spot_img
Sabtu, April 27, 2024
spot_img

Gawat! Utang Korporasi Indonesia Bikin Khawatir

KNews.id- Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mulai mengkhawatirkan kondisi korporasi di Indonesia. Apalagi pandemi Covid-19 masih berlangsung, bahkan kasusnya melonjak drastis dalam 2 bulan terakhir. Hal ini dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai rapat KSSK akhir pekan lalu, Jumat (6/8). Menurutnya, bila tidak diantisipasi maka kondisi ketidakstabilan perusahaan ini bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan Tanah Air.

“Pandemi Covid-19 menimbulkan scarring effect, luka dalam. Sekarang kita perlu lihat seberapa dalam luka di perekonomian dan mencegah efek tidak terlalu dalam dan meluas,” kata Sri Mulyani.

- Advertisement -

“Kami akan terus melakukan pantauan detail perkembangan korporasi, terutama di berbagai level usaha yang akan menjadi salah satu fokus monitoring KSSK. Hal penting untuk mendorong pemulihan ekonomi,” jelasnya.

Persoalan kondisi perusahaan akibat dampak pandemi ini sudah dipublikasikan lembaga riset global sebelumnya. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings bahkan sudah mengumumkan nilai gagal bayar (default) untuk surat utang korporasi Indonesia di dalam negeri nilainya mencapai Rp 10 triliun di 2020. Nilai ini meningkat 35 kali lipat dibanding Rp 300 miliar pada 2019.

- Advertisement -

Tingginya nilai gagal bayar dari obligasi, sukuk, dan surat utang jangka menengah (medium term notes/MTN) ini disebabkan karena kondisi pandemi yang berlangsung selama satu tahun terakhir. Adapun permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) juga menunjukkan peningkatan. Di awal tahun ada 199 permohonan PKPU dan 36 permohonan kepailitan.

“Kita juga lihat risiko-risiko yg muncul termasuk kita sekarang perhatikan adalah risiko dari restrukturisasi, PKPU dan juga terjadinya kenaikan PKPU dan kepailitan,” terang Sri Mulyani.

- Advertisement -

Di sisi lain, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso juga mengungkapkan, setidaknya ada 10 debitur kakap di perbankan nasional yang menjadi fokus pemantauan. Total kreditnya sebesar Rp 381,6 triliun pada periode Maret 2020-Juni 2021.

Jumlah ini turun 15,5% dibandingkan periode sebelumnya. Korporasi tersebut bergerak di sektor pariwisata, makanan dan minum serta akomodasi yakni restoran hingga perhotelan, termasuk juga maskapai penerbangan (airlines).

“Sehingga inilah yang sebenarnya itu debitur-debitur besar ini kami monitor secara individu,” terang Wimboh.

Sebagai informasi, KSSK terdiri dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ketika Covid menyerang, pemerintah beserta regulator lainnya mengeluarkan kebijakan dengan cepat. Baik untuk penanganan kesehatan maupun ekonomi yang sudah diperkirakan terpukul sangat dalam.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan POJK 48/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Salah satu isinya mengenai restrukturisasi kredit perbankan dan jasa keuangan non-bank (multifinance).

Dalam POJK tersebut setidaknya diatur mengenai fasilitas penyediaan dana baru bagi debitur tanpa mengacu pada penilaian kualitas kredit sebelumnya. Selain itu, diberikan pula kelonggaran bagi perbankan untuk melakukan restrukturisasi dengan kategori lancar tanpa harus menambah Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).

Akan tetapi, dalam Laporan Ekonomi dan Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) disebutkan CKPN perbankan ternyata tetap meningkat. Per April 2021, perbankan tercatat telah membentuk CKPN hingga mencapai Rp 326 triliun. Lonjakan CKPN terjadi sepanjang tahun 2020 dengan pertumbuhan rata-rata CKPN mencapai 66,8%.

Tren pertumbuhan CKPN masih terjadi di tahun 2021 yang mana sampai triwulan I-2021 pertumbuhan rata-rata CKPN sebesar 25,8%. Rasio CKPN terhadap Non Performing Loan (NPL) sejak akhir tahun 2020 April 2021, terus meningkat hingga mencapai 184,7%.

Kenaikan CKPN juga bisa berpengaruh terhadap performa keuangan bank. Sebab ada aturan pajak yang bisa menimbulkan koreksi laba yang bersifat sementara (temporary difference) yang diakui sebagai Aset Pajak Tangguhan.

“Apabila bank telah mencadangkan CKPN yang cukup tinggi, namun di akhir tahun akan dikoreksi sesuai peraturan perpajakan, maka pada akhirnya akan berdampak pada performa keuangan bank tersebut. Untuk itu, perlu ada titik temu terkait hal tersebut, yang tidak hanya memberikan solusi pedoman bagi perpajakan, tetapi juga memperhatikan aspek prudensial perbankan,” tulis laporan tersebut.

Sebab itu, BKF menyiapkan tiga skenario yang mungkin terjadi atas kondisi ini:

Pertama, debitur terdampak pandemi yang melalui masa restrukturisasi berhasil pulih kembali. Hal ini tidak menjadi menjadi masalah bagi industri perbankan.

Kedua, debitur terdampak pandemi mulai pulih tetapi aktivitas ekonominya belum kembali normal. Untuk skenario kedua ini, dapat dilakukan alternatif perpanjangan restrukturisasi karena debitur memiliki harapan untuk pulih, sembari bank mengantisipasi dengan CKPN yang cukup.

Ketiga, debitur tidak berhasil pulih dikarenakan terdampak pandemi sangat dalam. Untuk kategori ketiga, perbankan harus bersiap mengakui aset ini sebagai NPL. Oleh karena itu, perbankan harus mulai secara bertahap mengakui cadangan kerugian sebagai bentuk antisipasi potensi financial shock.

Terkait dengan restrukturisasi ini, OJK sudah mengindikasikan akan memperpanjang penerapan aturan mengenai restrukturisasi kredit perbankan. Aturan kebijakan ini paling lambat akan dikeluarkan paling lambat akhir Agustus 2021.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan pertimbangan perpanjangan aturan ini adalah penerapan pembatasan mobilitas masyarakat karena terus meningkatnya kasus Covid-19.

“Kami melihat adanya pembatasan mobilitas masyarakat akibat meningkatnya angka yang terpapar Covid 19 sekarang ini bisa menyebabkan upaya pemulihan ekonomi yang dijalankan Pemerintah terhambat. Oleh karena itu, OJK melihat adanya potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan,” kata Wimboh dalam keterangannya, dikutip Jumat (30/1/2021).

Penerapan restrukturisasi perbankan ini diatur dalam POJK Nomor 48 dan restrukturisasi pembiayaan di Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berdasarkan Peraturan OJK Nomor 58/POJK.05/2020.

Sebelumnya OJK memperpanjang restrukturisasi kredit yang berakhir hingga 31 Maret 2022. Restrukturisasi kredit sebetulnya berakhir di Maret 2021, tetapi melalui POJK 11/2020 kemudian diperpanjang hingga 31 Maret 2022. (Ade/cnbc)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini