spot_img
Jumat, April 26, 2024
spot_img

Perbandingan Utang Arab Saudi, AS maupun Indonesia, Siapa Terbesar?

Berbagai cara dilakukan Saudi untuk mengecilkan defisit negaranya, misalnya menaikkan pajak bagi produk seperti rokok dan minuman kemasan. Negara kerajaan itu juga merombak aturan perpajakan.

Setahun berikutnya, ekonomi Riyadh menunjukkan perbaikan dengan penerimaan negara naik menjadi 783 miliar riyal (Rp 2.900 triliun) dan defisit hanya 195 miliar riyal (Rp 732 triliun). Utang negara naik menjadi 558 miliar riyal (Rp 2.095 triliun).

- Advertisement -

Kemudian pada April 2018, Saudi meneribitkan obligasi. Surat utang itu berhasil menarik dana sebesar 41,25 miliar riyal (Rp 154 triliun).

Defisit kembali terjadi pada 2019, yakni mencapai 131,5 miliar riyal (Rp 493 trilin) dan utang menjadi 657 miliar riyal (Rp 2.466 triliun). Ekonomi di tahun 2020 juga mengalami dinamika, yakni dari penerimaan negara turun menjadi 833 miliar riyal (Rp 3.128 triliun) dari 2019 yakni 975 miliar riyal (Rp 3.661 triliun).

- Advertisement -

Turbulensi politik terjadi pada 2020 saat Amerika Serikat (AS) menembakkan rudal ke arah iring-iringan jenderal tinggi Iran Qassem Solemani. Saudi mencetak obligasi senilai 18,75 miliar riyal (Rp 70 triliun).

Pandemi Covid-19 juga mengacak-acak ekonomi negara itu, permintaan pasar pada minyak dan larangan perjalanan untuk haji dan umrah membuat penerimaan negara menjadi ambles. Di sisi lain, Covid-19 juga butuh penanganan yang dana-nya juga besar.

- Advertisement -

Untuk itu, Saudi kembali harus berutang, di mana diprediksi menjadi 941 miliar riyal (Rp 3.533 triliun) naik 32,9% dibanding 2019. Pendapatan negara juga direvisi menjadi 770 miliar riyal (Rp 2.891 triliun) turun 16,9% dari tahun sebelumnya.

Anggaran diproyeksi defisit US$50 miliar atau Rp 707 triliun saat itu, naik US$15 miliar (Rp 212 triliun) dari tahun sebelumnya.

Tak kalah mencengangkan, Negeri Paman Sam memiliki utang jumbo. Bahkan nilainya ratusan ribu triliun.

Per awal Oktober, utang nasional Amerika Serikat (AS) melejit ke rekor tertingginya senilai US$ 31,1 miliar atau setara Rp 472,4 ribu triliun (kurs Rp 15.190) pada awal pekan ini.

Tingginya utang tersebut tak lepas dari kebijakan pinjaman besar-besaran selama pandemi Covid-19 untuk membantu menopang perekonomian negara. Pasalnya, penyebaran virus corona telah melumpuhkan ekonomi AS yang ditandai dengan jatuhnya pasar tenaga kerja dan terganggunya rantai pasokan.

Utang yang belum dibayar pun telah meningkat hampir US$ 8 triliun sejak awal 2020, dengan laju penambahan US$ 1 triliun hanya dalam delapan bulan.

Adapun, pinjaman yang terjadi di bawah pemerintahan Trump dan di awal pemerintahan Biden datang pada saat suku bunga rendah. Saat ini, selama periode inflasi yang tinggi secara historis dan serangkaian kenaikan suku bunga yang tajam oleh bank sentral, Federal Reserve, dalam pertempurannya untuk menjinakkan kenaikan harga, biaya pinjaman jadi jauh lebih tinggi.

Komite Anggaran Fiskal yang Bertanggung Jawab (CRFB) bulan lalu memperkirakan bahwa kebijakan Presiden Joe Biden dapat menambah defisit hingga US$ 4,8 triliun antara tahun 2021 dan 2031.

“Peminjaman yang berlebihan akan menyebabkan tekanan inflasi yang berkelanjutan, mendorong utang nasional ke rekor baru segera setelah 2030 dan pembayaran bunga federal tiga kali lipat selama dekade berikutnya – atau bahkan lebih cepat jika suku bunga naik lebih cepat atau lebih dari yang diharapkan,” tulis CRFB, dikutip CNN International, Rabu (5/10/2022).

Mengutip data Departemen Keuangan, tingkat pinjaman Amerika telah melonjak selama dekade terakhir. Utang publik yang beredar mencapai US$ 10,6 triliun ketika mantan Presiden Barack Obama menjabat pada 20 Januari 2009; US$ 19,9 triliun ketika mantan Presiden Donald Trump menjabat pada 20 Januari 2017; dan US$ 27,8 triliun ketika Biden menjabat pada 20 Januari 2021.

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini