KNews.id – Ada beberapa pihak yang menyampaikan kepada saya, mungkin saat ini sedang terjadi operasi rahasia untuk menjegal Gibran Rakabuming Raka maju menjadi wakil presidennya Pak Prabowo. Operasi ini dilakukan dengan berbagai cara dan melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Cara yang paling utama adalah dengan upaya membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UU Pemilu soal batas usia capres dan cawapres, kalau tidak bisa dibatalkan setidaknya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut didelegitimasi secara politik.
Saya tidak begitu yakin soal kebenaran adanya operasi rahasia menjegal Gibran tersebut, namun saya hanya memetakan adanya dua elemen masyarakat yang mengkritisi putusan Mahkamah Konstitusi.
Elemen pertama adalah aktivis idealis yang memang selalu mengkritisi setiap produk keputusan atau kebijakan yang dianggap bersumber dari kekuasaan. Pada saat KUHP dibahas dan disahkan, mereka getol menyampaikan kritikan bahwa draf KUHP tersebut sangat buruk karena mengandung beberapa pasal yang mereka anggap kontroversial. Namun setelah melalui proses dialog dan diskusi beberapa kali di Komisi III DPR RI, mereka juga sadar bahwa banyak sekali hal-hal positif dalam KUHP yang menggantikan KUHP produk kolonial yang memang sangat-sangat buruk.
Pada akhirnya ketika KUHP disahkan, resistensi mereka mulai mereda dan perlahan-lahan senyap, seiring dengan begitu masif penjelasan dari pemerintah dan DPR bawa KUHAP baru perlu disahkan agar kita tidak lagi menggunakan KUHP kolonial.
Elemen kedua yang mempersoalkan putusan Mahkamah Konstitusi adalah mereka yang khawatir bahwa majunya Gibran sebagai wakil presiden dari Prabowo Subianto akan membuat pasangan tersebut sangat sulit untuk dikalahkan. Langkah pertama pembatalan atau delegitimasi putusan Mahkamah Konstitusi yang dilakukan dengan cara membuat laporan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Dikembangkanlah narasi bahwa jika hakim konstitusi terbukti melakukan pelanggaran etika dalam memeriksa dan memutus perkara uji materi, maka perkara uji materi yang sudah diputus bisa dibatalkan.
Tentu langkah ini sangat tidak masuk akal, sebab Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan mereka hanyalah memberikan hukuman baik berupa teguran lisan, tertulis atau berat kepada hakim konstitusi yang terbukti melanggar etika dalam menjalankan tugasnya.
Jangankan putusan MKMK, putusan pengadilan yang membuktikan hakim konstitusi melakukan tindak pidana saja tidak bisa membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi. Kita ingat kasus Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tahun 2014 yang tertangkap KPK dan dijatuhi pidana karena menerima suap saat menangani perkara hasil pemilihan umum (PHPU) beberapa daerah mulai dari perkara Pilkada Lebak, Gunung Mas, Sumatera Selatan dan lain-lain. Penjatuhan pidana terhadap Akil terkait perkara yang dia tangani di MK ternyata sama sekali tidak membuat putusan perkara tersebut dibatalkan.
Kita juga ingat tahun 2017 Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ditangkap KPK dan dijatuhi pidana karena dituduh menerima suap terkait uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Putusan pidana terhadap Patrialis Akbar, ternyata tidak bisa merubah putusan uji materi undang-undang.
Selain itu, keputusan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi juga tidak bisa merubah putusan atau hasil rapat Dewan Perwakilan Rakyat. Kasus hakim konstitusi Arief Hidayat yang dihukum oleh Dewan Etik Mahkamah Konstitusi karena bertemu dengan sejumlah anggota DPR sebelum rapat terkait pemilihan dirinya kembali sebagai hakim konstitusi ternyata tidak merubah hasil rapat DPR yang memutuskan dia terpilih kembali sebagai hakim konstitusi.
Kalau langkah pertama membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi gagal, mungkin mereka beranggapan setidaknya mereka bisa mendelegitimasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Namun jika melihat fakta di akar rumput sepertinya upaya mereka juga sia-sia. Saat ini, masyarakat terutama generasi muda sepertinya lebih fokus pada substansi putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan keadilan dan hak kepada generasi muda untuk bisa berpartisipasi dalam kontestasi politik paling bergengsi yakni pemilihan presiden dan wakil presiden.
Saya beranggapan bahwa fenomena yang terjadi di atas adalah keniscayaan serta kewajaran dalam politik. Kita semua tidak berada di ruang hampa, sebaliknya kita tentu punya latar belakang tertentu dalam menyampaikan sikap politik. Semua tersebut sah-sah saja, dan boleh-boleh saja sepanjang tidak terjadinya pemaksaan kehendak, pelanggaran hukum berupa penyebaran fitnah. Pada akhirnya semua akan dinilai oleh rakyat. Saat ini rakyat kita sudah cerdas, mereka bisa membedakan hal-hal yang secara prinsip benar atau tidak. (Zs/Dtk)