spot_img
Kamis, Mei 2, 2024
spot_img

HIPMI: Masih terdapat Area Abu-abu, Tempat Aparat Pajak Bermain ‘Nakal’

KNews.id- Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani memandang terjadinya korupsi pajak di ranah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan karena masih ada peraturan pajak yang multi tafsir.

“Ada area abu-abu di aturan pajak itu sendiri, banyak multi tafsir. Database yang belum valid, dan personal interest oknum itu sendiri,” jelas Ajib kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/3).

- Advertisement -

Lebih lanjut, Ajib menjelaskan regulasi yang multitafsir itu misalnya bagaimana mengartikan pajak yang terutang yang selanjutnya didukung dengan dokumen-dokumen yang ada. Pasalnya kata Ajib, untuk konteks sebuah pengeluaran yang sama, tapi jenis dokumen berbeda maka jenis pajaknya pun akan berbeda

“Dan itu banyak sekali. Misalnya, apakah gaji, tunjangan, atau dividen, itu unsur pajaknya beda. Kita menggunakannya pajak final atau tidak. Itu ada beberapa konteks yang aturannya kita pake sama, tapi kemudian diterjemahkannya beda-beda,” tuturnya.

- Advertisement -

Contoh lain yang multitafsir, kata Ajib misalnya pengusaha menyewakan office tower untuk virtual office kepada pengusaha lain. Yang menyewakan office tower memungut biaya jasa sekaligus sewa kantor, ini bisa jadi PPh Final untuk sewa tanah, dan bangunan atau seperti apa.

“Karena bisa sekaligus sewa kantor dan biaya jasa, bisa dibikin PPh Final, tapi ada juga yang dipisah-pisahkan. Nah multitafsir seperti itu masih banyak sekali di lapangan,” tuturnya.

- Advertisement -

Regulasi yang multitafsir itu, kata Ajib ada di hampir semua peraturan, mulai dari undang-undang sampai aturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

“Di semua level aturan itu ada area abu-abu yang bersifat multitafsir,” kata Ajib melanjutkan.

Oleh karena itu, menurut Ajib percepatan penyelesaian Sistem IT pajak menjadi sangat penting untuk dikerjakan. Sistem IT ini menurut Ajib akan menjadi penopang dan infrastruktur untuk mengukur tax compliance wajib pajak. Pasalnya kata Ajib, untuk konteks sebuah pengeluaran yang sama, tapi jenis dokumen berbeda maka jenis pajaknya pun akan berbeda

“Dan itu banyak sekali. Misalnya, apakah gaji, tunjangan, atau dividen, itu unsur pajaknya beda. Kita menggunakannya pajak final atau tidak. Itu ada beberapa konteks yang aturannya kita pake sama, tapi kemudian diterjemahkannya beda-beda,” tuturnya.

Contoh lain yang multitafsir, kata Ajib misalnya pengusaha menyewakan office tower untuk virtual office kepada pengusaha lain. Yang menyewakan office tower memungut biaya jasa sekaligus sewa kantor, ini bisa jadi PPh Final untuk sewa tanah, dan bangunan atau seperti apa.

“Karena bisa sekaligus sewa kantor dan biaya jasa, bisa dibikin PPh Final, tapi ada juga yang dipisah-pisahkan. Nah multitafsir seperti itu masih banyak sekali di lapangan,” tuturnya.

Regulasi yang multitafsir itu, kata Ajib ada di hampir semua peraturan, mulai dari undang-undang sampai aturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

“Di semua level aturan itu ada area abu-abu yang bersifat multitafsir,” kata Ajib melanjutkan.

Oleh karena itu, menurut Ajib percepatan penyelesaian Sistem IT pajak menjadi sangat penting untuk dikerjakan. Sistem IT ini menurut Ajib akan menjadi penopang dan infrastruktur untuk mengukur tax compliance wajib pajak. (Ade)

 

Sumber: CNBCIndonesia

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini