KNews.id – Dalam 12 tahun terakhir Badan Pusat Statistik mencatat kenaikan pesat pengguna handphone di Indonesia. Dari semula hanya 39,11% pengguna HP di Indonesia tahun 2011, kini menjadi 67,88%. Artinya, 130-an juta penduduk di masa kini sudah memiliki atau menguasai HP.
Tentunya kenaikan tersebut dipengaruhi oleh tingginya kebutuhan manusia terhadap HP disertai terjangkaunya harga benda tersebut. Maklum, dahulu HP dikenal sebagai barang super mahal.
Mengacu artikel Kompas (8/3/1992), pada awal kemunculannya di tahun 1990-an, harga HP berkisar Rp 6-9 juta. Ini belum termasuk uang pulsa sekitar Rp 400/menit. Jika ditotal, seseorang bisa merogoh kocek Rp 14 juta untuk memiliki HP. Alhasil, HP awalnya hanya dimiliki oleh orang-orang kaya saja.
Beranjak dari ketimpangan inilah, Koesmarihati ingin HP ada di tangan semua warga RI. Sadar kalau HP kelak jadi barang penting manusia, dia menekan pemerintah supaya HP bisa terjangkau masyarakat. Singkat cerita, usulan tersebut dikabulkan. HP pun perlahan bisa terjangkau dan setidaknya bukan lagi barang super mahal hingga sekarang.
Keberanian Koesmarihati menekan pemerintah dan sukses dikabulkan tak terlepas dari kuasanya di pucuk pimpinan BUMN telekomunikasi pertama milik negara, Telkomsel. Ketika mengajukan usulan itu di tahun 1995, dia menjabat sebagai Direktur Utama Telkomsel.
Di posisi ini, dia memecahkan rekor serba pertama: pemimpin pertama dan perempuan pertama yang berada di pucuk pimpinan Telkomsel. Barangkali, posisi ini menjadi puncak kesuksesan Koesmarihati selama 3 dekade merintis karir di dunia komunikasi.
Srikandi komunikasi
Koesmarihati yang lahir di Bogor, 9 Oktober 1942 terbilang perempuan anti-mainstream. Pada 1960-an, saat kebanyakan perempuan masih mengurusi urusan domestik, dia malah pergi ke Australia menekuni ilmu yang terbilang asing, yakni teknik elektro.
Dia berangkat melalui skema beasiswa Colombo Plan dari Pemerintah Australia karena menjadi siswa terbaik di Madiun. Di sana dia kuliah di Universitas Tasmania pada 1961 dan tinggal di Kota Hobart.
Terbiasa tumbuh besar bersama keluarga dan tak pernah merantau, lantas membuat Koesmarihati cukup takut. Beruntung, perempuan asal Madiun itu mendapat dukungan penuh dari lingkungan sekitar.
Keluarga Yahudi yang menjadi orangtua asuh sangat baik dan mendukung. Begitu pula teman-temannya di kampus meskipun dia tergolong minoritas karena berasal dari Asia. Sebagai catatan, di jurusan elektro hanya dua orang warga Asia, yaitu Koesmarihati dan Trismiati, perempuan asal Kediri.
Koesmarihati kemudian lulus di tahun 1965 dan tercatat sebagai perempuan ke-38 yang mendapat gelar sarjana teknik di Australia. Akibat beasiswa Colombo Plan tak mengharuskannya pulang ke Indonesia, dia lantas merintis karir di Negeri Kangguru.
Koesmarihati segera bekerja di Hydro Electric Commission di Hobart selama setahun sebelum akhirnya memutuskan pulang kampung untuk bekerja di PLN. Namun, kariernya di perusahaan listrik itu juga cuma setahun. Dia memutuskan untuk kembali ke Australia menemani suaminya yang kuliah arsitektur di Melbourne.
Selama di Australia, dia bekerja di perusahaan komunikasi PMG dari tahun 1971-1975. Dalam kurun 4 tahun, Koesmarihati dalam wawancaranya kepada Deakin University mengaku banyak belajar soal teknologi yang masih asing bagi dirinya sebagai lulusan elektro.
Saat kembali ke Indonesia, ilmu itu lantas benar-benar berguna. Apalagi saat dia bergabung dengan Telkom di tahun 1976. Mengetahui ada karyawan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan mumpuni, jajaran pemimpin Telkom lantas menugaskannya memimpin proyek penyambungan kabel jaringan di Jabodetabek. Tak cuma itu, dia juga ditugaskan memprakarsai pemanfaatan teknologi serat optik pertama di Indonesia.
Singkat cerita, tugas dari pimpinan itu diselesaikannya dengan baik. Koesmarihati lantas dianugerahi penghargaan tertinggi dari negara atas kontribusinya di sektor komunikasi. Dari sini karirnya di Telkom perlahan naik.
Di tahun 1993, dia diangkat sebagai Direktur Pengembangan Telkom yang ditugaskan untuk meletakkan dasar teknologi seluler dan mengembangkan teknologi GSM. Ini adalah tugas langsung dari Menteri Riset & Teknologi, B.J Habibie.
Perlu diketahui, GSM ketika itu diproyeksikan sebagai standar teknologi selular Indonesia. Nantinya untuk merealisasikan ini akan dibangun menara pemancar sinyal atau Base Transceiver Station (BTS) yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antara perangkat komunikasi dan jaringan operator. Lewat pendirian menara BTS ini niscaya HP dan jaringan telepon akan makin merata dan tentu makin murah.
Proyek ini kemudian sukses terwujud pada 2 September 1994 ketika Habibie meresmikan operasi menara BTS di Batam. BTS ini sekarang dinamakan BTM001 Bukit Dangas. Keberadaan menara BTS pertama itulah yang menjadi titik balik perkembangan telekomunikasi di Indonesia.
Setahun kemudian berdiri Telkomsel sebagai provider yang menyediakan layanan pengguna telepon selular. Koesmarihati ditunjuk menjadi direktur pertamanya. Ketika menjadi direktur kebijakan paling dikenalnya saat menekan pemerintah menurunkan harga rata-rata HP dari semula belasan juta menjadi Rp 1-4 juta saja.
“Saya bilang, perusahaan sudah punya jaringan yang besar; kita fokus saja menjual jaringan lewat kartu telepon. Untuk perangkatnya, serahkan pada pasar. Mari kita perkenalkan saluran distribusi terbuka, bangun dealer di seluruh negeri, dan ciptakan lebih banyak lapangan kerja,” kata Koesmarihati dalam wawancaranya dengan Kedutaan Besar Australia.
Koesmarihati hanya 2 tahun menjadi pucuk pemimpin Telkomsel. Di tahun 1997, dia diharuskan pensiun karena faktor usia. Setelahnya dia aktif menjadi pengajar dan konsultan di dunia komunikasi.
Kini, buah keringat Koesmarihati benar-benar dirasakan masyarakat. Harga HP menjadi murah dan semakin terjangkau. Begitu juga Telkomsel yang semakin berkembang sebagai perusahaan penyedia provider komunikasi di Indonesia. (Zs/CNBC)
