spot_img
Sabtu, April 20, 2024
spot_img

Dubes Rusia: Jika Ukraina Masuk NATO, Nuklir dapat Menghantam Moskow dalam Waktu Tiga Menit, Kami Harus Melindungi Rakyat!

KNews.id- Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Georgievna Vorobieva, menegaskan pemerintah dan militernya tidak pernah berniat mengobarkan perang terhadap rakyat Ukraina.

Lyudmila mengatakan, operasi khusus militer Rusia yang terjadi kekinian hanya ditujukan demi demiliterisasi dan de-nazi-fikasi Ukrania. Selain itu, tujuan operasi militer juga untuk melindungi warga sipil Ukraina maupun rakyat Rusia.

- Advertisement -

Sebab, kata dia, sejumlah kebijakan pemerintah Ukraina dan NATO semakin agresif dan bisa menimbulkan tragedi kemanusiaan yang jauh lebih besar bagi warga sipil di kedua negara tersebut.

“Jika Ukraina menjadi anggota NATO, maka infrastruktur militer NATO bisa ditempatkan di daerah perbatasan kami, termasuk senjata nuklir mereka. Selanjutnya, hanya dalam waktu tiga menit, senjata itu bisa mencapai Moskow,” kata Lyudmila.

- Advertisement -

Lyudmila mengatakan hal tersebut dalam sesi wawancara khusus dengan Suara.com di rumah dinasnya, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (3/3).

Dikuasai Neo-Nazi

- Advertisement -

Dia menjelaskan, operasi militer yang dilancarkan Rusia saat ini erat terkait dengan peristiwa tergulingnya Presiden Ukraina Viktor Yanukovych tahun 2014. Lyudmila menyebut peristiwa tersebut sebagai kudeta yang berdarah, karena proses penggulingan Presiden Yanukovych turut memakan korban warga sipil.

Sejak saat itu, pemerintahan Ukraina selalu dipegang oleh presiden yang didukung oleh negara-negara Barat.

“Ukraina sejak 2014 semakin disetir oleh Barat, masuk dalam apa yang disebut sebagai Anti-Russia Project,” kata dia.

Tak hanya itu, kelompok-kelompok Neo Nazi yang ikut dalam huru-hara 2014 tersebut juga bisa berkembang atas dukungan rezim-rezim pemerintahan Ukraina.

“Anda tahu? Kebijakan pertama rezim baru itu adalah merepresi populasi Rusia di Ukraina. 40 persen warga Ukraina adalah etnis Rusia. Selain itu, mayoritas warga di banyak daerah Ukraina berbahasa Rusia, termasuk Luhansk dan Donetsk,” kata dia.

Dia mengatakan, rezim Kiev sejak tahun 2014 menerapkan kebijakan represif terhadap budaya rakyatnya sendiri, yakni melarang mereka menggunakan bahasa Rusia.

“Kebijakan rezim Kiev sangat aneh,” kata Lyudmila dan mengkritiknya dengan analogi, “Seperti bahasa Inggris dilarang di tanah Britania, atau bahasa Jawa dilarang digunakan di Pulau Jawa.”

Tentu saja, sambung Lyudmila, warga Ukrania melawan kebijakan represif dan diskriminatif tersebut. Sebab, warga Ukrania sejak dulu hingga kekinian selalu mengakui diri sebagai etnis Rusia.

Ia mengungkapkan, opresi tidak terhenti pada aspek budaya, tapi juga terdapat represi fisik terhadap warga sipil yang dilakukan oleh grup-grup militer Neo Nazi Ukraina.

Azov Battalion, grup Neo Nazi yang diserap masuk institusi militer Ukraina, berpose dengan latar bendera NAzi. Salah satu anggotanya juga tampak memberikan gaya hormat Heil hitler. [sofrep.com]

Azov Battalion, grup Neo Nazi yang diserap masuk institusi militer Ukraina, berpose dengan latar bendera NAzi. Salah satu anggotanya juga tampak memberikan gaya hormat Heil hitler.

“Kalau mereka menemukan warga yang menggunakan bahasa Rusia, orang itu diserang, dianiaya. Tak hanya itu, warga yang menggunakan bahasa Rusia bisa dipecat begitu saja dari pekerjaannya.”

Akhirnya, sejak 2014, warga sipil melawan represifitas tersebut, terutama di Luhansk, Donetsk, dan Krimea. Perlawan warga tersebut dijawab dengan kekuatan militer oleh rezim Kiev.

Ia menyebutkan, kelompok-kelompok Neo Nazi seperti Azov Battalion dan Aidar Battalion yang sudah diserap masuk dalam institusi militer Ukraina, memulai penyerbuan dan penindasan terhadap warga di ketiga daerah tersebut.

“Puncaknya, warga Krimea melakukan referendum dan memutuskan kembali bergabung dengan Rusia. Kami melindungi mereka dari serangan Kiev. Sementara Luhansk dan Donetsk tetap menjadi bagian Ukraina, sehingga militer serta grup Neo Nazi terus menyerang kedua daerah itu, membunuhi warganya.”

Berdasarkan data Departemen Pertahanan Rusia, 16 ribu warga sipil—termasuk anak-anak—di Luhansk dan Donetsk tewas akibat serangan militer Ukraina selama 8 tahun terakhir.

“Media-media Barat tak pernah memberitakan, 5 Mei 2015 didirikan monumen The Alley of Angles di Donetsk untuk menghormati anak-anak yang tewas dibunuh militer serta grup Neo Nazi Ukraina.”

NATO semakin Agresif

Namun, Lyudmila mengatakan, posisi Rusia saat itu tidak ikut campur karena menilai konflik yang terjadi di Luhansk dan Donetsk adalah perang sipil atau civil war Ukraina.

“Karena kami menilai itu adalah perang sipil, maka harus diselesaikan oleh Ukraina sendiri melalui jalan damai. Rusia yang mendesak pemerintah Republik Rakyat Luhanks dan Republik Rakyat Donetsk untuk duduk bersama rezim Kiev, guna menemukan solusi damai.”

Hasilnya, kata dia, Perjanjian Minks I ditandatangani oleh semua pihak yang bertikai tahun 2014. Selang setahun, 2015, pihak yang berkonflik meneken Perjanjian Minks II. Semuanya dilakukan di daerah Minks, Belarus.

Dalam perjanjian itu, disepakati pemerintah Ukraina tidak memobilisasi militernya menyerang Luhansk dan Donetsk. Perjanjian Minks juga berisi kesepakatan Rezim Kiev menerapkan status otonomi khusus terhadap kedua daerah itu, dengan catatan Luhansk dan Donetsk tetap menjadi bagian Ukraina.

“Sejak itu pula hingga sebelum operasi militer, yakni 8 tahun, Rusia selalu meminta rezim Kiev memenuhi perjanjian. Selama 8 tahun pula kami meminta rekan-rekan kami di Barat untuk ikut mendesak rezim Kiev memenuhi Perjanjian Minks. Tapi tak pernah terealisasi, dan warga Luhansk dan Donetsk tetap dibunuhi setiap hari.”

Di lain sisi, kata dia, sejak 2014, negara-negara Barat justru mulai memasok senjata ke Ukraina. Negara-negara Barat yang tergabung dalam pakta pertahanan NATO juga melatih prajurit-prajurit Ukraina.

Lyudmila menilai, sejak itu pula Ukraina berhenti menjadi negara yang independen, “Dan hanya menjadi instrumen politik serta militer Barat melawan Rusia atau Anti-Russian Project.”

Puncaknya, Ukraina dijanjikan menjadi anggota NATO. Padahal, kata dia, sejak Uni Soviet terpecah tahun 1991, negara-negara Barat berjanji untuk tidak melakukan ekspansi keanggotaan ke daerah-daerah yang dekat dengan Rusia.

Rusia tahun 1990-an meminta hal tesebut, sebab sejak Soviet pecah, Pakta Warsawa—organisasi pertahanan Uni Soviet dan sekutu-sekutunya—ikut dibubarkan.

“Dulu, Rusia menawarkan ke negara-negara Barat agar janji NATO itu dituangkan dalam perjanjian tertulis. Tapi mereka menegaskan tidak perlu, bahwa ‘Rusia bisa mempercayai kata-kata kami’. Tapi kenyataannya tidak demikian. Sejak 1999 sampai 2021, NATO terus berekspansi ke daerah perbatasan kami.”

“Lantas, apa artinya itu bagi kami? Kalau Ukraina menjadi anggota NATO, maka infrastruktur militer NATO bisa ditempatkan di daerah perbatasan kami, termasuk senjata nuklir mereka. Hanya dalam waktu 3 menit, senjata itu bisa mencapai Moskow. Bagaimana kami tidak merasa terancam? Bagaimana kami tidak merasa keselamatan rakyat Rusia dalam bahaya?”

Percaya Diplomasi

Lyudmila menegaskan, selama 8 tahun terakhir Rusia secara intensif melakukan diplomasi ke negara-negara Barat, agar ekspansi NATO itu dihentikan serta ikut menyelesaikan konflik internal Ukraina secara damai.

Dalam banyak kesempatan, kata dia, pemerintah Moskow terus meminta surat tertulis jaminan keamanaan untuk Rusia. Sebab, jika terjadi agresi terhadap Rusia, maka hal itu akan menjadi konflik Eropa secara umum.

“Kami tidak pernah mau berperang, karena itu adalah tragedi. Kami tahu betul arti penderitaan perang. Kami kehilangan 27 juta jiwa dalam Perang Dunia II melawan Nazi Jerman. Kami tidak ingin lagi perang, karena itu kami intensif berdiplomasi.”

Diplomasi terus dilanjutkan hingga awal tahun 2022. Putin menyampaikan hal yang sama saat berbicara dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Moskow. Begitu pula saat menyambut kunjungan Kanselir Jerman Olaf Scholz.

“Kami mendesak mereka agar Ukraina memenuhi kesepakatan Perjanjian Minks, serta jaminan keamaan Rusia dari Barat. Karena Ukraina dengan dukungan Barat sudah menempatkan prajurit-prajuritnya di perbatasan Rusia, yakni Donbas, sehingga setiap saat bisa menyerang kami.”

Karena tak pernah mendapat jawaban, kata Lyudmila, Presiden Putin akhirnya memutuskan mengakui kedaulatan Republik Rakyat Luhansk dan Republik Rakyat Donetsk, serta meneken banyak kerja sama dengan keduanya, termasuk perlindungan militer.

“Konsekuensi pengakuan kedaulatan kedua negara itu adalah memberikan perlindungan terhadap warga Luhansk dan Donetsk, sehingga operasi militer dilakukan. Ini adalah pilihan yang sangat sulit bagi Rusia, tapi untuk melindungi saudara-saudaranya di Ukraina, harus dilalui.”

Walau demikian, Lyudmila menegaskan Rusia tetap memercayai solusi damai melalui jalur diplomatik. Ia mengatakan, pihak-pihak yang mengatakan Rusia tidak mau berdiplomasi sama saja menebar kebohongan.

Sebab, kata dia, kalau Rusia seperti itu, pihaknya tidak akan mau bertemu delegasi Ukraina di Belarus, pekan lalu untuk mencari solusi damai. Meski tak mengetahui detail isi pertemuan itu, dia mengatakan akan ada pertemuan lanjutan antarkedua belah pihak.

“Sekali lagi, kami tidak berperang dengan warga sipil Ukraina. Kami sudah sangat lama bertoleransi, membuka pintu negosiasi, kami mencoba agar Perjanjian Minks ditepati. Semua ini kami lakukan untuk warga Rusia dan saudara-saudara kami di Ukraina.” (AHM/sra)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini