spot_img
Minggu, Mei 19, 2024
spot_img

Jokowi, Sri Mulyani & BI Buka-bukaan Situasi Kini Gawat

KNews.id – Selepas pandemi Covid-19, ancaman dunia tidak berhenti begitu saja. Dunia dibayangi oleh situasi berat mulai dari perubahan iklim, perang yang muncul antara Palestina dan Israel serta fenomena suku bunga tinggi.

Kondisi ini diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Keuangan Sri Mulyani dan pejabat negara lainnya. Jokowi mengungkapkan tantangan ekonomi ke depan semakin berat karena imbas gejolak yang terjadi di dunia seperti perubahan iklim hingga perang.

- Advertisement -

“Dunia semakin tidak jelas. Tantangan yang kita hadapi juga tidak semakin berkurang tapi semakin bertambah,” kata Jokowi di Jakarta.

Dia menjabarkan seperti perubahan iklim sebelumnya dianggap sesuatu yang absurd, kini dampaknya sudah mulai terasa. Seperti kekeringan super El Nino yang membuat produksi beras hampir turun di semua negara.

- Advertisement -

“22 negara juga mengerem (ekspor pangan), stop tidak ekspor beras lagi ini lah kondisi yang dulu tidak pernah kita hitung tapi muncul,” kata Jokowi. Selain itu pelemahan ekonomi global terjadi, juga kebijakan yang diambil negara maju seperti Amerika Serikat seperti kenaikan suku bunga juga membuat situasi semakin rumit bagi negara berkembang.

“Capital outflow semua lari balik ke Amerika, semakin juga merumitkan kita semua,” kata Jokowi.

- Advertisement -

Ditambah, lanjut Jokowi, peperangan yang belum jelas berakhir seperti Ukraina dengan Rusia. Kini ditambah dengan perang antara Hamas dan Israel juga semakin mengkhawatirkan. Karena berpotensi melebar hingga negara lainnya seperti Lebanon, Suriah, hingga Iran.

“Dan akan semakin merumitkan masalah ekonomi semua negara karena harga minyak pasti naik,” ujarnya.

Jokowi pun mewanti-wanti semua pihak untuk mewaspadai sentimen ini terhadap ekonomi dalam negeri, baik dari sisi moneter maupun fiskal. Menurutnya meski Indonesia sudah memiliki arah kebijakan atau peta jalan untuk menopang ekonomi di masa depan seperti hilirisasi, namun masih harus detail diawasi dalam implementasinya.

“Kerja detail, di cek yang betul, kerja lapangan diawasi dan dicek di lapangan, artinya kerja mikro itu penting sekali, bottlenecking diselesaikan, memang kerja sekarang tidak bisa yang makro saja, tidak bisa, dan punya tim masing-masing untuk mengawal di lapangan,” jelas Jokowi.

Sri Mulyani mengakui tekanan ekonomi global yang terjadi saat ini, seperti dampak dari kondisi peperangan yang terjadi di berbagai wilayah, seperti perang Rusia dan Ukraina serta Israel dan Palestina, gejolak tingginya harga komoditas energi dan pangan yang termasuk akibat fenomena El Nino, serta tren suku bunga yang tinggi berpotensi menekan ekonomi Indonesia mulai kuartal IV-2023.

Dia mengatakan, akibat kondisi tekanan global itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melemah ke level 4,86% pada kuartal IV-2023, dari asumsi awal sebesar 5,06%. Lalu, untuk keseluruhan tahun, akan melemah ke level 5,04% dari asumsi awal 5,09%, dan pada 2024 pelemahan ekonomi hanya akan tumbuh 5,08% dari asumsi di APBN 2024 sebesar 5,2%.

Sumber Kepusingan RI

Kementerian Keuangan juga mewaspadai penurunan harga komoditas unggulan Indonesia. Melandainya harga komoditas akan menggerus ekspor serta pendapatan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari komoditas, seperti di Kalimantan dan Sumatera. Data Badan Pusat Statistik (BPS), secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-September 2023 mencapai US$192,27 miliar. Nilai tersebut turun 12,34% dibanding periode yang sama tahun 2022.

Nilai ekspor batu bara Januari-September 2023 tercatat US$ 26,12 juta miliar atau ambruk 24,25% dibandingkan tahun sebelumnya. Secara volume, ekspor batu bara periode Januari-September naik 1,4% menjadi 273,8 juta ton dibanding tahun sebelumnya (yoy).

Sementara itu, nilai ekspor CPO pada Januari-September 2023 mencapai US$ 17,3 miliar atau jeblok 15% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sebagai catatan, nilai ekspor CPO dan batu bara menyumbang sekitar 30% kepada total ekspor Indonesia.

Imbas dari perlambatan ini menyebabkan kantong penerimaan negara susut. Data Kementerian Keuangan menunjukkan penerimaan bea keluar hanya mencapai Rp 8,2 triliun. Angka tersebut jeblok 78,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Bea keluar produk sawit ambruk 82,1% (year on year/yoy) pada Januari-September 2023 karena harga CPO yang lebih rendah meskipun volume ekspor tumbuh.

Kemudian, bea keluar tembaga jeblok 54,3% pada Januari-September 2023 karena penurunan volume ekspor. Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam nonmigas tercatat mencapai Rp 106,5 triliun per akhir September 2023. Angka ini telah melampaui 164,4% dari target APBN 2023. Kendati melampaui target, penerimaan PNBP ini tidak setinggi pertumbuhan 295,1% pada Januari 2023. Sri Mulyani pernah mengungkapkan harga komoditas pangan maupun energi sulit diprediksi sebab adanya volatilitas akibat kondisi geopolitik dunia dan perekonomian global penuh ketidakpastian.

“Harga pangan dan energi sangat bergantung pada aktivitas ekonomi global dan geopolitik,” tegasnya di DPR beberapa waklu lalu. Kondisi ini ditambah dengan restriksi ekspor pangan di berbagai negara.

Lima Masalah Dunia

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan lima beban ekonomi global saat ini. Menurutnya, kelima beban ini juga menjadi sorotan banyak kepala negara dan instansi dunia. Pertama, pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat dari perkiraan awal 2.9% menjadi 2,8%. Di samping adanya divergensi pertumbuhan antar negara yang semakin melebar.

“China sekarang sudah melambat dan akan melambat nah ini yang kemudian dalam 2 tahun ke depan 2024 2025 pertumbuhan ekonomi akan melambat tahun depan divergensi sumber pertumbuhan ekonomi melebar baru menyempit di 2025,” paparnya. “Dan baru 2026 kemungkinan akan stabilizing jadi 2024 masih diliputi uncertainty mengenai pertumbuhan global yang akan cenderung melambat,” kata Perry.

Maka dari itu, seluruh dunia memang harus mendorong permintaan domestik supaya pertumbuhan ekonomi masih tinggi. Kedua, adalah meningkatnya tensi ketegangan geopolitik. Implikasinya paling nyata sudah terlihat pada harga minyak bumi dan pangan. Perry melihat kondisi ini akan memperlambat penurunan inflasi di banyak negara.

Ketiga, suku bunga acuan AS fed fund rate akan tinggi dalam waktu yang lama. Perry juga melihat akan ada kenaikan suku bunga acuan AS pada Desember 2023. “Tapi kan ketidakpastian tinggi, meski naik atau tidak naik masih akan tetap tinggi khususnya di paruh pertama tahun depan baru mulai turun pada paruh kedua jadi kemungkinan akan begitu,” ujar Perry.

Keempat, Perry menjelaskan kenaikan suku bunga acuan tidak hanya di jangka pendek tapi kebijakan moneter menaikkan suku bunga global jangka pendek. Sehingga US treasury sekarang naik.

“Jadi term higher for longer akan lebih tinggi untuk yield suku bunga obligasi pemerintah dari negara-negara maju,” imbuhnya. BI menilai ada probabilitas sekitar 40 persen, Fed Fund Rate akan naik pada Desember 2023 dan ketidakpastian tinggi.

Perry mengungkapkan kenaikan yield obligasi negara maju, termasuk US Treasury, dapat berdampak pada aliran modal di emerging market, termasuk Indonesia. Kelima, adalah dampaknya, di mana dolar AS begitu perkasa dan melemahkan mata uang banyak negara di dunia, termasuk rupiah. Perry pun mengakui penyebab rupiah terus melemah beberapa hari terakhir. Menurutnya, kondisi ini tidak terlepas dari kecenderungan perilaku pasar keuangan ataupun investor yang lebih memilih memegang uang kertas dolar alias fenomena cash is the king.  (Zs/CNBC)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini