spot_img
Jumat, Mei 3, 2024
spot_img

Hubungan Petisi 100 – dan People Power Dan Capres 2024

Oleh:Damai Hari Lubis,  Pemerhati Hukum & Politik Mujahid 212

KNews.id- Gerakan moral Petisi 100 Orang anak bangsa ini, tidak ujug – ujug hadir, melainkan sudah sejak pasca Jokowi didaulat dan disumpah 100 hari masa kerja, lalu ternyata Jokowi sudah mulai melakukan pembiaran, ingkar janji politik dan obstruksi hukum, serta membuat diskresi sesat, sehingga melahirkan demo yang berjilid jilid dibawah komando seorang tokoh ulama besar di negeri ini, serta aset muslim dunia, Habib Riziek Shihab, yang lalu masuk dan keluar penjara, yang ” oleh pendapat banyak para ahli hukum merupakan korban politik kekuasaan, bukan pure hukum, justru identik dan atau nyaris sama dengan kriminilisasi “.

- Advertisement -

Petisi 100 orang penanda tangan yang kemarin mendatangi lembaga legislatif pada Kamis, 20 Juli 2023, walau formalnya hanya diterima oleh anggota legislatif DPD RI. Namun subtansial, pertemuan dan dialog kebangsaan para utusan petisi yang ditandatangani oleh 100 Orang Tokoh, lalu diantar dan diserahterimakan kepada DPD RI. Di Senayan Jakarta.

Pada prinsipnya didalam materi Petisi 100, terdapat dua poin tuntutan :

- Advertisement -
  1. Agar hak – hak yang dimiliki para anggota legislatif utamanya DPR RI dan MPR RI. Segera digunakan untuk meng- impeach atau makzulkan Jokowi dari kursi jabatannya selaku Presiden RI. Dan atau ;
  2. Jokowi diminta untuk mengundurkan diri dari kursi presiden RI. sesuai mekanisme konstitusi UUD. 1945 Jo.TAP. MPR RI No.6 Tahun 2001.Tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

 

Pastinya pengaduan dan permintaan petisi 100 disertai data – data pelanggaran yang dilakukan oleh Jokowi selaku Presiden NRI.

- Advertisement -

Untuk itu, terhadap petisi 100, DPR RI dan MPR RI. Yanh bersinggungan langsung dengan hak politik legislasi yang berdasarkan hukum ketatanegaraan ini, jangan anggap remeh, mereka ” para anggota yang terhormat ” mesti menunjukan atensi yang berskala prioritas, serta berkeseriusan terhadap adanya bentuk pengaduan, keluhan serta tuntutan perwakilan anak bangsa yang sependapat, dan semata demi kepentingan rakyat semesta dan pro justicia, lalu implementasikan, dengan cara, segera tindak lanjuti suara petisi 100 ini.

Terlebih DPR RI dan MPR RI – pun menerima suara keluhan dan pengaduan dari petisi 100, yang bermaterikan poin – poin penting yang sama dan persis, sesuai yang diberikan dan telah diterima oleh DPD RI. Maka, andai DPR RI dan atau MPR RI. Tidak mengambil sikap yang tegas kearah pemakzulan atau undur diri Presiden Jokowi, bukan tidak mungkin people power akan niscaya terjadi.

Sehingga ” petisi yang ditandatangani 100 orang WNI. Adalah cikal bakal  People Power, atau TURUN RAME RAME “, dan keduanya sama – sama sebagai implementasi dari pelaksanaan konstitusi sesuai UUD. 1945 sebagai sumber hukum NRI. beserta beberapa sistim hukum rujukannya.

Maka dari perspektif yurisdiksi/ hukum, hubungan antara Petisi atau tuntutan 100 Orang delegasi, dan people power, merupakan sebuah sinerjitas simpul pertalian upaya hukum publik, dengan makna kewajiban anak bangsa dalam peran serta masyarakat dan kemerdekaan atau kebebasan menyampaikan pendapat, baik secara tertulis atau lisan, baik individu maupun kelompok, serta terbuka didepan umum, dan petisi 100 dan atau people power atau turun rame – rame ini, merupakan hak setiap bangsa atau hak kontroler publik dan hak kedaulatan yang buntu atau dilecehkan secara hukum versi konstitusi atau keberlakuan hukum positif, namun dikerdilkan, tidak mendapat respon positif sesuai rules, oleh mayoritas anggota lembaga legislatif yang acuh terhadap perilaku Presiden Jokowi, yang banyak bias, tidak memenuhi nilai moralitas atau melanggar attitude dari amanah konstitusi.

Terutama temuan publik dari sisi hukum, terhadap sikap dan sifat serta dalam melaksanakan jabatan presiden RI. Jokowi disfungsi, sering Jokowi tidak berperilaku sesuai kriteria sumber hukum NRI. UUD. 1945, sehingga tidak memenuhi Tap MPR. RI. No. 6 Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Jo. UU. RI. No.28 Tahun 1999. Tentang, ” Pejabat Penyelenggara yang Bersih Bebas dari KKN. Serta penyelenggara pemerintahan yang mesti selalu mengindahkan prinsip sesuai asas – asas good Governannce “.

Dampak penentangan hukum yang banyak dilakukan oleh presiden Jokowi, termasuk statemen politik cawe – cawe yang Ia nyatakan sendiri, maka dimata publik, ” Jokowi terbukti anti integratif, melainkan diferensial “, seolah ingin menyatukan perbedaan yang universal pada anak bangsa, namun, pada prakteknya meng- kapling – kaplingkan yang justru, pada era sebelumnya sudah memiliki kejelasan batasan berdasarkan jargon terkenal, bhinneka tunggal ika.

Selebihnya, publik menilai leadership Jokowi bertambah rendah kwalitas, hal ini sesuai data dan fakta, karena dirinya malah menggunakan politik cawe – cawe diujung masa baktinya. Bukan menghias diri atau mengurangi kekeliruan dimasa kepemimpinan dirinya sejak 2014 sampai 2023, atau jelang purna bakti tahun esok di 2024. Hal ini membuktikan Jokowi punya kepribadian ” narsistik, marasa manusia super “. Maka statemennya, yang mengaku akan cawe cawe, atau bermakna  dirinya menggunakan pedoman like dislike atau keberpihakan kepada sebuah kelompok lalu meninggalkan atau melupakan kelompok lain, walau dirinya merupakan pemimpin untuk semua golongan dan bebas serta lintas Sara.

Gerakan petisi 100, merupakan delegasi dari masyarakat yang membutuhkan kepastian hukum dan keadilan, publik yang risau, karena bangsa ini membutuhkan ” pemimpin saat ini dan termasuk suksesi kepemimpinan nasional yang punya prinsip non diskriminatif, bukan malah bangkitkan rasisme dengan sistim peng- kapling – kaplingan dukungan, bukan like dislike kepada hanya diantara para kontestan Capres di 2024. ‘ Bukan yang Capres dinyatakan, seolah anak ideologis Jokowi, lalu capres yang ingin melanjutkan gaya dan sistem kepemimpinan seorang tipikal Jokowi ‘ . Justru publik yang diwakili oleh petisi 100 inginkan perubahan dari sistem a quo kontemporer, namun tetap mempertahankan sistim

yang bermanfaat bagi WNI. Lintas Sara  “.

Selain diskriminatif Jokowi, banyak melakukan pembiaran dan obstruksi ( bahkan destruksi ) hukum terhadap beberapa orang sosok yang semestinya diproses hukum oleh aparatur negara dibawah kekuasaan dan kendalinya, tapi lacur, malah para oknum yang terindikasi terpapar korupsi dijadikan menteri didalam kabinetnya. Kemudian, akibatnya, proses hukum pun sirna, dan menguap tanpa jejak. Namun tetap terdokumentasi dalam benak masyarakat, hingga menjadi tumpukan catatan buruk warna merah terhadap kepribadian kepemimpinan Jokowi.

Belum lagi, Jokowi dianggap sebagai sosok pendusta terhadap janji janji politik, janji ekonomi dan wan prestasi,  inkonsisten penegakan hukum, Jokowi telah melakukan puluhan dusta, bahkan mungkin lebih, terhadap kontrak politik yang Ia pernah sampaikan.

Selainnya, yang dirasakan publik, utang negara yang menumpuk, beda dengan ekonomi yang meroket sesuai janji politiknya yang publis, bahkan menjadi olok – olok melalui gambar dan video youtube serta tik tok yang diviral oleh para netizen dibanyak media sosial.

Dan ” Jokowi yang ditengarai oleh banyak publik, memiliki ijasah palsu, namun tidak ada klarifikasi sesuai transparansi dan akuntabilatas oleh dirinya selaku pejabat publik, berupa dan sebagai pembuktian kebenaran tentang keaslian ijasah S.1 miliknya, benar benar adalah hasil perkuliahan yang berasal dari Universitas Gajah Mada, Fakultas Pertanian ? “.

Hal tuduhan publik terkait ijasah palsu ini, jika benar makna hukumnya adalah, ” seluruh bangsa ini termasuk seluruh lembaga negara prinsipnya Ia tipu, ” sehingga nilai moralitas Jokowi dari sisi edukatif menyedihkan. Tragis ditengah kehidupan globalisasi ilmu pengetahuan yang mesti terus dipacu oleh bangsa ini, demi persaingan abad modern. Oleh karenanya citra Jokowi ambruk, karena selain Jokowi melanggar moralitas, Jokowi juga melakukan dugaan kumulatif tindak pidana dengan berbagai pasal splits terkait pelanggaran atau kejahatan tindak pidana secara dolus, atau sengaja dan berencana.

Lalu apa hubungannya Kedua gerakan moral, antara Petisi 100 dan People power dengan Pemilu Pilpres 2024.

Bahwa pada 11 Juni 2023 telah ada kembang – kembang atau cikal bakal lahirnya petisi 100 orang, yakni para aktivis kondang, yang dikomandoi oleh Mudrick Sangidoe dan Amien Rais, yang mengumpulkan para aktivis, antara lain, Eggi Sudjana, Syahganda Nainggolan, Dr. M. Taufik,  Rizal Fadillah, dan lain lainnya. Undangan yang datang dari Mudrick Sangidoe, tokoh nasional yang berasal dari Solo, Jawa Tengah, seorang tokoh peristiwa bersejarah tumbangnya orde baru yakni, tokoh inisiasi Gerakan Mega Bintang.

Maka aroma Mega Bintang kembali tercium di Solo, karena adanya undangan peringatan 26 Tahun Mega Bintang, 1997 – 2023, lalu pada acara tersebut, kawan – kawan aktivis meneriakkan people power, maka diantara yang hadir pada 26 tahun Mega Bintang, sepakat dan menandatangani gagasan petisi 100 diantaranya penulis DHL. dan rekan penulis Muslim Arbi, yang kemudian sebagai warming up, maka law action pun dimulai dengan kehadiran Petisi 100 di Senayan, komplek MPR RI & DPD RI. Yang tidak mustahil akan lahir dan berakhir dengan kekuatan Mega People Power, atau kekuatan gelombang people power sesungguhnya kelak.

Lalu apa hubungannya Kedua gerakan moral Petisi 100 dan People power dengan Pemilu Pilpres 2024. Dan bagaimana status Pemilu pilpres- wapres 2024, jika terjadi people power atau upaya jutaan manusia yang konstitusional dengan metode turun rame – rame paksa MPR.RI. menggunakan yurisdiksi hukum, minus atau ” tanpa perlu gunakan Mahkamah Konstitusi/ MK. dengan fungsi yudikatif dibawah pimpinan Anwar Usman Semenda Jokowi ? Karena MK. ” memiliki fungsi ganda  ( peran yudikatif juga berperan sebagai legislatif ) ‘ hingga debatebel secara hukum, serta tidak berkepastian hukum, namun mengikat” mereka petisi 100 mendesak Jokowi, melalui badan legislatif, agar mundur, dengan dalil yuridis, tidak apriori, tapi dengan fakta data atau nyata – nyata Jokowi telah banyak melanggar sumpah dan janji presiden, serta banyak melakukan pelanggaran konsitusi. Atau kah akhirnya ” Jokowi dipaksa oleh suara rakyat yang memang berdaulat atau dipaksa oleh suara Tuhan atau people power ?

Hubungan eratnya antara misi peserta tanda tangan didalam petisi 100 Orang, dengan pemilu Pilpres 2024, dari sisi sosio dan geo politik diantaranya adalah :

Kedua gerakan ini menunjang, dan amat tidak mengganggu Pilpres 2024. Alasannya ?

Justru, terhadap ramainya isu, perihal ada piak pihak yang tak bertanggung jawab, kepingin gagalkan Anies Baswedan sebagai Capres, secara melawan hukum, bahkan sudah diusahakan oleh sosok penguasa rezim melalui KPK dan beberapa individu, melalui tuduhan Anies korupsi, dan juga mencoba walau dengan santun, namun intrik – intrik misinya adalah devide empera ( pola machiavelism ), kepada para tokoh partai, PKS, NASDEM, & DEMOKRAT. Ilustrasi kasus dimaksud eksis melalui, gejala – gejala analogi politik hukum, pada peristiwa :

 

  1. Moeldoko ” Kepala Kantor Staf Presiden, yang diistilahkan oleh publik di berbagai medsos, ” sebagai yang diduga ingin Perampok Partai PD.”

 

  1. Kunjungan tokoh politik dikuar KPP. kepada SBY. Negarawan dan Tokoh Utama, Sesepuh Partai Demokrat

 

  1. LBP. temui S.Paloh

 

  1. Sandiaga Uno lobi pimpinan PKS.

Dan berbagai diskriminatif hukum dan ambigu serta tebang pilih dilakukan saat proses hukum yang dialami Jhonni G Plate ” dan ” Bimo Nandito Artiredjo. Pola dualisme ini, nampaknya dilakukan secara massif, struktural dan Sistematis oleh pihak yang menggerakkan, namun tidak bertanggung jawab.

Sehingga gerakan petisi 100 menuju people power ini, adalah agar Anies tetap maju  menjadi Capres pada Pilpres 2024, walau akan dicegah oleh segala model politik machiavelism ( metode politik dengan segala cara ).

Sehingga, Petisi 100 dan ( andai ) lahirkan gerakan PP., bisa menjadi pagar, dan kekuatan antisipasi untuk melawan isu – isu buruk terhadap Anies bakal Capres 2024 bersama pasangannya kelak. Sehingga adanya petisi 100 dan PP. Bermanfaat untuk :

 

  1. Anies tetap maju ikut Capres dan mudah- mudahan para individu rezim tidak berani halangi hak hukum Anies sebagai bakal Capres

 

  1. Pemilu tidak atau minimalisir kecurangan ;

 

  1. Kesimpulannya walau Petisi 100 dan PP. Subtansial ada hubungannya dengan pemilu pilpres 2024, namun hubungan hukumnya muncul secara tidak langsung, dan paralel, se- liner, dengan dinamika politik dan hukum terkait Pencapresan Anies Baswedan dan bakal Cawapres-nya.

 

Selain, secara konstitusi agenda pesta demokrasi pemilu Pilpres, adalah wajib dan telah memiliki kejelasan jadwal 5 tahun sekali, sesuai Perintah UUD. 1945, dan KPU. Sudah menentukan baik tanggal, bulan dan tahunnya ( 14 Februari 2024 ).

 

  1. Petisi 100 memang bisa, berujung people power dengan membuahkan turunnya Jokowi dari kursi jabatannya presiden RI. Oleh dan karena ” power ” yang berasas dan berkekuatan hukum.

 

Sebagai bangsa yang cinta damai, semoga bangsa ini setelah Jokowi dapat dilengserkan secara konstitusional, akan berwujud sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi, oleh sebab masyarakat mendapat kepastian hukum serta berkeadilan, sehingga mudah – mudahan dapat terwujudkan, walau dan jika perlu, pemggantinya kelak berpedoman serta menerapkan motto, ” Fiat Justitia Ruat Caelum “.

 

Semoga secepatnya.

Cttn. Penulis hadir saat peristiwa peringatan 26 Tahun Mega Bintang di Solo dan hadir saat pertemuan di Senayan Jakarta, dengan Tamsil Linrung, Senator Perwakilan DPD. RI. (FHD/dhl)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini