KNews.id – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang menyinggung konflik kepentingan merupakan argumentasi konyol.
Hal itu dinyatakan Kurnia usai menyampaikan laporan dari 16 guru besar dan pengajar hukum tata negara (HTN) dan hukum administrasi negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society [CALS] soal dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim Ketua MK Anwar Usman ke Majelis Kehormatan MK (MKMK).
“Argumentasi yang disampaikan oleh saudara Anwar Usman beberapa hari lalu yang mengatakan bahwa pengujian undang-undang itu adalah pengujian yang abstrak, tidak terkait dengan individu tertentu, bagi kami itu argumentasi yang konyol,” ujar Kurnia saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/10).
“Kenapa? Karena kalau dibaca jelas permohonan tersebut, secara spesifik menyebutkan nama Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang mana itu merupakan keponakan dari saudara Anwar Usman,” tegasnya.
Hal tersebut yang kemudian dinilai membuat Anwar Usman tak layak lagi jadi hakim konstitusi, terlebih ketua Mahkamah Konstitusi.
“Bagi kami sosok seperti Anwar Usman itu tidak lagi layak menjadi hakim konstitusi apalagi ketua MK. Salah satu syarat menjadi hakim konstitusi adalah negarawan yang mana ia harus memahami seluruh peraturan dan juga nilai etik,” ucap Kurnia.
Kurnia juga menyoroti waktu pengucapan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang hanya berjarak beberapa hari sebelum KPU membuka pendaftaran capres-cawapres. Putusan itu dinilai buat Gibran mendapat karpet merah untuk mendaftar jadi cawapres.
Bersama laporan yang disampaikan tersebut, Kurnia dan pihaknya berharap MKMK dapat memberhentikan Anwar dengan tidak hormat apabila ditemukan pelanggaran kode etik.
Respons Anwar UsmanÂ
Anwar sebelumnya sempat menjawab pertanyaan awak media hingga berita yang telah beredar mengenai konflik kepentingan.
Dalam kesempatan itu, Anwar mempersilahkan untuk membaca dan mengkaji putusan MK Nomor 004/PUU-I/2003, 005/PUU-IV/2006, 97/PUU-XI/2013, serta 96/PUU-XVIII/2020 terkait makna konflik kepentingan terkait dengan kewenangan MK. (Zs/CNN)