Eros memastikan, hingga hari ini ia belum melihat presiden yang betul-betul melaksanan Pasal 33 UUD 45. Ia mencontohkan, di era Orde Baru menambang minyak hanya mendapat 15 persen, sisanya adalah negara. Namun hari ini malah mendapatkan lisensi penuh.
“Jadi ada segelintir orang yang bisa menyetir semua. Bahkan mulai dari pemilihan gubernur sampai pemilihan presiden,” ucap Eros. Budayawan yang juga politisi ini menekankan, arena demokrasi yang ditandai pemilu ternyata menghasilkan kekuasaan semu karena kekuasaan sesungguhnya ada di tempat lain, dan merekalah pengendali bangsa ini. Eros juga mengatakan, siapapun partai pemenang Pemilu, kekuasaan yang dimiliki adalah kekuasaan seolah-olah, bukan kekuasaan sesungguhnya.
Perubahan kondisi ini juga tidak lepas dari peran intelektual yang menurut Eros saat ini berbalik. Sebab, seharusnya presiden meminta pertimbangan pada kaum intelektual, namun kondisi hari ini justru kaum intelektual yang meminta arahan dari presiden. Eros menyebutkan, jika dibiarkan, kondisi inilah yang disebut the death of intellectual society.
Eros menawarkan agar negara ini mengecek kembali supremasi yang perlu menjadi prioritas. Jika selama ini supremasi hukum yang terus didengungkan, ia menyarankan untuk menggeser itu. Sebab supremasi hukum sudah tidak tepat untuk kondisi hari ini, di mana para penegak hukum tidak lagi mendapatkan kepercayaan dari publik. Sebagai gantinya, Eros menyatakan supremasi kedaulatan rakyat perlu menjadi prioritas.