spot_img
Senin, Mei 6, 2024
spot_img

Harapan Tinggal Harapan, Nasib Warga Rempang Yang di Janjikan Serificate, di Gusur Demi Investasi Asing

KNews.id – SOBIRIN kini tak lagi bisa melaut dengan tenang. Perasaan takut dan cemas terus-menerus menyelimuti nelayan berusia 43 tahun di Tanjung Banun, Kelurahan Sembulang, Kota Batam itu. Selalu terbayang dalam benaknya, nasib kampungnya yang telah rata dengan tanah saat sampai ke daratan.

“Kami tak pernah tenang macam kemarin lagi. Sekarang ini mau nyelam [mencari] gonggong susah, ingat dan takut kampung kami dipatok. Macam manalah, kami jadi takut semua,” kata Birin, sapaan akrab Sobirin, 12 September 2023.

- Advertisement -

Kabar pematokan lahan yang santer terdengar sejak 21 Agustus 2023 lalu menjadi awal keresahan masyarakat. Ia dan ratusan pemuda dari empat kampung (Sembulang, Dapur 6, Tanjung Banun, dan Sungai Buluh) sudah bersiap mengadang Tim Terpadu yang akan masuk ke kampungnya untuk mengukur lahan. Namun, rombongan Tim Terpadu yang terdiri dari TNI, Polri, Ditpam BP Batam dan Satpol PP itu lebih dulu diadang warga Rempang yang telah berkumpul sedari pagi di Jembatan IV Barelang.

Aparat terpaksa putar arah dan tak sampai ke kampungnya. Warga Rempang yang berkumpul di Jembatan IV bersikeras tak mengizinkan mereka masuk hingga ada titik terang mengenai kampung mereka.

- Advertisement -

“Bukannya kami melarang orang itu. Kami tak melarang, tapi tolonglah jangan dipatok dulu sebelum selesai negosiasinya,” kata Birin.

Masyarakat berpikir, jika kampung mereka dipatok, maka segera mereka akan terusir. Sejak saat itu, masyarakat Rempang melakukan penjagaan di setiap akses masuk ke kampung-kampung, termasuk simpang tiga Dapur 6, pintu masuk menuju beberapa kampung di Kelurahan Rempang Cate dan Sembulang.

- Advertisement -

Menurut Birin, posko itu mereka dirikan sebagai langkah antisipasi terhadap masuknya orang asing ke kampung mereka, baik untuk mematok lahan warga ataupun melakukan provokasi. Orang-orang tua, pemuda, anak-anak sekolah, hingga para perempuan silih berganti menjaga posko itu, siang dan malam.

Muasal masalah ini adalah rencana investasi senilai Rp381 triliun yang disambut sukacita oleh Pemerintah Kota dan BP Batam. Pemerintah Indonesia, tak hanya memprioritaskan realisasi investasi ini dibanding kepentingan masyarakat Rempang, karpet merah pun digelar dengan dukungan berupa pengamanan dan cepatnya proses relokasi warga.

Kondisi yang berlawanan dialami oleh ribuan masyarakat Melayu di Rempang. Hanya duka dan ketakutan yang mereka rasakan. Mereka takut tanah leluhur yang diami secara turun temurun, bersama dengan sejarah dan kebudayaan mereka hilang tergerus investasi.

Semua berjalan begitu cepat. Badan Pengusahaan (BP) Batam meluncurkan rencana pengembangan kawasan Rempang-Galang, menjadi Rempang Eco-City di Sekretariat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu, 12 Juli 2023 lalu.

Hari itu, Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam, Muhammad Rudi juga menerima langsung Surat Keputusan (SK) Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Kawasan Rempang dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang diserahkan oleh Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang RI, Raja Juli Antoni.

Rudi juga turut menyerahkan Development Plan kawasan tersebut kepada PT MEG sebagai perusahaan pengembang. Pengembangan Pulau Rempang secara resmi saat itu diberi nama Kawasan Rempang Eco-City dengan luasan wilayah pengembangan 17 ribu hektare.

Tiga bulan setelah BP Batam menyerahkan pengelolaan Pulau Rempang ke PT MEG, Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI, Bahlil Lahadalia dan perwakilan Xinyi Glass, melakukan penandatanganan nota kesepahaman atau MoU dokumen kerja sama dalam membangun ekosistem hilirisasi industri kaca dan panel surya di Indonesia, Jumat, 28 Juli 2023, di Hotel Shangri-La, Chengdu, Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Penandatangan MoU tersebut disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo, yang juga merupakan salah satu agendanya dalam lawatan ke Tiongkok.

Kawasan Rempang kemudian masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021. Peraturan itu disahkan oleh Menko Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartanto, tanggal 28 Agustus 2023 lalu di Jakarta.

Dalam investasi tahap pertama ini, perusahaan kaca terbesar asal Tiongkok, Xinyi Internasional Investment Limited akan berinvestasi di Rempang dengan nominal Rp174 triliun.

Tanggal 28 September 2023 menjadi tenggat waktu bagi BP Batam untuk melakukan proses clean and clear di Kecamatan Rempang. Rencananya, setelah proses ini selesai, pengelolaan Pulau rempang akan diserahkan kepada PT MEG. Semua proses yang terburu-buru ini membuat warga tak memiliki pilihan lain selain berjuang dengan berbagai cara untuk melawan penggusuran dengan dalih investasi yang mensejahterakan mereka.

“Jangan kami dikeluarkan dari kampung kami. Pemerintah seolah menjual masyarakat ke negara asing. Jangan seperti itu,” ucap Naharuddin mertua Birin yang  baru saja pulang dari masjid, usai salat zuhur siang itu, Selasa, 12 September 2023.

Lelaki 79 tahun itu adalah satu dari sekian ribu warga Melayu Rempang yang kini tak lagi bisa tidur nyenyak sejak kabar pengembangan kawasan Rempang menjadi Rempang Eco-City.

Kedamaian yang semula ia rasakan, kini berubah menjadi resah. Tak pernah terbayang olehnya hal semacam ini terjadi padanya dan masyarakat Rempang lainnya. Dalam benaknya, bayangan akan terusir dari tanah kelahiran demi ambisi investasi semakin hari semakin nyata adanya.

Sejak adanya rencana pengembangan kawasan Rempang, masyarakat telah bersepakat untuk tak menolak pembangunan di pulau itu. Mereka hanya menolak penggusuran. Pembangunan menurut masyarakat justru baik untuk daerah itu, tentunya asal masyarakat juga bisa menikmati hasilnya tapi bukan dengan cara mengusir mereka. Pikirnya, bisa saja investasi beriringan dengan keinginan masyarakat. Namun, pemerintah sudah terlanjur menutup telinga dan lupa ada suara yang belum mereka dengar.

“Mudah-mudahan kalau pemerintah ada kebaikan hati, biarkanlah kami tetap di sini, jangan pindahkan ke tempat lain,” kata Pak Itam sapaan Naharuddin.

Kekerasan Terhadap Warga Rempang

Harapan Pak Itam mendapat kebaikan hati pemerintah sirna ketika tim terpadu yang terdiri dari TNI, Polri Satpol PP, dan Ditpam BP Batam datang dengan 1.010 personel ke Rempang, Kamis, 7 September 2023. Mereka datang untuk mengawal pemasangan patok dan pengukuran lahan akan dilakukan petugas BP Batam di wilayah itu.

Aparat datang mengenakan rompi dan pelindung kepala, lengkap dengan tameng merangsek masuk ke kampung dan memukul warga yang berusaha mengadang. Tindakan warga itu dibalas dengan tembakan gas air mata dan peluru karet.

Akibat tindakan aparat itu Muhammad Ridwan warga berusia 60 tahun harus menerima 12 jahitan di kepalanya, diduga akibat peluru karet. Puluhan siswa dan satu guru di SMP Negeri 22 Batam harus dilarikan ke rumah sakit, karena sesak napas akibat gas air mata yang masuk ke lingkungan sekolah. Para siswa pun berlarian ke hutan, menyelamatkan diri karena takut terkena gas air mata.

Salah satu siswa SMP Negeri 22 Batam, Kangen Sadana, 15 tahun, mengatakan, asap gas air mata hari itu masuk hingga ke dalam ruangan kelasnya, membuat mata mereka perih. Melihat teman-temannya panik dan berlarian ke hutan di atas sekolah, ia lantas ikut pula. “Semua kami lari ke hutan, saya kena kayu di kaki sampai luka,” katanya.

Berdasarkan investigasi Komnas HAM, mereka menemukan dua selongsong peluru gas air mata di atap sekolah dan satu lainnya di pinggir pagar area dalam sekolah saat mendatangi SD Negeri 024 Galang. Temuan itu menguatkan dugaan adanya gas air mata yang ditembakkan aparat ke dalam pekarangan sekolah.

“Kalau selongsong saya menemukan di sekolah. Dalam lingkungan sekolah,” kata Salita, anggota Komnas HAM.

Komisioner Mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, juga menemukan banyak siswa SMP Negeri 22 Batam dan SD Negeri 024 Galang terkena gas air mata saat kericuhan antara aparat dan warga terjadi. “Apakah memang hal ini dibenarkan dan sesuai SOP Perkap Nomor 1 Tahun 2009. Kami perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut,” kata dia.

Edy Kurniawan, Staf Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), meyakini adanya pengerahan kekuatan yang berlebihan dan penggunaan kekerasan berupa gas air mata dari aparat gabungan saat tragedi bentrokan, 7 September 2023 lalu.

“Ada selongsongan peluru, proyektil kami dapat. Itu sudah pengerahan kekuatan yang tidak diperlukan. Artinya tidak mesti diambil tindakan itu,” kata Edy saat dihubungi via telepon, Selasa, 19 September 2023.

Edy mengatakan, berdasarkan hasil investigasi sembilan organisasi nasional yang tergabung dalam koalisi Solidaritas Nasional untuk Rempang (YLBHI, LBH Pekanbaru, WALHI, WALHI Riau, KontraS, Amnesty International Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Trend Asia), ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat dalam tragedi 7 September 2023 itu.

Dalam peristiwa itu polisi menangkap 8 warga yang dicap sebagai provokator. Satu warga dibebaskan karena tak cukupnya alat bukti, sedang 7 lainnya ditahan di Polresta Barelang. Tiga hari setelah peristiwa itu, polisi kembali menangkap seorang warga.

Novrianti, personil PBH Peradi Batam yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Kemanusiaan-Rempang, mengatakan pihaknya ingin warga Pulau Rempang yang ditangguhkan penahanannya ini mendapatkan penghentian penyidikan (SP3).

“Kedelapan warga tersebut masih berstatus tersangka, penangguhan ini sejatinya tidak menghentikan proses hukum yang ada. Kami tim advokasi sejak awal meminta kasus ini bukan hanya ditangguhkan tapi dihentikan prosesnya,” kata Novrianti dalam keterangan resminya, Minggu, 17 September 2023.

Tanah dan Hidup yang Dirampas

Perjuangan warga Rempang itu seolah mengulang peristiwa perjuangan nenek moyang mereka melawan kolonial Belanda 300 tahun silam. Saat itu mereka dipimpin oleh Raja Haji Fisabilillah berperang melawan Belanda pada tahun 1782-1784. Peristiwa itu disebut dengan Perang Riau I.

Tidak hanya itu, menurut Peneliti sejarah, Pusat Riset Kewilayahan-Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Arman, kala Sultan Mahmud hijrah ke Daik-Lingga pada 1787, saat perang bersama Belanda, orang-orang Rempang sudah menjadi pendukung Sultan. Mereka memiliki peran masing-masing, mulai dari tukang masak, dayung sampan, hingga pelayan di istana.

Dalam buku Tuhfat Al-Nafis karya Raja Ali Haji, menurut Dedi, masyarakat Rempang Galang juga sangat diandalkan kala perang Riau II saat itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah atau Sultan Mahmud Syah III. Catatan sejarah itu membuktikan masyarakat Rempang bahkan lebih dulu ada jauh sebelum kolonial Belanda datang. Mereka dikenal dengan sebutan suku laut.

“Suku Laut nama umumnya, tapi di level bawahnya ada namanya orang Galang, orang Sekanak, orang Rempang, kemudian Barok, Mantang dan sebagainya,” kata Dedi. “Mereka ini mendukung Sultan. Kerajaan Riau-Lingga basisnya maritim. Bala tentaranya sangat didukung orang laut tadi,” imbuhnya.

Pada abad ke-19, menurutnya, banyak sekali catatan tentang Rempang, salah satunya literatur Belanda karya Elisa Netschar dalam Beschrijving van Een Gedeelte Der Residentie Riouw (1854). Saat berkunjung ke Rempang, Elisa menemukan banyak kebun gambir, bahkan sudah ada orang Tionghoa, Bugis hingga menemukan Suku Darat.

“Orang Darat sekarang yang dianggap masyarakat adat. Sekarang mereka sisa lima orang,” kata Dedi.

Data ini menurut Dedi membawa kesimpulan jika masyarakat Rempang sudah lebih dulu ada sebelum terbentuknya Otorita Batam tahun 1971 yang kini dikenal dengan BP Batam.

“[Rempang] ini pulau kosong, kata orang Jakarta sana. Nonsense itu, buta sejarah itu orang Jakarta,” ujar Dedi.

Terlepas warga Rempang masuk dalam kategori masyarakat adat atau bukan secara hukum, namun faktanya merekalah masyarakat Melayu asli Pulau Rempang dan Galang, mereka yang pertama mendiami kawasan tersebut. Menurutnya, hak masyarakat asli atau lokal, seperti hak atas tanah mereka, hidup mereka, harus dilindungi oleh negara.

“Indonesia mengakui keberadaan masyarakat adat seperti orang darat, orang laut. Kenapa harus digusur?” kata Dedi.

Bagi Birin, tanah Rempang bukan sekadar kampung nenek moyang, lebih dari itu, tanah Rempang adalah kebudayaan, identitas, dan sumber kehidupan. Selama turun temurun warga sudah hidup di sana, ia pun menjalani hidup sebagai nelayan yang sudah merasa cukup dengan karunia dari lautan.

“Walaupun selam gonggong dapat Rp20 ribu, saya sudah cukup, dari pada saya berharap orang lain. Hari ini habis, besok cari lagi takapa, tapi kami tenang,” kata dia.

Ia mengenal kampung yang sejak lama ia tinggali seperti halnya ia mengenali punggung tangannya sendiri, luar dan dalam. Ia tahu di lubuk mana udang bersembunyi, ia tahu di mana harus menyelam gonggong, ia tahu ke mana harus melemparkan jaringnya.

Ia tak bisa membayangkan jika ia harus digusur, dan tinggal di rumah yang disediakan pemerintah yang jauh dari laut. Bagaimana hidupnya? Bagaimana mata pencahariannya? “Kami disuruh ke rusun, mau taruh mana sampan kami?” kata Birin.

“Kalau hidup di laut mana bisa kayak hidup di darat. Mau mulai dari nol lagi susah, sementara kita tak tahu tempat yang biasa kita kerja. Boleh jadi mati kelaparan dulu,” kata Birin, membayangkan.

Birin telah mendengar kabar relokasi yang ditawarkan pemerintah, tapi belum ada niat untuk mendaftar. Birin tak tergiur uang yang dijanjikan BP Batam yang setiap bulan akan mereka dapat. Menurut Kepala Biro Humas dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait tiap keluarga akan mendapatkan biaya hidup sebesar Rp1,2 juta. Namun Birin lebih memilih uang dari hasil keringatnya sendiri dengan menjadi nelayan, bukan berharap pemberian orang.

Menurut Pak Itam, belum terlambat untuk duduk bersama mencari solusi terbaik masalah Rempang ini. Tak banyak yang mereka minta: jangan digusur. Mereka ingin hidup damai bersama laut dan hutan, yang selama ini menjadi tempat mereka mencari kehidupan.

“Kami tak minta rumah tipe sekian-sekian. Tak usah banyak cerita lah, yang penting kami tetap tinggal di sini. Jangan pindahkan kami. Itu saja pinta kami, jangan yang lain,” kata pria yang juga merupakan  imam Masjid Al-Ikhsan, Kampung Tanjung Banun, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang ini.

Ia meminta pemerintah tak usah risau dengan hidup mereka. Sebelum adanya investasi ini, mereka sudah hidup baik-baik saja. Laut yang kini jadi andalan mereka mencari makan sudah sangat cukup untuk menopang kehidupan mereka.

“Nelayan pun kami, anak tetap sekolah, ada juga yang S1. Pemerintah tak usah risau dengan kami,” pinta pria tua itu.

Bagi Pak Itam, rumah tipe 45, dengan luas lahan 500 meter persegi yang dijanjikan BP Batam sebagai ganti rugi bukanlah jawaban atas semua permasalahan ini. Mereka hanya ingin bertahan dan hidup tenang di tanah mereka sendiri.

“Buat apa rumah cantik-cantik, tapi hidup kami tak tenang. Kami mau makan apa? Rumah buruk begini tak apa, asal bisa makan. Jadi nelayan, nombak udang, cari gonggong sudah cukup,” kata Pak Itam.

Aspirasi Warga Diabaikan

Setelah peristiwa kekerasan aparat pada 7 September 2023, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia, Bahlil Lahadalia, mengunjungi Rempang pada 18 September 2023. Kedatangannya itu disambut unjuk rasa warga menolak relokasi.

Kehadirannya hari itu menjumpai sebagian warga Rempang di halaman depan kediaman tokoh masyarakat Rempang, Gerisman Ahmad, di Pantai Melayu, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang. Tak ada dialog, hanya sekadar penyampaian sikap pemerintah terkait proyek Rempang Eco-City.

Warga yang hadir merasa pertemuan itu sia-sia sebab mereka tak bisa menyampaikan apa yang menjadi aspirasi mereka. Sebagian warga memaksa maju menyampaikan keluh kesah mereka terkait rencana pembangunan Rempang Eco-City yang akan menggusur mereka. Permintaan mereka hanya satu, jangan digusur.

Bahlil tak banyak bicara saat warga mendatanginya, hanya melambaikan tangan dan pergi meninggalkan warga. Dalam pertemuan itu, rencana berubah. Pemerintah akan mengosongkan lima kampung lebih dalu, Pasir Panjang, Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, Sembulang Pasir Merah dan Blongkeng. Mengganti rencana relokasi dari awalnya Dapur 3, menjadi Tanjung Banun. Namun, warga tetap pada pendiriannya, mereka tetap menolaknya.

Saat kunjungan terakhirnya ke Rempang, Jumat, 6 Oktober 2023, spanduk-spanduk penolakan relokasi kembali mewarnai kedatangan Bahlil di depan masjid Al-Ikhlas, Sungai Buluh, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang.

Bahlil sama sekali tidak membuka kaca mobilnya. Ia hanya melewati warga yang telah berjam-jam menunggunya di pinggir jalan sembari berteriak menolak relokasi. Bahlil tancap gas, melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Banun untuk bertemu dengan sebagian kecil warga di dalam masjid Al-Ikhsan.

Melihat Bahlil hanya lewat tanpa kata, warga yang didominasi kaum perempuan menyusulnya ke Tanjung Banun. Mereka melakukan unjuk rasa dengan membawa spanduk penolakan relokasi di jalan sembari menunggu Bahlil keluar dari masjid.

Para warga itu datang dari berbagai desa yang akan terdampak pertama kali dalam proyek ini, yakni Pasir Panjang, Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, Sembulang Pasir Merah.

Salah satu warga yang menolak, Hasniah mengatakan, mereka telah hidup dengan tentram di kampungnya saat ini, dan tak ingin untuk pindah ataupun geser. Janji-janji yang ditawarkan pemerintah baginya bukan keinginan warga, hanya dibuat sepihak tanpa melibatkan warga.

“Kami sudah tenang di sini. Hati kami sakit, Pak, kalau begini caranya. Apa pun yang terjadi kami hadapi, kami tak peduli,” kata dia.

Bahlil pun keluar dari masjid dan menghampiri ratusan massa yang telah menunggunya dengan spanduk penolakan di depan masjid. Tiamah, meminta Bahlil tak menggusur kampungnya sembari menangis.

“Kami kampung tua itu [jangan digusur] aja, Pak. Yang lain kami tak minta, Pak. Kami tak menolak pembangunan, Pak. Kami hanya ingin tempat leluhur kami, tumpah darah kami,” kata dia sembari menangis.

Bahlil mengatakan, ia telah mendengar segala aspirasi warga yang datang melakukan unjuk rasa menunggu bertemu dengannya. “Baik, saya telah terima semua aspirasinya ya,” kata Bahlil lalu pergi meninggalkan warga.

Bahlil melanjutkan perjalanannya ke Pasir Panjang, di sana ia juga mendapat penolakan oleh warga. Mobil rombongan yang dikendarai Bahlil diteriaki maling oleh warga. “Maling kau, maling kau,” warga berteriak di pinggir jalan.

Jauh sebelum Bahlil datang, Presiden Joko Widodo pernah datang ke Batam saat kampanye pemilihan Presiden 2019. Saat itu Jokowi menjanjikan sertifikasi tanah di Kampung Tua Batam. Namun setelah Jokowi terpilih lagi menjadi Presiden pada 2019 alih-alih memenuhi janjinya, pemerintah justru menggusur warga Rempang.

Dilema Warga Relokasi

Siti Hawa (70) salah seorang warga mempertanyakan relokasi yang dijanjikan BP Batam, sebab rumah yang dijanjikan belum dibangun. Ia tak akan mau mendaftarkan diri untuk relokasi jika belum ada kejelasan.

“Kami disuruh pergi macam burung, disiuh. Kami tak mau begitu, kami mau didata dulu, rumah kami dibayar, tanah kami dibayar. Tapi ini aja tak ada penjelasan, rumah pun hanya gambar. Kami tak mau menyesal kemudian,” ujarnya.

Sikap serupa juga disampaikan oleh Amlah (105) yang akrab disapa Nek Cu. Ia tidak menolak jika harus pindah, asalkan ada kejelasan tentang hunian barunya. “Mau ke mana kami pindah? Mau dibuang kemana kami?” kata Nek Cu.

Menurutnya, tak ada yang bisa menjamin rumah dan tanah yang kini terus digaungkan pemerintah bisa mereka dapatkan. Ia khawatir, rumah dan tanah itu hanya janji manis, sementara tanah dan rumah mereka telah habis rata dengan tanah.

“Yang penting dibayar. Anak-anakku dipelihara betul-betul. Bikinkan rumah, boleh pindah,” kata Nak Cu.

Ia masygul karena harus pergi dari tanah kelahirannya. Laut dan deburan ombak yang telah menjadi teman sejak ia kecil akan berganti jadi deru mesin dan keramaian. Dari sorot matanya tergambar kesedihan yang mendalam. Ini bukan mimpi yang ia harapkan wujud di sisa akhir kehidupannya.

“Sedihlah, sejatinya kita lahir di sini, ingin rasanya mati di sini, tapi kalau tak bisa apa boleh buat,” katanya lirih.

Kesedihan yang sama juga dirasakan Nisah, 53 tahun, warga Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang. Terusir tanpa kepastian rumah dan ganti rugi, meninggalkan tanda tanya besar baginya. Bagaimana jika di kemudian hari nyatanya apa yang dijanjikan tak bisa mereka dapat, kepada siapa ia harus mengadu?

Rusun yang dijanjikan oleh BP Batam juga bukan jawaban bagi Nisah. Kakinya tak lagi sanggup menaiki tangga-tangga rusun itu jika harus pindah ke sana. Sisa operasi tempurung lututnya setahun lalu masih membuatnya susah berjalan, apalagi harus menaiki tangga.

Nisah merasa, sila kelima dalam Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tidak berlaku bagi warga Rempang. Negara, melalui tangan-tangannya telah merenggut rasa keadilan itu dengan lebih mementingkan investasi dari Tiongkok daripada menjaga masyarakat Rempang.

“Kami berharap datang mukjizat dari Allah. Kejam, betul-betul kejam. Kami tak menolak pembangunan, tapi tolonglah hargai kami. Kami tidak numpang di sini,” kata dia dengan mata berkaca-kaca.

BP Batam mencatat, hingga Kamis, 14 September 2023, baru ada 91 KK warga Rempang yang telah mendaftar untuk direlokasi. Angka ini sangat kecil jika mengacu pada data kependudukan yang diterima dari Camat Galang, Ute Rambe per 3 April 2023 lalu.

Dari data tersebut, total kepala keluarga (KK) yang berada di dua kelurahan yang terdampak rencana pengembangan ini sebanyak 2.402 KK. Sebanyak 1.200 KK berada di Kelurahan Rempang Cate dan sebanyak 1.202 lainnya di Kelurahan Sembulang.

Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Tim Percepatan Pembangunan Rempang Eco-City, Harlas Buana, menargetkan, 650 KK di kawasan Sembulang mendaftar hingga batas akhir pendaftaran relokasi, 20 September 2023.

Namun sampai 7 Oktober 2023, baru 25 kepala keluarga (KK) dari total 2.402 KK telah memilih pindah. Ada yang memilih tinggal di tempat yang disediakan BP Batam, ada yang memilih untuk mencari sendiri.

Kasino misalnya, warga Pasir Panjang, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Kota Batam ini memilih menyewa rumah daripada tinggal di tempat yang telah disediakan pemerintah. Ia dan tiga anggota keluarganya kini menyewa rumah di perumahan Anggara Graha Sagulung.

“Sewa Rp1,3 juta satu rumah. Tiga kamar tidur, dua kamar mandi. Sudah termasuk listrik air,” kata Kasino, Senin, 9 Oktober 2023 saat berkumpul dengan warga lain yang telah memilih pindah.

Lima hari sudah Kasino meninggalkan kampungnya, kini ia telah memiliki pekerjaan baru, yakni menjadi tenaga pembantu kuli proyek. “Kerjaan sudah dapat, dulu nelayan, di sini bangunan. Apa yang dapat saja,” kata dia. Anaknya pun kini telah mendapat sekolah baru, lokasinya tidak jauh dari tempat mereka tinggal.

Sementara warga lainnya, Rio Iswandi lebih memilih tinggal di ruko yang telah disiapkan BP Batam, daripada tinggal di rumah susun (rusun) dan rumah tapak. Rio menilai, suasana dan sejumlah fasilitas yang ada di ruko, seperti taman bermain anak membuat anak-anaknya akan betah dan leluasa melakukan aktivitas seperti di kampung.

“Jadi begitu anak-anak pindah ke sini, mereka tidak tertekan. Mereka bisa bermain di taman, dan tempat tinggalnya tidak terlalu sempit,” kata Rio.

Anaknya juga sudah mulai bersekolah di sekolah sementara yang berlokasi tidak jauh dari tempat tinggal mereka. “Anak saya yang satunya bersekolah di pondok [pesantren], yang satunya lagi sekolah tingkat SD. Alhamdulillah hari ini sudah mulai masuk di SDN 002 Sagulung, Tembesi,” kata dia.

Meskipun sudah satu minggu meninggalkan Kampung Pasir Panjang, Rio yang bekerja sebagai nelayan di kampungnya mengaku tidak menghadapi masalah apapun, meski saat ini ia tidak memiliki pekerjaan.

Sementara itu Menteri Bahlil mengklaim, jika warga Pasir Panjang sudah 70 persen bersedia direlokasi. “Data dari Pasir Panjang itu sudah 70 persen, mereka yang ingin melakukan pergeseran,” kata Bahlil saat melihat rumah tunggu yang berada di Bida Asri 3, Sambau, Nongsa, Jumat, 6 Oktober 2023.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau menemukan fakta yang berbeda. Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Even Sembiring, mengatakan, hanya 30 kepala keluarga yang bersedia pindah dari total 139 kepala keluarga. “Dari data kita, hanya sekitar 30-an yang bersedia direlokasi,” kata Boy Ferry Even Sembiring.

Boy juga meminta, dari 30 warga yang bersedia tersebut, harus dirincikan kembali siapa saja mereka dan status kepemilikan lahannya. “Apakah mereka punya tanah di situ, mereka warga asli, mereka pegawai BP Batam atau TNI Polri. Siapa 30 ini, bukalah datanya,” kata Boy.  (Zs/Pro.Mul)

 

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini