina. Padahal kelompok keturunan etnis Rusia di Ukraina cukup besar, sekitar 17-18%

Konsekuensi lanjutannya, jelas sangat tidak berkenan, yang mana saat itu Rusia mengambil alih Crimea, melalui referendum tahun 2014.

Ketiga, terkait kebijakan Rusia yang sangat mengedepankan keamanan strategis.

Rusia juga berpikir patut memiliki doktrin, sebagaimana Amerika dengan doktrin Monroe-nya di abad-19 yang mana menganggap penting wilayah tetangga jadi negara penyangga, atau buffer state.

Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi Rusia kecuali memaksa Ukraina menjadi Buffer state.

Dan apabila Ukraina tetap keukeuh untuk masuk anggota NATO, Uni Eropa, dll atau bahkan berupaya menjadi demokrasi, barangkali dapat dipahami mengapa Putin berambisi menghancurkan Ukraina.

Selanjutnya, adanya diskrepansi paradigma. Dalam hal ini, berupaya memahami pola pikir pemimpin negara-negara besar. Menurut Gita Wirjawan, ini cukup penting.

Dalam berbagai penelitian, terdapat beberapa pemimpin yang masih memeluk atau merangkul paradigma abad-19, termasuk Tiongkok dan Rusia.

Keduanya sangat peka dengan evolusi sejarah: keamanan, kepentingan strategis, dll. Di sisi lain, Amerika Serikat dan pemimpin negara lainnya, cenderung memeluk paradigma abad-21.

Jika Rusia dan Tiongkok sangat peka dengan sejarah. Sebaliknya, NATO kurang peka, termasuk yang disepakati, meski secara lisan.

Dalam hal ini, misal, sewaktu runtuhnya tembok Berlin, di mana NATO sepakat untuk tidak melebar atau ekspansi ke arah timur.

Selain itu, ada kebijakan konvensional yang perlu dipahami. Dalam hal ini, pandangan barat mengenai Putin.

Mereka menganggap Putin orang yang tidak rasional. Beberapa ahli dari pihak mereka bahkan menyamakannya serupa Hitler yang di tahun 1938-1939 memicu perang dunia II.

Ada pula anggapan Putin yang tergila-gila akan rekontruksi Uni Soviet, yang mana jauh lebih luas dari Rusia sekarang.

Di sisi lain, terdapat pandangan mengenai Amerika Serikat. Ada pendapat yang menyatakan Bahwa Amerika Serikat terlalu hegemonik, sebagai kekuatan besar yang ingin kekuatan tambahan.

Yang harus digarisbawahi, adalah implikasinya bagi dunia, dan terutama Indonesia.

Menurut Gita Wirjawan, pembaca harus ingat sejarah. Bahwa tahun 1972, ada kesepakatan antara Tiongkok dan Amerika Serikat, Richard Nixon dan Mao Tse Tung / Deng Xiaoping, yang mana membuahkan normalisasi hubungan keduanya.

Hal ini, juga dilakukan untuk kepentingan mereka membendung kekuatan Uni Soviet. Sebagaimana diketahui, saat itu rivalitas antara Tiongkok dan Uni Soviet, juga antara Tiongkok dan Amerika Serikat, tidak bisa diremehkan.

Hanya saja, secara geopolitik, Amerika Serikat mengambil sikap atau memilih untuk beraliansi dengan Tiongkok dalam upaya menahan pengaruh kekuatan politik dan militer Uni Soviet.

Tetapi, yang sebelumnya layak lebih dulu dipahami, bahwa secara ekonomi, politik, dan militer, kekuatan Uni Soviet pada tahun 1972 itu jauh lebih besar dibanding Tiongkok.

Namun jika kita fast forward, kini sudah banyak yang berubah secara ekonomi, militer, dan geopolitik. Kekuatan ekonomi Tiongkok sekarang adalah perekenomian terbesar kedua. Dengan kekuatan geopolitik yang lebih besar dari Rusia.

Alternatif cara hentikan konflik

Gita Wirjawan menegaskan bahwa pemimpin-pemimpin negara besar harus menunjukkan kepiawannya dalam berdiplomasi. Sebab, perang hanya merugikan masyarakat kecil.

Selain itu, pemimpin-pemimpin besar harus pandai mencari keseimbangan geopolitik dimanapun, khususnya Eropa dan Asia.

Meski sanksi ekonomi, sudah dan akan terus berkelanjutan. Namun, jika menilik sejarah, sanksi yang dilakukan negara besar seperti Amerika terhadap Iran, Kuba, malah menunjukkan daya tahan keduanya. Artinya insignifikan.

Kini, terbukti pula sanksi-sanksi yang dinyatakan oleh negara-negara Barat terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin, gagal menghentikan serangannya di beberapa kota. (RKZ/hops)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini