spot_img
Jumat, Mei 3, 2024
spot_img

Kepada Hakim MK, Lieus Sungkharisma Mengaku Malas Ikut Pilpres 2024, Ini Alasannya…

KNews.id- Pemohon perkara Nomor 5/PUU-XX/2022 pengujian materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Lieus Sungkharisma, mengaku prihatin dengan aturan yang mempersulit partai politik dalam mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Sulitnya parpol mengajukan capres- cawapres, ungkap Lieus, karena terganjal syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. Dalam pasal tersebut mengatur pencalonan presiden dan wakil presiden dilakukan partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR.

- Advertisement -

Padahal, kata Lieus, untuk mendirikan partai politik hingga terdaftar sebagai peserta pemilu saja syaratnya sudah berat. Hal tersebut disampaikan Lieus kepada kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang lanjutan uji materi UU Pemilu dengan agenda perbaikan permohonan yang digelar MK secara virtual, Kamis (3/2).

“Kasihan ini yang dirikan partai politik. Itu udah susah syaratnya berat. Setelah terdaftar di Kemenkumham, dia harus daftar di KPU menjadi peserta pemilu,” ujar Lieus.

- Advertisement -

“Setelah menjadi peserta pemilu terus gak boleh mengajukan presiden dan wakil presiden yang diamanatkan UUD 1945, itu kayaknya kasihan,” sambungnya.

Lieus lantas menceritakan pengalamannya dalam mendirikan Partai Reformasi Tionghoa Indonesia pada 1998 silam. Ia menyebut bahwa partainya itu terdaftar secara legal di Kemenkumham.

- Advertisement -

“Saya punya pengalaman sendiri. Tahun 1998 begitu kerusuhan Mei, saya pernah bikin partai yang mulia. Terdaftar di Kemenkumham. Cuma saya nggak ikut pemilu karena memang persyaratan untuk ikut pemilu itu tidak mudah. Di setiap daerah, provinsi, kabupaten harus punya cabang,” ungkapnya.

Kendati telah mengantongi izin dari pemerintah dalam hal ini Kemenkumham, lanjut Lieus, faktanya Partai Reformasi Tionghoa Indonesia tidak kuat mengikuti pemilu karena beratnya syarat yang ditentukan penyelenggara.

Melihat sulitnya syarat dalam mendirikan parpol, menurut Lieus, sangat tidak adil jika parpol yang lolos ke Senayan, apalagi partai baru diberatkan dengan syarat pengajuan capres-cawapres.

“UU Pemilu yang kita ajukan (judicial review) supaya diperiksa yang mulia, itu 20% (kursi DPR) dan 25% perolehan suara nasional itu berat sekali,” paparnya.

“Kalau kita melihat kondisi hari ini, bahwa partai politik yang bisa sesuai UU Pemilu yang sekarang dipakai, cuma 9 partai politik (mengajukan capres-cawapres). Tujuh partai sudah berkoalisi, duanya di luar, oposisi. Dua partai ini gak cukup 20% (untuk ajukan capres-cawapres),” jelas Lieus.

Oleh karena itu, agar lebih adil, melalui uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukannya, Lieus berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan.

Ditegaskannya, ketentuan ambang batas 20?lam mengusung capres-cawapres sangat berat bagi partai politik. Ia mengaku sebagai pemohon sangat dirugikan dengan aturan itu.

Lebih jauh, Lieus menyebut bahwa melihat peta politik saat ini dengan berlakunya UU Pemilu sekarang, maka Pilpres 2024 kemungkinan hanya diikuti oleh dua pasangan calon presiden-wapres. Hal itu, katanya, berpotensi menimbulkan polarisasi yang semakin tajam di masyarakat.

“Makanya kalau Pemilu 2024 peraturannya masih mengharuskan 20% untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden, rasanya saya sih bukan mendahului ya, malas tuh ikut lagi. Apalagi saya ini sebagai legal standing dirugikan benar,” tukasnya.

“Karena dengan dua pasang calon maka permusuhan makin tajam. Akibat permusuhan tajam dagang jadi susah,” pungkas Lieus.

Di akhir sidang, Lieus membacakan tiga poin petitumnya. Pertama, ia meminta majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk keseluruhannya. Kedua, menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Ketiga, memerintahkan pemuatan putusan tersebut dalam berita negara Republik Indonesia, atau jika majelis hakim memiliki pendapat lain dimohon memberikan putusan yang adil. (AHM/netnw)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini