spot_img
Senin, Juni 17, 2024
spot_img

Memahami Ancaman Kebangkrutan Ekonomi Indonesia!

Oleh: Sadarudin el Bakrie, Pengamat Ekonomi Politik. Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jember

KNews.id- Indonesia jika ditinjau dari  populasinya, sumberdaya ekonominya, bisa dikatakan sebagai  raksasa ekonomi masa depan. Hari ini, ini adalah ekonomi terbesar ketujuh di dunia dengan paritas daya beli.

- Advertisement -

Jika pertumbuhan  ekonomi  secara konsisten solid maka para analis berpendapat Indonesia bisa menjadi ekonomi terbesar kelima di dunia pada tahun 2030 dan keempat segera setelahnya. Berdasarkan nilai tukar pasar, Indonesia menempati urutan ke-16 di dunia tetapi kemungkinan akan masuk sepuluh besar pada tahun 2030.

Namun ketakutan akan ketidakstabilan keuangan akibat salah urus negara mengintai di bawah permukaan, mengangkat kepalanya setiap kali volatilitas pasar menyerang, seperti yang terjadi dalam beberapa bulan  terakhir.

- Advertisement -

Ekonomi kita saat ini sedang dalam masalah serius. Pertumbuhan  ekonomi yang rendah,  tekanan pada APBN akibat defisit anggaran yang semakin memburuk,  nilai tukar rupiah yang memburuk, rendahnya daya saing dibanding dengan negara ASEAN lainnya.

Memburuknya trend ekonomi nasional ini dalam jangka panjang sangat mengkhawatirkan.  Potensi kebangkrutan ekonomi nasional sudah nampak dipermukaan, ini semakin dipertegas memburuknya problem struktural. Meliputi utang  semakin membengkak.  Semakin beratnya beban pembayaran bunga dan cicilan utang ditengah menurunnya ekspor kita, membuat kemampuan negara untuk membiayai pembangunan semakin memburuk. Menurunnya pendapatan negara dari pajak dan bukan  pajak menyebabkan  ruang fiskal semakin menyempit yang ujungnya  pada membengkaknya defisit anggaran.

- Advertisement -

Memahami mengapa pertumbuhan macet dan apa yang perlu dilakukan adalah masalah ekonomi kritis yang dihadapi Indonesia saat ini. Lingkungan ekonomi global akan semakin sulit, ditengah kondisi likuiditas yang semakin ketat dan risiko meningkatnya proteksionisme. Pada saat yang sama  presiden  Jokowi  fokus  pada infrastruktur, sedangkan reformasi fiskal, dan peningkatan iklim bisnis secara luas yang dibutuhkan ekonomi untuk merangsang pertumbuhan ternyata tak diimplementasikan. Akibatnya Program Jokowi  hanyalah program diatas kertas yang sama saja dengan tidak ada. Akibat selanjutnya  ekonomi sebagian besar tidak responsif.

Apa yang terjadi jika Indonesia gagal bayar utang yang jatuh tempo

Hingga akhir Februari 2022, posisi utang Pemerintah Indonesia sebesar Rp 7.014,58 triliun atau setara 40,17 persen dari produk domestik bruto (PDB). Utang jatuh tempo pemerintah pada 2022 mencapai Rp 443,8 triliun. Porsi tertinggi berada pada semester I-2022. Meski demikian pemerintah meyakini kita mampu melunasi kewajiban kita karena didasari oleh kemampuan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang kembali produktif.

Masalahnya potensi kegagalan  melunasi cicilan dan bunga utang  masih menghantui ekonomi kita. Penyebab yang sangat mendasar yaitu struktur ekonomi yang masih berbasis industri substitusi impor dan semakin memburuknya sumbangan sektor pertanian terhadap PDB. Struktur utang kita, terutama utang corporasi juga mengkhawirkan. Utang luar negeri  Indosat dan Telkom misalnya 100 persen dalam bentuk valuta  asing sedangkan cash inflow-nya 100 persen  dalam bentuk IDR. Tentu saja akan membebani nilai tukar IDR karena terbatasnya cadangan devisa milik Bank Indonesia.

Rendahnya lokal konten pada industri kita membuat permintaan valuta asing  meningkat disaat tingkat konsumsi nasional meningkat, selanjutnya  tingkat produksi  meningkat, ini  mendorong impor bahan baku meningkat tajam yang  berujung  pada meningkatnya harga valuta asing yang dibutuhkan untuk impor bahan baku. Semua ini tentu saja menguras cadangan devisa Bank Indonesia sedangkan orientasi industri ini pasar domestik bukan pasar global yang menghasilkan devisa hasil ekspor.

Meningkatnya permintaan valuta asing  untuk membayar cicilan dan bunga utang corporasi nasional dan  untuk kebutuhan impor bahan baku industri kita, tentu saja menciptakan ketidakseimbangan pada neraca perdagangan internasional kita, yang berujung pada tekanan neraca pembayaran internasional kita. Jika kondisi ini tak diperbaiki melalui peningkatan ekspor kita  maka potensi kegagalan membayar cicilan dan bunga utang  yang jatuh  tempo suatu saat akan  benar – benar terjadi.

Jika sampai terjadi gagal bayar cicilan dan bunga utang jatuh tempo maka situasi ekonomi akan  lebih buruk dari krisis ekonomi 1998 bahkan lebih buruk dari kebangkrutan ekonomi Yunani tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi menjadi negatif akibat  melonjaknya harga kebutuhan pokok rakyat yang berujung jatunya tingkat konsumsi yang selanjutnya produksi terseret jatuh disusul oleh PHK massal disektor industri, angka pengangguran melonjak, muncul jutaan orang miskin baru yanng hidup terluntah – luntah seperti di Yunani tahun 2015.

Yunani beruntung dengan cepat pulih karena diselamtkan oleh Uni Eropa. Kalau Indonesia siapa yang menyelamatkan? IMF dan Bank Dunia lagi? Apa jaminannya? Kedaulatan kita sebagai bangsa Indonesia tergadaikan. Kalau itu terjadi semua kebijakan negara terutama  kebijakan ekonomi bakal didikte oleh dua lembaga keuangan  multilateral raksasa itu. Dan berdasarkan pengalaman kita, juga pengalaman negara – negara lainnya baik di Asia, Afrika dan Amerika latin  termasuk pengalaman kita sendiri pada tahun 1998 justru membuat ekonomi kita semakin terpuruk dan hidup rakyat kecil  semakin sengsara.

Begitulah yang terjadi jika kita sampai gagal bayar utang. Pujian – pujian  lembaga  ekonomi  multilateral  yang dipaparkan pada pada paragraph pertama diatas tak lebih dari gelumbung bui di lautan luas. (AHM/fsltns)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini