spot_img
Sabtu, Juni 22, 2024
spot_img

Akhir 31 Tahun PPP di Senayan: Konflik Internal, Salah Dukung, dan Evaluasi Sistem Pemilu

KNews.id – Asa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menuju DPR RI nyaris dipastikan kandas. Tinta hitam itu akan segera tergurat: Partai Kabah untuk pertama kalinya dalam sejarah gagal menempatkan kadernya duduk di Senayan.

Tak satu pun gugatan sengketa Pileg DPR RI 2024 yang mereka layangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dikabulkan Mahkamah. Ketika perolehan suara PPP diumumkan KPU pada 20 Maret 2024, Ketua DPP Achmad Baidowi sempat mengaku terkejut.

- Advertisement -

Menurut Baidowi, data internal mereka menunjukkan bahwa partai yang lahir dari fusi partai-partai Islam pada 1973 itu berhasil melampaui ambang batas parlemen. Dalam gugatan mereka terhadap hasil Pileg DPR RI 2024 di 18 provinsi ke MK, PPP mengeklaim bahwa seharusnya mereka meraup 4,02 persen suara sah nasional.

Namun, klaim tinggal klaim. Cuma 1 gugatan PPP yang dianggap MK layak masuk ke tahap pembuktian, yakni atas perolehan suara mereka di daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah III. Namun, Jumat (8/6/2024), MK memutuskan gugatan itu tak dapat diterima juga karena dalilnya kabur.

- Advertisement -

Otomatis, perolehan suara PPP tak berubah dengan hanya mengantongi 5.878.777 suara dari total 84 daerah pemilihan pada Pileg DPR RI 2024. Dibandingkan dengan jumlah suara sah Pileg DPR RI 2024 yang mencapai 151.796.631 suara, maka PPP hanya meraup 3,87 persen suara, kurang 0,12 persen dari ambang batas parlemen 4 persen.

PPP membutuhkan tambahan sedikitnya 193.089 suara untuk bisa melampaui ambang batas itu. Efek konflik internal dan dukungan capres? Salah satu faktor yang diduga membuat PPP terlempar dari DPR adalah konflik internal yang tidak diselesaikan dengan baik.

- Advertisement -

“Secara institusional, PPP bolak-balik diterpa konflik internal bahkan dalam beberapa waktu berkepanjangan sehingga membuat citra partai berlambang Ka’bah menjadi terus terdegradasi,” kata Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro saat dihubungi pada Jumat (22/3/2024).

Konflik internal PPP bahkan dimulai saat mereka masih menjajaki peluang koalisi dan sebelum tahapan Pemilu 2024 berjalan. Pada saat itu, Suharso Monoarfa yang menjabat sebagai ketua umum dicopot mendadak dan digantikan oleh Mardiono.

Kemudian di tengah masa kampanye Pilpres 2024, sejumlah kader PPP menyatakan mendukung calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Padahal PPP sudah menyatakan dukungan politik kepada capres-cawapres nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD. “Padahal embel-embel sebagai partai Islam lekat dengan standar yang tinggi,” sambung Agung.

Agung juga menilai PPP kurang mempunyai sosok pemimpin yang kuat dan sanggup menyatukan kubu yang berseteru. Padahal menurut dia, di tengah masa transisi atau pasca konflik diperlukan sosok ketua umum yang kuat. Faktor dukungan politik kepada Ganjar-Mahfud juga dianggap gagal mengerek efek elektoral untuk PPP, jika bukan sebaliknya.

PDI-P selaku partai utama dalam koalisi ini, meskipun tetap menang Pileg DPR RI 2024, kehilangan 18 kursi di Senayan. Partai Hanura dan Perindo tetap gagal masuk DPR RI.

“Secara umum pemilih PPP lebih memilih Anies dan Prabowo, dan hanya sedikit saja yang memilih Ganjar itu hanya PPP yang berbasis di jateng. Di Luar Jateng pemilih PPP banyak ke Anies dan Prabowo,” ujar Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno.

“Sejak awal PPP tak terlampau fokus ke pileg, tapi harus berbagi dengan pilpres menangkan Ganjar-Mahfud. Tentu ini sangat berisiko karena PPP sedang struggle untuk lolos parlemen. Mngkritik Jokowi dengan approval rating tinggi jadi blunder besar PPP. Mestinya PPP gunakan kacamata kuda fokus lolos pileg saja,” jelas dia.

Selain itu, Adi menilai PPP gagal membaca pergeseran profil demografi pemilih pada Pemilu 2024. Ia menyebutkan, basis pemilih PPP adalah masyarakat berusia tua yang jumlahnya mengecil, sedangkan sebagian besar pemilih pada Pemilu 2024 adalah pemilih muda.

Salah ambang batas parlemen? Dalam salah satu gugatannya, PPP sempat meminta MK memberi kebijakan khusus agar 5 jutaan suara mereka itu tetap dikonversi menjadi kursi.

PPP beralasan, jika tidak, maka kursi yang seharusnya mereka dapatkan itu justru akan jatuh ke partai politik lain yang tidak seideologi dengan para pemilih PPP, semisal PDI-P, Nasdem, dan Golkar.

Dalil ini tidak dipertimbangkan Mahkamah. Namun, isu soal terbuangnya suara rakyat akibat ambang batas parlemen bukan hanya bualan PPP. MK sendiri telah mengamini masalah sistem kepemiluan ini. Melalui Putusan Nomor 116/PUU-XX/2023, Mahkamah memerintahkan pembentuk undang-undang untuk merumuskan kembali ambang batas parlemen secara lebih rasional pada Pileg 2029.

Mengapa? Sistem pileg proporsional, sebagaimana ditetapkan di Indonesia, bertujuan untuk menekan semaksimal mungkin suara rakyat yang terbuang–tidak terkonversi menjadi kursi. Masalahnya, penerapan ambang batas terbukti membuat 17.304.304 atau 11,4 persen suara rakyat untuk 10 partai politik terbuang pada Pileg DPR RI 2024, sebanyak apa pun caleg mereka meraup suara di dapilnya.

Total, ada 10 partai yang gagal mengamankan lebih dari 4 persen suara sah nasional sebagai ambang batas parlemen, yakni PPP, PSI, Perindo, Gelora, Hanura, Buruh, Ummat, PBB, Garuda, dan PKN. Hasil pemantauan dan penghitungan Kompas.com dalam rekapitulasi penghitungan suara tingkat nasional yang diselenggarakan KPU RI, PPP sedikitnya berhak atas 12 kursi DPR RI seandainya tidak ada ambang batas parlemen, berdasarkan metode sainte yang diterapkan untuk konversi suara Pileg DPR RI di Indonesia.

Selusin kursi Dewan itu seharusnya dapat dikunci PPP pada daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah II dan III misalnya, di mana partai besutan Mardiono itu meraup 158.051 dan 138.933 suara. Di Jawa Timur, setidaknya ada 3 dapil yang sudah diamankan PPP, yakni Jatim III (153.261 suara), Jatim VIII (115.554 suara), dan Jatim XI (408.412 suara).

Sisanya, tanpa ambang batas parlemen, PPP dapat mengamankan kursi Senayan dari dapil Banten I (133.212 suara), Sulawesi Selatan I (140.153 suara), Sulawesi Selatan II (171.049 suara), Aceh I (137.835 suara), NTB II (153.261 suara), serta Jawa Barat IX (175.482 suara) dan Jawa Barat XI (271.085 suara).

(Zs/Kmps)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini