KNews.id – Hasil jajak pendapat yang dirilis Litbang Kompas pada 17-20 Maret 2025 mengungkapkan sebuah tren yang mencolok terkait dengan kekhawatiran masyarakat terhadap pengaruh militer dalam struktur pemerintahan sipil.
Survei tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden, yakni 68,6 persen, merasa khawatir tentang adanya tumpang tindih kewenangan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan lembaga sipil.
Angka ini mencerminkan ketegangan yang berkembang terkait isu revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang telah disahkan, yang memungkinkan peran lebih besar militer dalam sektor-sektor sipil.
Dengan berbagai alasan, masyarakat, terutama kalangan berpendidikan tinggi, menunjukkan kecemasan yang mendalam mengenai pengaruh dan potensi dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan ini.
Paparan Informasi dan Trauma Sejarah
Vincentius Gitiyarko, peneliti Litbang Kompas, menjelaskan bahwa kekhawatiran ini sangat tinggi di kalangan responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, mencapai 81,5 persen. Ini bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang isu-isu sosial dan politik yang lebih mendalam, termasuk revisi UU TNI yang kini tengah menjadi bahan perdebatan publik.
Dengan pemahaman yang lebih tajam, mereka lebih cenderung memperhatikan implikasi dari kebijakan ini terhadap demokrasi dan hak-hak sipil.
Selain itu, kekhawatiran ini juga sangat terkait dengan sejarah Indonesia, terutama masa Orde Baru. Di era tersebut, militer memiliki peran yang sangat dominan dalam pemerintahan, dan pengaruhnya bisa dilihat dalam hampir setiap aspek kehidupan masyarakat, dari kebijakan luar negeri hingga ekonomi dan budaya.
Dalam konteks ini, trauma sejarah terhadap pendekatan militer yang terlalu dominan sangat relevan, mengingat pengaruh besar yang dimiliki militer dalam kehidupan sipil selama periode tersebut.
Keputusan pemerintah pada masa itu, yang seringkali didorong oleh pertimbangan hierarki dan komando militer, memberikan kesan bahwa keputusan politik dan kebijakan sipil tidak selalu berdasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan profesionalisme.
Sebaliknya, kebijakan sering kali dipengaruhi oleh pendekatan yang lebih militeristik, yang bisa mengarah pada bias dan ketidakadilan dalam pengambilan keputusan.
Peran TNI dalam Struktur Sipil: Kewenangan yang Tumpang Tindih?
Salah satu kekhawatiran yang mendalam adalah potensi tumpang tindih kewenangan antara TNI dan lembaga sipil, terutama jika anggota militer menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan sipil.
Hal ini bisa menyebabkan kebijakan yang seharusnya diambil secara demokratis dan profesional justru dipengaruhi oleh pendekatan militeristik yang lebih cenderung pada otoritarianisme.
Misalnya, ketika seorang perwira tinggi militer ditempatkan dalam posisi strategis dalam pemerintahan sipil, ada potensi besar untuk terjadinya bias dalam proses pembuatan kebijakan.
Bukannya merumuskan kebijakan dengan pertimbangan demokratis, keadilan, dan profesionalisme, kebijakan tersebut bisa saja dipengaruhi oleh cara pandang militer yang lebih menekankan pada struktur komando dan kepatuhan.
Hal ini berisiko menciptakan sistem yang kurang transparan dan akuntabel. Di tengah kekhawatiran ini, sebagian masyarakat yang lebih kritis terhadap dominasi militer dalam politik dan pemerintahan mengingatkan pentingnya pemisahan yang jelas antara tugas militer dan lembaga sipil.
Tentu saja, ada argumen yang menyatakan bahwa militer dapat berkontribusi dalam menjaga ketahanan nasional, tetapi harus diingat bahwa militer bukanlah institusi yang seharusnya menjalankan kebijakan publik di sektor sipil.
Ketegangan antara Keamanan dan Demokrasi
Di balik kekhawatiran tentang tumpang tindih kewenangan, terdapat pertanyaan yang lebih mendalam mengenai keseimbangan antara keamanan negara dan prinsip-prinsip demokrasi.
Apakah ada ruang bagi TNI untuk memainkan peran dalam pengelolaan lembaga-lembaga sipil tanpa merusak fondasi demokrasi yang telah dibangun selama reformasi?
Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, telah menempuh perjalanan panjang sejak era Orde Baru, dengan upaya untuk membangun sebuah sistem pemerintahan yang lebih inklusif dan transparan.
Setelah reformasi 1998, Indonesia berusaha untuk mengurangi pengaruh militer dalam pemerintahan dan memastikan bahwa kebijakan publik dijalankan oleh lembaga sipil yang demokratis.
Namun, revisi UU TNI yang memperluas peran TNI dalam aspek-aspek tertentu pemerintahan sipil telah memicu perdebatan sengit tentang apakah kebijakan ini akan membalikkan kemajuan yang telah dicapai.
Beberapa pihak berpendapat bahwa revisi ini penting untuk memperkuat pertahanan negara, terutama dalam menghadapi ancaman eksternal dan ancaman baru seperti terorisme dan ancaman siber.
Tetapi di sisi lain, banyak yang berpendapat bahwa langkah ini bisa merusak prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan sipil, dan hak asasi manusia.
Survei Litbang Kompas: Mencermati Kewaspadaan Masyarakat
Menurut hasil jajak pendapat Litbang Kompas, meskipun ada sebagian kalangan yang mendukung peran aktif TNI dalam menjaga stabilitas negara, kekhawatiran terhadap tumpang tindih kewenangan tetap mendominasi.
Survei tersebut melibatkan 535 responden dari 38 provinsi, dengan margin of error sebesar 4,25 persen. Dengan tingkat kepercayaan yang mencapai 95 persen, jajak pendapat ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang signifikan antara kelompok masyarakat berpendidikan tinggi dan mereka yang memiliki latar belakang pendidikan lebih rendah.
Meskipun responden dengan tingkat pendidikan dasar menunjukkan kekhawatiran terhadap tumpang tindih kewenangan, yakni sebesar 64,5 persen, ketegangan ini lebih dominan di kalangan mereka yang memiliki pemahaman lebih dalam tentang sejarah dan politik Indonesia.
Mereka, yang cenderung lebih terpapar dengan berbagai sumber informasi, tampaknya lebih mampu menangkap potensi dampak jangka panjang dari kebijakan yang tidak diimbangi dengan pengawasan ketat.
Menghadapi Tantangan ke Depan: Keseimbangan dan Pengawasan
Di tengah kecemasan yang meluas, penting bagi pemerintah dan TNI untuk memperhatikan keseimbangan antara kepentingan keamanan nasional dan perlindungan terhadap demokrasi serta kebebasan sipil.
Agar tumpang tindih kewenangan ini tidak menjadi masalah serius, pengawasan yang transparan dan akuntabel perlu diperkuat.
Selanjutnya, masyarakat harus tetap diberi ruang untuk mengemukakan pandangannya melalui proses demokrasi, seperti diskusi publik, partisipasi dalam pemilu, dan melalui saluran-saluran yang sah.
Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan dapat mencerminkan keinginan dan kebutuhan rakyat, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar negara hukum dan demokrasi.
Dengan demikian, meskipun ada kebutuhan untuk memperkuat pertahanan dan menjaga stabilitas negara, penting untuk menjaga agar militer tidak mengambil alih peran yang seharusnya menjadi kewenangan lembaga sipil.
Jika tumpang tindih kewenangan ini dibiarkan berkembang tanpa kontrol yang tepat, maka akan muncul potensi besar bagi negara untuk mengalami regresi ke arah sistem yang lebih otoriter, yang bisa merugikan kebebasan dan hak-hak rakyat Indonesia.
Selain itu, penting juga untuk mencatat bahwa keterlibatan TNI dalam lembaga sipil tidak hanya membawa dampak pada kebijakan pemerintahan, tetapi juga dapat memengaruhi hubungan antara masyarakat dan negara.
Dalam konteks ini, transparansi dalam setiap langkah kebijakan yang melibatkan militer sangat diperlukan untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya untuk kepentingan keamanan semata, tetapi juga untuk kesejahteraan dan hak-hak sipil warga negara.
Masyarakat harus memiliki jaminan bahwa keputusan yang dibuat oleh aparat negara tidak akan mengekang kebebasan mereka, dan bahwa TNI, meskipun memiliki peran penting dalam menjaga kedaulatan dan pertahanan, tetap menghormati prinsip-prinsip dasar demokrasi yang telah lama dibangun di Indonesia. (Sumber: Liputan Khusus).