spot_img
Sabtu, Juni 29, 2024
spot_img

Pakar Asing Blak-blakan soal Masa Depan RI di Bawah Prabowo

 

KNews.id – Pakar politik dan keamanan internasional Universitas Murdoch dari Australia, Ian Wilson, blak-blakan soal masa depan RI dari demokrasi hingga soal hubungan internasional di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto.

- Advertisement -

Di pemilu kali ini, Jokowi secara tak langsung mendukung Prabowo. Anak presiden RI itu, GIbran Rakabuming, juga menjadi calon wakil presiden untuk Prabowo.
Wilson menilai pecah kongsi bisa terjadi jika hubungan Prabowo dan Jokowi tak baik.

Di kesempatan ini, Wilson juga membeberkan situasi hak asasi manusia di Indonesia, nasib papua, hingga sikap Prabowo di panggung internasional termasuk ke China.

- Advertisement -

Tajikistan Geger Rusia Tangkap Pelaku Penembakan di Moskow, Ada Apa?
KPU mengumumkan Prabowo-Gibran menjadi presiden dan wakil presiden terpilih Indonesia semalam.

Menurut Anda bagaimana Prabowo akan memimpin Indonesia?

- Advertisement -

Iya itu sebenarnya pertanyaan yang sulit dijawab, Cuma jawaban yang spekulatif karena kami belum tahu.

Koalisi pemerintahannya seperti apa, misalnya satu dinamika yang akan sangat menentukan adalah apakah partai politik PDIP dan PKS mau bergabung di koalisi di bawah Presiden prabowo dan Wakil Presiden Gibran atau tidak atau mau menjadikan yang disebut oposisi.

Itu akan sangat menentukan karena dalam penafsiran saya mungkin kecenderungan Prabowo secara pribadi ke politik yang agak otoriter walaupun Prabowo yang sekarang ini bukan Prabowo yang dari 10 tahun lalu.

Penembakan Massal di Moskow, Kenapa Teror ISIS Masih Terus Ada?

Tapi kecenderungan reflek politiknya ke sana. Namun, dia tidak bisa berbuat semau dia dalam konteks-pola pola kekuatan politik elit. Itu akan sangat menentukan ke depan.

Saya merasakan biasanya dalam sistem Indonesia yang fokus kepada koalisi kepresidenan, presiden harus membangun koalisi untuk membangun kuasa dengan stabil istilahnya. Itu akan menjadi tugas dia dan akan memakan cukup tenaga untuk bisa menyenangkan partai.

Prabowo dalam kampanye mengatakan dia ingin [dalam pemerintahan] ya, cita-citanya terdiri dari semua pihak, dalam arti semua parpol mau diajak. Itu konsep pemerintah dia yang tanpa oposisi.

Dalam arti oposisi bukan dilarang tapi diajak, semua dikooptasi. Jadi saya merasakan proses itu akan memakan waktu tidak sedikit (lama) dan apakah dia berkuasa secara parlementer dengan mayoritas atau minoritas juga akan sangat menentukan paling sedikit (setidaknya) satu dua tahun ke depan itu.

Situasi di depan bergantung oposisi, bagaimana jika PDIP dan PKS menjadi oposisi?

Saya harus jelaskan bahwa saya sebut oposisi tapi saya melihat kecenderungan di politik Indonesia sangat parlementer, oposisi secara program, secara ideologi, tidak begitu ada dibanding misalnya sistem yang ada di Australia, ada Partai Buruh ada Partai Liberal yang jelas ideologi politik yang sangat berbeda.

Dengan konteks Indonesia yang saya sebut deal-dealisme. Jadi itu akan ada deal-deal antar parpol itu berarti akan bekerja dengan yang lain. Tidak ada halangan secara ideologis untuk itu terjadi.

Oposisi bukan berarti mereka mengacu pada suatu program yang bertentangan dengan pemerintah. Kami melihat di masa kepemimpinan Jokowi hampir semua partai 90 persen perwakilan yang ada di DPR masuk ke koalisinya Jokowi
Dan itu semua terjadi. Dan saya merasa oposisi menjadi suatu posisi untuk meningkatkan daya tawar, untuk apa yang mereka inginkan, untuk negosiasi.

Misalnya PDIP dan ini sangat spekulatif ya. Saya tidak tahu pemikiran mereka sekarang ini, tapi ya paling tidak, mungkin mereka melihat apakah mereka bisa menjadi bagian, sebelum mereka memikirkan untuk bisa menjadi bagian dari koalisi pemerintah.

Selama kampanye bahkan hingga hari ini banyak publik yang membicarakan soal HAM. Apalagi Prabowo punya catatan pelanggaran HAM di masa lalu dan Gibran dianggap anak haram konstitusi.

Nah bagaimana Anda memandang situasi HAM di Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo?

Ya, saya kira paling sedikit perlindungan hak asasi manusia tidak akan menjadi prioritas. Dalam hal itu mungkin tidak begitu berbeda dengan presiden Jokowi yang pada awalnya ada banyak janji kepada korban, ada banyak janji kepada aktivis HAM tapi akhirnya tidak ada penyelesaian berbagai kasus.

Termasuk kasus yang menjadi bagian kabinet dia termasuk presiden baru Indonesia PakPrabowo itu. Jadi saya kira secara politik dan ideologi prabowo tidak akan perhatikan HAM, mungkin hasil dari Pemilu akan dianggap dan disampaikan sebagai legitimasi supaya tidak membahas soal HAM atau tidak dipikirkan soal HAM.

Mengingat kampanye dia banyak yang fokus untuk mengarahkan pikiran orang bahwa tuduhan pelanggaran HAM yang sebenarnya basis faktanya cukup jelas dari dulu, termasuk fitnah, kampanye hitam, dan sebagainya itu. Dan mungkin hasil dari pemilu membenarkan kampanye itu.

Jadi saya merasa untuk sementara ini tidak akan ada lanjut (penegakan HAM). Yang mungkin dikhawatirkan kelompok sipil-LSM, HAM bukan hanya tidak ada kemajuan tapi ada kemungkinan kemunduran dalam soal HAM, tidak akan ada usaha untuk mengusut kasus yang sudah lama, bahkan ada yang baru, bahkan tidak ada usaha untuk memperkuatkan perlindungan HAM di Indonesia yang sebenarnya mungkin secara hukum ada tapi secara praktis politik sangat lemah sampai sekarang ini.

Dan paling tidak masa lalu ya Pak Prabowo itu sendiri, kami melihat dengan perilaku Presiden Jokowi untuk memberi bintang kehormatan kepada dia, mungkin dibaca banyak orang untuk mensucikan masa lalu. Saya rasa membaca sentimen dari kelompok LSM sangat [mereka] putus asa untuk masa depan HAM di Indonesia di bawah kepresidenan Pak Prabowo itu

Terkait Papua kan terus menjadi sorotan. Bahkan. Di salah satu debat capres Prabowo pernah mengatakan salah satu solusinya adalah menambah pasukan. Jadi dia lebih memilih pendekatan militer daripada dialog konstruktif. Bagaimana Anda melihat nasib Papua di bawah pemerintahan Prabowo?

Mungkin saya bisa jawab yang kerangkanya lebih luas sedikit. Bahwa dalam penyelesaian konflik seperti yang ada di Papua, yang dulu seperti yang adanya di Aceh dan yang sekarang di Timor Leste, itu bisa berbagai cara dan itu sudah terbukti cara yang terbaik.

Terbaik dalam arti meminimalkan korban, meminimalkan kekerasan dan sebagainya adalah membuka dialog dan kolaborasi.

Masalahnya yang selalu dihadapi banyak keadaan seperti itu, termasuk dalam sejarah Indonesia itu sendiri adalah semua pihak harus bersikap untuk berkompromi, harus siap untuk berkompromi.

RUDAL: 5 Keluarga ‘Dinasti Politik’ Tersohor di Dunia

Dan kalau punya sikap harga mati dan sebagainya itu retorikanya tidak memungkinkan ada negosiasi yang bisa menghasilkan perdamaian dan sebagainya.

Jadi masalahnya kalau ada misalnya kami bisa membandingkan dengan kasusnya di Aceh di bawah Kepresidenan Megawati dulu yang sebenarnya juga meningkatkan pasukan dan keberadaan militer di Aceh itu sangat memperburuk keadaan.

Dan itu malah memberikan legitimasi kepada kelompok-kelompok yang berlawanan secara bersenjata dan risikonya adalah ini menjadi sebuah siklus yang meningkatkan kekerasan di Papua.

Saya khawatir kalau mungkin refleknya ke solusi militer, karena memang latar belakangnya di situ dan memang ada pengalaman tersendiri di Papua terkait jejak HAM dan sebagainya, itu mungkin bisa memprovokasi kelompok-kelompok yang ada di sana dan itu tidak akan berhasil jadi membaik.

Jadi kemungkinan akan menjadi lebih buruk jika menggunakan pendekatan militer versi Prabowo?

Ya saya tidak bisa membaca pikiran beliau, jadi saya tidak tahu. Dan saya mengharapkan dalam pemerintah yang ada berbagai pandangan bisa membentuk pendekatan yang tidak mengarahkan ke solusi militer.

Karena solusi militer menggunakan yang kohesif dan sebagainya itu yang sudah terbukti tidak berhasil untuk menyelesaikan masalah itu dan malah terkait dengan banyak kasus pelanggaran HAM dan sebagainya.

Tapi, kalau melihat kecenderungan dengan politisi yang latar belakang militer adalah untuk memframing dan memikirkan solusi dalam arti absolut, absolut dalam arti harus menumpas, harus menghabiskan dan sebagainya perlawanan yang ada di sana. Dan saya kira pendekatan itu tidak akan selesai dengan baik.

Ya saya kira banyak pihak mengharap tidak dengan cara militer tapi kalau melihat latar belakangnya Prabowo ada kemungkinan besar ya memang refleknya ke situ.

Di tulisan Anda yang Election Ends All Elections bapak menyinggung soal RUU DKJ. Undang-Undang ini kalau disahkan Gubernur DKI akan dipilih presiden. Apakah ini salah satu upaya kubu Prabowo untuk mempertahankan kekuasaan mengingat kandidat presiden biasanya dari Gubernur DKI?

Itu jawabannya panjang lebar sebenarnya. Karena ada dua konteks. Mungkin konteks pertama dan tulisan saya satu tujuannya coba untuk mengingatkan jejak politik Prabowo dan juga partainya yaitu Gerindra.

Dan manifesto Gerindra cukup jelas bahwa mereka cita-citanya mengembalikan Indonesia ke konstitusi asli 1945, itu berarti konstitusi sebelum amandemen pasca reformasi yang menjadi landasan untuk adanya Pemilu di Indonesia, adanya Pilkada, ada batasan terhadap masa berlakunya presiden dan juga merupakan bagian dari perlindungan HAM dan sebagainya,

Dengan retorika yang mau kembali ke naskah asli 1945 yang mungkin untuk banyak masyarakat Indonesia itu terikat dengan sentimen nasionalisme dan sebagainya itu tidak salah. Tapi secara hukum artinya kembali ke sistem pra reformasi itu.

Dan itu jejaknya sudah tahun 2014, Koalisi Merah Putih di bawah Gerindra di masa transisi antara kepresidenan Pak Susilo Bambang Yudhoyono dan Pak Jokowi pada masanya periodenya yang pertama itu memang mengubah legislasi terkait pemilu untuk menyelesaikan kembali ke sistem Orde Baru.

Artinya bahwa Gubernur dan sebagainya tidak dipilih lewat pemilihan umum tapi ditunjuk oleh DPRD atau DPR atau bahkan langsung oleh presiden. Dan itu wacana yang tidak pernah menghilang sampai sekarang ini.

November tahun lalu misalnya, di DPD dan MPR juga mengeluarkan statement bahwa mereka berpendapat bahwa perubahan konstitusi Indonesia sudah bertentangan dengan Pancasila dan mestinya kembali ke naskah asli 1945. Itu juga bahasa yang lain untuk kami tidak mau terus ada Pilkada. Dan itu wacana yang sebenarnya tidak hanya ke Prabowo, hampir semua partai.

PKB misalnya, sudah berpihak atau berpendapat lama bahwa mestinya Pilkada dipikirkan kembali dengan wacana bahwa Pilkada itu makan uang, kena money politic dan sebagainya itu, memecah belah demokrasi. Sebenarnya ada proses untuk memecah belah, sebenarnya ada dua wacana yang berbeda. Wacana yang lama kalau yang masih mengingatkan Orde Baru bahwa semua yang termasuk pilihan untuk masyarakat juga sering diframing sebagai memecah belah.

Jadi saya lihat wacana itu tetap ada dengan adanya ada kesempatan. Ini bukan konspirasi ya, sudah dipikirkan jauh. Tapi ada kesempatan dan peluang yang terbuka dengan adanya semua Pemilu pada 2024 karena itu berarti ada masa jabatan Pemilu Daerah yang sudah terpilih selesai, misalnya Gubernur DKI Anies Baswedan selesai 2022 misalnya, ada PJ Daerah.

Nah itu sudah menjadi kesempatan dan saya sudah menulis ini sebelumnya, kesempatan untuk mengetes, untuk eksplorasi bagaimana tanggapan masyarakat terhadap ada kepala daerah yang tidak dipilih lewat Pilkada tapi ditunjuk oleh Mendagri dan Presiden.

Dan adanya wacana keluar dari Mendagri dan sebagainya bahwa ini cukup asyik, ini pejabat yang dipilih berdasarkan keterampilan dan kemampuannya.

Maka di atas kepentingan politik dan sebagainya, sebagai wacana alternatif bahwa ini cara yang lebih baik daripada Pemilu, Pilkada yang rawan, yang begini begitu, yang tidak tentu menghasilkan pemimpin yang kompeten dan sebagainya.

Jadi ini sebenarnya menjadi wacana yang sudah lama. Hanya dengan adanya sekarang Prabowo menjadi presiden memang ini menjadi satu hal yang partainya Gerindra dan dia sendiri sudah lama membahas bahwa sebenarnya arah demokrasi Indonesia sudah tidak sesuai dengan Pancasila, sudah tidak sesuai dengan cita-cita proklamator dan sebagainya.

Dan ini menjadi satu wacana yang mengusik demokrasi Indonesia bahwa sebenarnya demokrasi Indonesia tidak mestinya lewat Pilkada, Pemilu dan multipartai tapi mesti kembali ke sistem musyawarah, misalnya bahwa sistem alternatif yang oleh nasionalis kanan biasanya disebut sistem yang asli Indonesia itu.

Masyarakat Asia Tenggara seperti mengalami tren kerinduan terhadap rezim militer. Bagaimana menurut Anda?
Paling tidak saya merasa ada generasi di Indonesia walaupun mereka ikut gimmick gemoy di kampanye dan agak mengecewakan tapi paling tidak mereka lahir di Indonesia sudah demokrasi. Mereka lahir sudah multipartai, sudah ada kebiasan pemilu yang cukup patut dibanggakan

Karena pemilu diadakan secara masif dan tidak ada kekerasan, konflik, seperti di negara lain apalagi Filipina. Walaupun kesadaran atas sejarahnya tidak begitu solid ya sampai orang seperti Prabowo yang figur 100 persen Orde Baru, tapi setidaknya anak muda memilih dia lewat suatu proses.

Saya kira politisi siapapun yang coba menghapus pemilu akan berhadapan dengan sentimen masyarakat yang cukup kuat. Saya merasa tetap ada pemilu di Indonesia sampai Pilkada bukan karena politis atas tapi karena popularitas (pemilu) di masyarakat.

Saya membandingkan dengan Australia dan Amerika Serikat. Kalau di Australia, ikut pemilihan umum adalah kewajiban secara hukum, wajib untuk memilih, kalau tidak ikut ada denda sebagai simbolis.

Di Amerika itu sukarela. Dan kami melihat presiden seperti Trump bisa terpilih. Kalau kami lihat jumlahnya, dengan bagian penduduknya mungkin cuma 60 persen yang ikut pemilu

Di Indonesia juga sukarela, orang tidak harus ikut pemilu. Tapi tiap pemilu sejak reformasi sampai sekarang ini, hampir 80 persen lebih ikut. Itu berarti paling sedikit masy indonesia cukup antusias untuk berpartisipasi dalam memilih pemimpin walaupun pemilihannya bisa dianggap begitu begitu saja ya, dari satu keluarga.

Tapi paling tidak prosesnya mereka ikut, dan itu sangat penting untuk legitimasi politik.
Saya kira itu menjadi tantangan ke depan kalau misalnya menghapuskan pilkada dsb, pemimpin tidak punya legitimasi seperti mereka punya sekarang itu.

Terkait hubungan Jokowi-Prabowo, sejumlah pakar asing menilai ada potensi perpecahan di antara mereka. Belakangan juga muncul isu seperti ingin mengambil alih Partai Golkar. Bagaimana Anda melihat itu?

Ya, saya kira kalau melihat latar belakangnya misalnya kenapa Pak Jokowi akhirnya mendukung Prabowo menjadi presiden bukan mendukung pilihan partainya, PDIP, Ganjar Pranowo, saya kira itu perhitungan Pak Jokowi bagaimana dia bisa melindungi kepentingan keluarga dia dan meneruskan dinasti dan pengaruh dia sendiri.

Jadi, dia bikin perhitungan bahwa itu [cara] terbaiknya, teramannya lewat mendukung Prabowo.

Dan Prabowo sendiri siap terima anak Jokowi, sebagai calon wakil presiden sebagai kesepakatan. Semua deal di politik itu bisa bertahan tapi bisa berubah dengan cukup cepat dan itu tergantung banyak hal.

Apakah Prabowo masih menganggap Jokowi itu berguna setelah dia menjadi presiden, apakah Prabowo merasakan masih membutuhkan Jokowi atau dia menganggap Jokowi masih menjadi ancaman jika hubungan mulai agak asam.

Dan kalau untuk wakil Presiden Gibran di indonesia apakah mereka berpengaruh? Tidak sama sekali. Itu semuanya tergantung ke presiden. Dan Gibran bisa menjadi berpengaruh ya itu dia bisa menjadi maaf aja Ma’ruf Amin yang menjadi wapres hampir tak nampak sama sekali selama 5 tahun

Dan kemungkinan Gibran bisa bernasib yang agak sama itu.

Terkait Jokowi kemungkinan lirik Golkar…

Kalau untuk itu dia [Jokowi] menjadi wadah yang tepat untuk dia. Karena politiknya tidak jauh dengan Jokowi di periode kedua yang ala Orde Baru.

Dan kalau misalkan dia jadi pemimpin di Golkar atau cukup punya pengaruh di Golkar, Jokowi masih akan menjadi kekuatan cukup besar di politik Indonesia itu.

Paling sedikit dia punya modal: masih populer, tapi secara institusi dia tidak pegang sama sekali, dia bukan oligarki, bukan orang yang di tingkat atas di indonesia.

Jadi situasinya bisa agak tidak seaman sekarang. Jadi dia cari perlindungan sekarang dari partai selagi dia masih laku, masih laris secara politik dengan popularitas [yang dimiliki].

[Selain itu] uji coba yang lain yaitu PSI dengan anaknya satu lagi, Kaesang, yang menjadi ketua partai itu tapi dengan hasil dari KPU mereka tidak lolos dari batas ambang empat persen. Jadi itu tidak bisa menjadi wadah untuk dia.

Jadi jelas dia sekarang melihat untuk partai yang lain. Paling tidak untuk masa transisi, dia masih presiden jadi dia orang paling powerful di Indo tapi enam bulan ke depan akan menjadi case besar karena sampai ke tidak presiden kekuatannya sangat mundur.

Apakah jika Jokowi jadi ketua atau punya pengaruh besar di Golkar ini akan menjadi ancaman Prabowo?

Bisa juga, paling sedikit itu tergantung seperti Prabowo presiden seperti apa. Apakah dia terus menjalin dengan koalisinya atau polaritas yang lepas dari dia itu kami belum tahu.

Termasuk sikap dia ke Jokowi. Apakah Jokowi dianggap ya sudah, sudah saya menumpang popularitasnya untuk akhirnya menjadi presiden setelah sudah coba dua kali dan gagal, apakah dia sekarang memikirkan bh jkw sudah menjadi satu sekutu, satu teman.

Kestabilan pemerintah akan sangat tergantung relasi pribadi seperti itu.

Apa saja hal hal yang mengancam kekuasaan prabowo dan Prabowo sendiri? Apakah itu peran aktif Gibran sebagai wapres?

Ya, seperti saya sampaikan wakil presiden di sistem pemerintahan indonesia tidak pernah menjadi ancaman terhadap presiden.
Karena semua powernya bergantung pada presiden.

Kalau misalnya, ini spekulatif ya, saya tidak bisa meramal masa depan, tapi paling tidak satu kemungkinan apakah Prabowo merasa Gibran menjadi ancaman untuk menggantikan dia sebelum masa jabatan atau sebelum dia siap untuk tidak menjadi presiden lagi, ya bisa aja dia diasingkan atau disingkirkan sedemikian.

Negara memelihara kekuatan sipil dalam bentuk ormas hingga premanisme untuk menakuti warga. Apakah tindakan itu akan sangat terasa kuat dan lebih terlihat nyata jika Prabowo menjadi presiden?

Ini juga hal yang sangat saya perhatikan dan kemungkinan juga ke depannya saya berharap bahwa dalam Indonesia yang modern, canggih, politik model seperti itu tak bisa diterima lagi.

Yang dikhawatirkan adalah sekarang dia [Prabowo] sudah menjadi presiden. Bahwa dia secara otomatis kalau misalnya merasa tertekan atau merasa ada gangguan dari masyarakat, mobilisasi masyarakat sipil, ya ada kemungkinan kelompok itu dimobilisasi. Itu yang dikhawatirkan.

Karena peran secara sejarah kelompok- kelompok itu sering menjadi bagian kekuasaan untuk mengintimidasi kelompok sipil, suara kritis atau kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan pemerintah itu sendiri.

Selama masa kepemimpinan Jokowi, dia lebih memprioritaskan masalah ekonomi dan kepentingan nasional dalam negeri. Dia mempercayakan urusan luar negeri ke Menteri Luar Negeri.

Jokowi bahkan tak pernah hadir langsung di pertemuan Sidang Majelis Umum PBB. Menurut Anda, bagaimana sikap dan posisi Prabowo di kancah global jika dia menjadi presiden?

Ini mungkin ada dua sisi. Satu sisi, dibanding Jokowi, Prabowo cukup nyaman di panggung internasional. Bahasa Inggris bagus, dia berpengalaman tinggal di Amerika Serikat, di Eropa,, dan sudah merasa nyaman di panggung internasional.

Saya merasakan dia juga menikmati dianggap negarawan. Itu sudah tampak selama dia (menjadi) Menhan. Tapi mungkin status quo kebijakan luar negeri Indo itu tidak akan begitu berubah saya rasa.

Indonesia punya non align policy, itu mereka tidak berpihak kepada satu kubu misal Amerika atau China dan mau menjalin hubungan baik dengan semuanya.

Saya merasakan itu tidak akan begitu berubah.

Cuma yang dipikirkan diplomat luar negeri adalah temperamen Prabowo, yang sudah terkenal di antara orang Indonesia, mudah tersinggung, reaktif, marah-marah.

Dan ada mungkin kekhawatiran bahwa itu akan muncul di dalam sikap terhadap kebijakan luar negeri. Tapi saya merasa, setidaknya itu akan nampak setelah kabinet baru disusun.

Kami melihat siapa yang dipilih sebagai menteri luar negeri. Apakah itu adalah orang yang kompeten sebagai diplomat itu mungkin negara lain termasuk negara tetangga akan merasa agak nyaman, itu ya.

Kalau itu dia memilih yang politik, misalnya bagian dari jatah kementerian, parpol ya mungkin akan agak was-was dikit. Soal usulan damai Prabowo terkait perang Rusia-Ukraina…

Mengingat Prabowo sebagai menteri pertahanan menyampaikan konsep perdamaian antara Rusia dan Ukraina itu mungkin salah satu eksperimen yang gagal untuk muncul sebagai negarawan.

Tapi itu nampak memang dia ada niat untuk dianggap sebagai peacemaker dan mungkin dia akan cukup aktif di panggung itu (internasional).

Apakah prabowo punya daya tawar untuk menjadi mediator? Dan apakah bisa diterima kedua pihak?

Untuk menjadi mediator kamu harus diterima semua pihak ya. Dan saya merasa setelah itu, pernyataan itu, tidak mungkin diterima oleh Ukraina karena dia menganggap bahwa usulan merupakan kemauan Rusia sendiri.

Jadi saya merasa mungkin [melalui] diplomat yang kompeten yang dipercaya semua pihak, tapi Prabowo tidak mungkin diterima setidaknya salah satu pihak.

Di Kepemimpinan Jokowi, pemerintah RI tampak lebih condong ke China terutama di bidang ekonomi. Namun, selama Prabowo menjadi Menhan, Indonesia punya kerja sama yang erat dengan AS terkait persenjataan. Apakah nanti di bawah pemerintah Prabowo Indonesia akan condong ke barat?

Saya kira kami akan melihat lanjutan status quonya Indonesia ini (politik bebas aktif) untuk mengimbangi relasi berbagai pihak.

Selama Prabowo menjadi Menhan dia sering membeli persenjataan dari Prancis, AS, yang merupakan negara NATO, apakah ini tidak bisa menjadi alasan bahwa Prabowo mungkin cenderung condong ke Barat daripada Rusia-China?

Saya kira tidak karena jelas Indonesia tidak mau dianggap sekutu eksklusif itu ya. Mereka malah mau bekerja dengan siapa saja, Amerika Serikat, China, atau siapapun tidak menjadi halangan.

Saya merasa tidak ada pola yang menunjukkan lebih ke arah sini atau sana. Kalau ada yang siap bekerja sama, deal yang saling menguntungkan ya (RI) siap saja.

Soal Laut China Selatan, sejumlah kapal ikan dan kapal patroli China sempat memasuki zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Sejumlah pihak menganggap pemerintah kurang tegas karena hanya mengirim nota diplomatik dan kapal patroli di Natuna. Menurut Anda bagaimana apakah nanti Prabowo akan lebih tegas ke China?

Ya itu akan menarik untuk diamati. Kalau kami melihat Filipina di bawah Presiden Ferdinand Bongbong Marcos Jr, dia ada sikap keras terhadap China. Itu memang sebenarnya bisa membuka peluang indonesia untuk menjadi suatu mediator dalam konflik itu.

Tapi sikap Indonesia saya merasa tetap tidak akan fokus ke konflik dengan China karena itu tidak menguntungkan siapa pun.

Tapi untuk mencari sebuah kompromi dan bisa play game that one, bisa secara publik agak bersikap keras terhadap bahasa nasionalisme ya. Kami tidak terima harga mati untuk orang yang melanggar kedaulatan bangsa dsb, tapi di belakang bisa terus bernegosiasi dan menjalin untuk memanage konflik itu.

Soal Myanmar, apakah Indonesia lebih berperan aktif di ASEAN dan bisa menyelesaikan kasus di bawah pimpinan Prabowo?

Kalau kami melihat yang sekarang ini bukan hanya Indonesia tapi negara ASEAN pada umumnya ya cukup lemah. Dan itu memang kebiasaan asean sejak dulu karena prinsip mereka tidak mau mencampuri apa yang disebut urusan dalam negeri.

Setidaknya kalau kami [suatu negara] cukup intervensi ke Myanmar itu cukup membuka peluang orang untuk bisa mengintervensi internal politik kami.

Dan itu menjadi [alasan] bahwa ASEAN tidak bisa begitu berpengaruh.

Kalau ada dinamika konflik mengarah ke pelemahan rezim militer Myanmar dan kecenderungan sekarang ke arah sana, mungkin ada peluang untuk ASEAN termasuk Indonesia untuk menjadi mediator untuk sebuah perdamaian.

Tapi paling tidak untuk sekarang ini, itu tidak begitu mungkin.

Kami juga melihat kesulitan berbagai konsekuensi dari itu misalnya ada orang mencari suaka ke negara ASEAN termasuk Indonesia tidak begitu ramah terhadap masyarakat itu seperti Rohingya

Dan bahasanya Prabowo terhadap kasus Rohingya itu tidak begitu empati terhadap mereka. Saya kira banyak orang memperhatikan sikap dia itu dan iu mungkin bisa ditafsirkan kecenderungan dia mendukung status quo. Dalam arti mendukung rezim yang tetap berkuasa di Myanmar. Saya tidak tahu secara persis tapi bisa dibaca demikian.

Sudah tiga tahun tapi tidak ada perubahan signifikan. Apa pendapat Anda?

Saya dari dulu menganggap forum ASEAN tidak berguna untuk menyelesaikan karena tidak ada yang mau mencampuri urusan, tidak ada yang mau bersikap tegas untuk mempengaruhi hal seperti itu.
(Zs/cnn)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini