spot_img
Minggu, Mei 19, 2024
spot_img

Kisruh Jokowi-Faisal Basri, Anak Buah Sri Mulyani Buka Suara

KNews.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri terlibat dalam perdebatan ‘panas’ terkait hilirisasi atau pemurnian dan pemrosesan mineral tambang khususnya nikel di Indonesia.

Faisal Basri mengkritik kebijakan hilirisasi nikel yang tengah dipacu Jokowi justru hanya menguntungkan China. Jokowi pun mempertanyakan dasar argumen Faisal Basri. Begitu juga Faisal Basri, mempertanyakan angka Rp510 triliun, yang disebut Jokowi sebagai hasil yang dinikmati RI dari hilirisasi.

- Advertisement -

Saling adu argumen dan data pun terjadi.

Dan, turut menarik Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo ikut berkomentar. Lewan unggahan di akun Twitter resminya, Prastowo mengatakan pernyataan Faisal Basri soal tak ada pungutan adalah keliru.

- Advertisement -

“Bang @/FaisalBasri yang baik, saya jawab satu hal dulu, PNBP dan royalti. Anda keliru ketika bilang tidak ada pungutan karena faktanya melalui PP 26/2022 diatur tarif PNBP SDA dan royalti atas nikel dan produk pemurnian,” tulisnya, dikutip Sabtu (12/8/2023).

Di mana, lanjutnya, sejalan dengan amanat UU 3 Tahun 2020 tentang Minerba, pengelolaan mineral diarahkan untuk mendukung hilirisasi.

- Advertisement -

Terkait kebijakan tersebut, imbuh dia, pemerintah melakukan upaya antara lain:

1. Pelarangan ekspor bijih nikel pada tahun 2020
2. Pemberian tarif royalti yang berbeda antara IUP yang hanya memproduksi/menjual bijih nikel dibandingkan dengan IUP yang sekaligus memiliki smelter. Tarif royalti untuk bijih nikel 10% dan tarif untuk Feri nikel atau nikel matte sebesar 2%.

“Royalti memang pungutan yang secara konsep dan aturan dikenakan terhadap eksploitasi sumber daya alam. Ini berlaku umum. Untuk Izin Usaha Industri pungutannya tentu bukan royalti, melainkan bea keluar (saat impor) dan pajak-pajak lain (PPh, PPN, Pajak Daerah dll),” katanya.

Unggahan Prastowo itu pun langsung mendapat komentar balasan dari Faisal Basri. “Mas Pras, rasanya saya tidak keliru. Yang saya katakan adalah tidak ada pungutan sama sekali untuk ekspor produk smelter seperti diterapkan untuk sawit,” katanya.

“Royalti dikenakan terhadap penambang yang sebagian besar milik swasta nasional sebesar 10%. Pungutan untuk ferro nikel milik China hanya 2%. Pengusaha tambang bayar pajak badan 22%, pengusaha smelter China bebas bayar pajak badan karena dapat fasilitas tax holiday,” tulis Faisal Basri.

Seperti diketahui, hilirisasi adalah salah satu proyek andalan Jokowi dan sering dibanggakan, baik di dalam negeri maupun saat melakukan perjalanan kenegaraan ke luar ngeri. Karena itu, Jokowi bereaksi ketika Faisal Basri menyebutkan bahwa pengembangan smelter yang menghasilkan nikel setengah jadi dinilai hanya menguntungkan industri China. Di mana, seperti diketahui, hasil hilirisasi nikel di Indonesia menghasilkan Nikel Pig Iron (NPI) dan fero nikel.

“Kalau hilirisasi sekedar dari bijih nikel jadi NPI atau jadi fero nikel. NPI dan fero nikel 99% diekspor ke China jadi hilirisasi Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China itu dia, luar biasa,” ujar Faisal dalam diskusi Indef, dikutip Kamis (10/8/2023).

Begini Jawaban Lengkap Joko

“Ngitunganya gimana? Kalau hitungan saya berikan contoh nikel, saat diekspor mentahan, bahan mentah setahun kira-kira hanya Rp 17 triliun, setelah masuk ke industrial downstreaming, ke hilirisasi menjadi Rp 510 triliun,” terang Jokowi menjawab pernyataan Faisal Basri terkait hilirisasi nikel, di Stasiun LRT Dukuh Atas, Jakarta, dikutip Jumat (11/8/2023).

Dengan meningkatnya nilai ekspor nikel hasil hilirisasi, lanjut Jokowi, maka hasil pajaknya akan lebih besar ketimbang sebelum nikel dilakukan hilirisasi. “Bayangkan saja kita negara itu hanya mengambil pajak, mengambil pajak dari Rp 17 triliun sama mengambil pajak dari Rp 510 triliun lebih gede mana?,” katanya.

“Karena dari situ, dari hilirisasi kita bisa mendapatkan PPN, PPH badan, PPH karyawan, PPH perusahaan, royalti bea ekspor, penerimaan negara bukan pajak semuanya ada di situ. coba dihitung saja dari Rp 17 triliun sama Rp 510 triliun gede mana?” pungkas Jokowi. (Zs/CNBC)

 

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini