spot_img
Sabtu, Mei 18, 2024
spot_img

Denny Indrayana Ungkap Cara Menyatakan Putusan MK Tak Sah

KNews.id – Pakar hukum tata negara Denny Indrayana menjelaskan mekanisme untuk menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah.
Dia mengatakan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) dan UU MK memang tidak secara terang bicara soal mekanisme menyatakan putusan tidak sah.

MK Putus Gugatan Capres Maksimal Usia 70 Tahun Senin Pekan Depan
“Hanya dikatakan jika hakim ada CoI (conflict of interest) dan tidak mundur dari perkara, putusan menjadi tidak sah,” kata Denny dalam keterangan yang diunggah di akun X @dennyindrayana, Jumat (20/10).

- Advertisement -

Denny juga mengatakan UU KK menjelaskan soal sanksi administratif, bahkan pidana pada hakim yang tidak mundur. Hal itu tertulis pada Pasal 17 ayat 6 UU KK yang berbunyi:

“Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

- Advertisement -

Sementara pada Pasal 17 ayat 5 berbunyi: “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.”

Denny menyebut pada Pasal 17 ayat 7 menjelaskan terkait perkara harus diperiksa dengan majelis hakim yang berbeda.
Dengan penjelasan UU KK itu, Denny mendorong agar segera dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). MKMK ini dibentuk untuk memeriksa laporan soal dugaan pelanggaran etika yang sudah masuk. Termasuk laporan Denny ke MKMK soal Ketua MK Anwar Usman.

- Advertisement -

“Periksa laporan pelanggaran etika AU (Anwar Usman) dkk. Saya sudah lapor dugaan pelanggaran etika AU ke MKMK sejak 27 Agustus,” kata Denny.

Dia mengatakan putusan MKMK nanti jika memang memutuskan ada pelanggaran etika, bisa menjadi dasar pemberhentian hakim.
Dengan temuan pelanggaran etika MKMK tersebut, maka menurut Denny, putusan MK dengan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi tidak sah berdasarkan Pasal 17 ayat 6 UU KK. Perkara ini terkait syarat capres-cawapres yang telah dikabulkan MK.

Perkara 90 itu lalu diperiksa ulang oleh hakim-hakim MK dengan komposisi baru, sesuai Pasal 17 ayat 7 UU KK.
“Selama pemeriksaan etik, MKMK usul saya mengeluarkan putusan provisi, bahwa Putusan 90 belum bisa dijadikan dasar untuk pendaftaran Pilpres 2024, karena masih menjadi bahan pemeriksaan MKMK,” katanya.

Dia berpendapat, sebaiknya putusan MKMK dilakukan sebelum 12 November, batas masih bisa mengajukan calon paslon pengganti di KPU.
Namun sebelumnya Menko Polhukam yang juga pakar hukum tata negara Mahfud MD mengatakan putusan MK yang mengabulkan gugatan syarat pendaftaran capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah sudah bersifat final.

Menurut Mahfud, putusan itu berarti membolehkan kepala daerah baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota, meski berusia di bawah 40 tahun, bisa mencalonkan diri atau mendaftar sebagai capres-cawapres.

Sebelumnya, MK telah memutus sejumlah gugatan tentang syarat capres-cawapres. Salah satu permohonan yang dikabulkan adalah perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam putusan itu, MK menambah ketentuan syarat minimal capres-cawapres. Capres-cawapres tidak mesti berusia 40 tahun jika sudah punya pengalaman di pemerintahan yang melalui pemilihan umum.

Putusan itu membuka pintu bagi sejumlah mantan atau pejabat kepala daerah yang belum berusia 40 tahun. Salah satu nama yang mengemuka adalah Gibran Rakabuming Raka.
Putra sulung Presiden Jokowi itu sedang menjabat Wali Kota Solo. Gibran santer dihubungkan dengan bacapres Prabowo Subianto.  (Zs/CNN)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini