spot_img
Rabu, Juli 3, 2024
spot_img

Komentar 5 Ekonom RI Soal APBN Terakhir Jokowi Rp3.304 T

KNews.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2024. Anggaran terakhir Jokowi itu diarahkan untuk menjaga perekonomian masyarakat dari gejolak global sambil mendorong transformasi ekonomi.

Dengan arsitektur APBN tersebut, pemerintahan Presiden Jokowi menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2024 sebesar 5,2%, rata-rata nilai tukar rupiah Rp15.000 per dolar AS, inflasi di kisaran 2,8%, serta rata-rata suku bunga Surat Berharga Negara 10 tahun diprediksi pada level 6,7%.

- Advertisement -

Dari sisi pendapatan negara direncanakan sebesar Rp2.781,3 triliun, sedangkan belanja negara dialokasikan Rp3.304,1 triliun. Dengan demikian defisit anggaran ditargetkan 2,29% PDB atau sebesar Rp522,8 triliun dengan keseimbangan primer negatif Rp25,5 triliun. Merespons rancangan anggaran terakhir Presiden Jokowi itu, setidaknya ada lima ekonom tanah air yang menaruh catatan khusus.

Berikut ini perspektif mereka yang CNBC Indonesia berhasil rangkum:

1. Kepala Ekonom BCA David Sumual

- Advertisement -

Menurut David, target-target ekonomi yang Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetapkan dalam RAPBN 2024 cukup realistis menangkap gejolak perekonomian global dan kondisi ekonomi domestik. Namun, ia mengingatkan, target-target tersebut, khususnya target pertumbuhan ekonomi terlalu pesimistis atau jauh di bawah pertumbuhan potensialnya. Ini menandakan belum adanya upaya untuk melakukan transformasi ekonomi secara konkrit.

“Cukup realistis, tapi sebenarnya masih jauh di bawah pertumbuhan potensial yang bisa kita gapai. Hitungan saya pertumbuhan ekonomi potensial bisa ke arah 5,5-5,7%,” kata David kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (21/8/2023). Ia mengatakan, dengan target pertumbuhan yang sesuai dengan potensi ekonomi Indonesia, pemerintah seharusnya bisa mengarahkan kinerja APBN secara umum untuk memperbaiki fundamental ekonomi secara keseluruhan, khususnya yang terkait investasi.

- Advertisement -

“Investasi langsung masih bisa didorong terutama dari segi kualitas, efektivitas, dan efisiensinya. ICOR (Incremental Capital Output Ratio) kita masih relatif tinggi dibanding negara ASEAN lain,” tegasnya. Menurutnya, dengan transformasi ekonomi yang betul-betul terjadi, maka seharusnya dampak pelemahan ekonomi global yang ditakuti Jokowi dan Sri Mulyani pada 2024 tidak akan banyak mempengaruhi perekonomian Indonesia. Dengan begitu target pertumbuhan tak akan dipatok hanya 5,2% dari tahun ini 5,3%.

Menurut dia, ini karena faktor penopang pertumbuhan akan bisa tetap terjaga. Selain konsumsi yang kuat dan berkelanjutan, juga akan ditopang oleh kinerja investasi yang lebih memberi dampak lebih cepat ke perekonomian dan ekspor yang secara nilai akan tetap tinggi meski pelemahan permintaan terjadi. “Jadi masih banyak pemborosan dan ketidakefisienan dalam perencanaan dan proses investasi kita. Baik yang digarap pemerintah seperti infrastruktur maupun swasta,” kata David.

2. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede

Josua juga sependapat bahwa target-target dalam RAPBN 2024 realistis meski terbilang optimistis. Ia mendasari dari besarnya risiko pada 2024 seperti potensi peningkatan inflasi pangan di tengah fenomena El Nino yang diperkirakan puncaknya terjadi di Agustus atau September 2023. “Pemerintah perlu memitigasi risiko peningkatan inflasi pangan sedemikian sehingga ekspektasi inflasi dapat terjangkar. Jika pemerintah dapat memitigasi risiko tersebut, maka inflasi tahun 2024 diperkirakan akan terkendali dalam kisaran 3,0-3,5%,” ujar Josua.

Risiko terkait pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,2% dan harus dimitigasi menurutnya adalah perlambatan ekonomi China, yang diperkirakan sudah mulai terjadi di tahun ini, serta potensi normalisasi harga komoditas. Ia juga menyoroti secara khusus tantangan utama pemerintah dalam memenuhi target APBN 2024 dari sisih penerimaan perpajakan, yang ditargetkan tumbuh sekitar 9% dari outlook APBN 2023 atau lebih tinggi dari pertumbuhan normal (PDB riil: 5,2% + inflasi:2,8% = 8%).

“Pada tahun 2024 mendatang, seiring dengan penurunan potensi pajak dari sisi komoditas, tentunya realisasi perpajakan berpotensi mengalami perlambatan. Kondisi tersebut masih bisa dioffset dengan upaya mendorong sumber pertumbuhan ekonomi yang lain, sehingga penerimaan dari pajak penghasilan cenderung meningkat,” kata Josua. Menurutnya, defisit APBN 2024 yang ditargetkan sekitar Rp522,8 triliun atau 2,29% dari PDB, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi defisit APBN 2023 sebesar 2,28% dari PDB atau sekitar Rp486,4 triliun juga harus dicermati. Ini karena implikasinya ke beban utang.

Dibandingkan dengan outlook APBN 2023, target pembiayaan SBN naik 83,6% menjadi Rp666,44 triliun, berimplikasi pada penerbitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan outlook penerbitan tahun 2023, yaitu Rp362,93 triliun. “Potensi permintaan obligasi lainnya berasal dari reksa dana/asuransi/dana pensiun, yang diperkirakan akan meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Kami memperkirakan imbal hasil SBN 10 tahun di tahun 2024 akan berada di kisaran 6,2%-6,7%,” kata Josua.

3. Kepala Ekonom Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo

Menurut Banjaran, asumsi makro ekonomi yang digunakan untuk RAPBN 2024, yaitu 5,2% pertumbuhan PDB, 2,8% inflasi, kurs Rupiah di 15.000/USD, dan harga minyak US$ 80/barel merupakan asumsi yang lebih optimistis dibandingkan proyeksi konsensus pelaku pasar, yaitu 5,0% pertumbuhan PDB dan 3,0% inflasi. “Apabila dibandingkan dengan proyeksi kami, asumsi pertumbuhan ekonomi pada RAPBN tersebut cenderung berada di dalam best case scenario. Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi pada baseline scenario kami berada di kisaran 4,6-5,0%,” ucap Banjaran.

Banjaran menjelaskan, pertumbuhan ekonomi pada 2024 yang cenderung di bawah 5% disebabkan kondisi perekonomian global yang masih melambat dan gejolak tinggi yang berlanjut hingga 2024. Salah satu yang perlu dikhawatirkan menurutnya adalah rambatan atau spillover dari kondisi di AS yang berpotensi memasuki resesi pada tahun depan. “Hal ini berpotensi menekan nilai tukar Rupiah, menaikkan harga minyak mentah, memperberat imported inflation dan mengurangi permintaan ekspor,” ucap Banjaran.

Jika pemerintah ingin mewujudkan pertumbuhan 5,2% atau lebih, Banjaran menilai, pemerintah membutuhkan alokasi belanja yang dapat menggerakan perekonomian di tengah pelemahan ekspor. Beberapa di antara, misalnya, melanjutkan penguatan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di tengah gejolak politik dan masa pergantian kepala daerah, penguatan industri halal untuk mendukung ekspor ke pangsa pasar non-konvensional di Timur Tengah, penguatan SDM seperti link and match skill pekerja, serta kewajiban penyerapan tenaga kerja lokal di proyek hilirisasi.

4. Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto

Myrdal mengungkapkan, dari sisi target secara makro, yaitu asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia, masih realistis di level 5,2%. Ini menurutnya sejalan dengan ekspektasi Maybank pada tahun ini sebesar 5,1% dan 5,22% pada 2024. “Begitu pula asumsi nilai tukar Rupiah, inflasi, harga minyak ICP yang sejalan dengan pergerakan USD-IDR saat ini. Walaupun dari sisi suku bunga rata-rata surat utang negara 10 tahun terlihat ada potensi yield meningkat dari kondisi saat ini, padahal asumsi inflasi tahun depan berada di bawah 3%,” ucap Myrdal.

Dari sisi RAPBN 2024, Myrdal menganggap pemerintah masih tetap bersikap hati-hati atau prudent menjaga fiskal Indonesia tetap di level rendah di bawah 3% terhadap PDB. “Anggaran pendapatan negara diharapkan tetap mampu mendukung belanja negara yang fokus pada sektor pendidikan, infrastruktur, maupun kesejahteraan dan kesehatan masyarakat agar dapat menopang perekonomian Indonesia tumbuh solid di tahun politik,” ucap Myrdal

“Anggaran infrastruktur, baik untuk pembangunan fisik, konektivitas nasional maupun pembangunan ibukota negara baru, juga terlihat kembali menjadi prioritas pada tahun depan atau selepas dari era akhir pandemi pada 2022,” tuturnya.

5. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara

Bhima berpandangan, target-target atau asumsi makro yang dipatok pemerintah dalam RAPBN 2024 terlalu optimistis. Ia meragukan, pemerintah bisa mencapai target pertumbuhan dan defisit pada 2024, dan berpotensi munculnya APBN perubahan. “Super optimis asumsi makro 2024. Bahkan pertumbuhan 5,2% dengan Defisit 2,29% ini cukup membingungkan bagaimana pemerintah bisa mencapainya saya khawatir akan ada APBN Perubahan ditengah jalan terutama pasca Pemilu,” tegas Bhima.

Ia mengungkapkan, setidaknya ada lima faktor mengapa target pertumbuhan 5,2% dan defisit 2,29% akan sulit tercapai pada 2024. Pertama karena belanja pemerintah cenderung populis, termasuk soal kenaikan gaji dan pensiunan ASN yang hanya memperlebar belanja rutin pemerintah.

Lalu, Bhima mengingatkan bahwa beban pembayaran bunga utang makin besar sehingga butuh anggaran lebih untuk membayar bunga dan pokok utang. Ini di samping potensi pelaku usaha yang akan menerapkan penundaan ekspansi karena target pajak mencapai Rp 2.307 triliun di tengah basis pajak yang masih sama.

Mega proyek infrastruktur yang masih akan dikejar misalnya IKN menurutnya juga bisa memakan banyak anggaran, termasuk membantu BUMN karya yang bermasalah lewat suntikan modal, sehingga berpotensi memperlebar defisit. Strategi itu pun dilakukan pada saat bonanza harga komoditas berpotensi berakhir dalam tahun anggaran 2024, sehingga menyebabkan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP tertekan karena masih didominasi oleh setoran dari sektor SDA seperti batu bara.

“Jadi harus dipilih kalau mau pertumbuhan di atas 5% maka defisit perlu dilebarkan, dan fokus ke stimulus ke sektor yang jadi motor utama pertumbuhan: industri, pertanian, dan jasa logistik,” ucap Bhima. (Zs/CNBC)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini