spot_img
Sabtu, April 20, 2024
spot_img

Sehebat Apa Mandiri?

KNews.id- The all Mandiri Bankers. Semua direktur utama (dirut) bank BUMN dari Bank Mandiri. Bahkan, direksi urusan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pun dari Bank Mandiri. Bankir Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang jago UMKM pun tidak laku. Lihat saja, direktur UMKM Bank Negara Indonesia (BNI) dari Bank Mandiri, bukan dari BRI. Tidak ada yang salah menempatkan bankir-bankir dari Bank Mandiri. Apa karena memang benar-benar bankirnya jago-jago, atau kebetulan karena memang dua Wakil Menteri (Wamen) BUMN dari Bank Mandiri.

Bank Mandiri dilahirkan ketika krisis 1998 dan menerima peleburan empat bank milik negara yang rusak akibat badai krisis. Empat bank itu adalah Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD), Bank Ekspor Impor (Bank Exim), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo).

- Advertisement -

Bank-bank itu dulunya adalah spesialis dalam pemberian kredit. Bank Exim lebih fokus pada pembiayaan ekspor dan impor, BBD lebih cocok pada hasil bumi dan perkebunan, BDN lebih pada kredit-kredit industri besar, sementara Bapindo pada pembiayaan investasi.

Konglomerat di Indonesia tidak ada yang tidak dibesarkan oleh bank-bank milik pemerintah itu. Pengusaha besar berkongsi dengan anak-anak Soeharto dengan mudah mendapatkan kredit dari bank-bank itu. Apalagi, pada zaman itu Indonesia sedang membangun dan lebih banyak dibantu oleh pemerintah. Juga, zaman Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dari Bank Indonesia (BI).

- Advertisement -

Pada zaman dulu terkenal yang namanya dengkul equity rasio – plesetan dari debt equity ratio  (rasio antara utang dan modal) – yang tidak menjadi soal. Orang hanya modal dengkul pun bisa mendapatkan kredit, misalnya mendapatkan konsesi kebun. Dengan sepucuk surat pun dapat kredit dari bank-bank BUMN ini. Bukan hanya itu, proyek-proyek mark-up pun sering kali muncul.

Mau bukti? Waktu krisis 1998 semua terkuak. Seluruh bank BUMN rusak. Entah kenapa hanya empat bank yang dimerger, semen­tara BRI, BNI, dan BTN dibiarkan hidup sendiri. Seluruh bank BUMN hancur dan di-bailoutpemerintah dengan obligasi rekapitalisasi.

- Advertisement -

Jumlah obligasi dalam rangka penyehatan bank-bank BUMN nilainya mencapai Rp178 triliun (Bank Mandiri), Rp66 triliun (BNI), Rp39 triliun (BRI), dan Rp13,7 triliun (BTN). Bank-bank BUMN benar-benar bersih pada waktu krisis dengan penyelamatan yang dibebankan ke anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tidak ada jalan lain yang dipilih waktu itu.

Anehnya, dari program “cuci kredit macet” tersebut tidak ada satu pun konglomerat yang terseret dan tidak ada satu pun direksi bank yang diciduk aparat. Padahal, kalau melihat sampah-sampah kredit kiriman dari bank-bank yang ada di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tidak semua berdaging. Banyak bangkai kredit macet dan banyak mark-up. Bahkan, ada yang tidak bisa dijual.

Namun, sudahlah. Jika tidak ada program rekapitalisasi ini tentu Indonesia tidak punya Bank Mandiri dan bank-bank BUMN yang lainnya. Pengumuman merger Bank Mandiri ke masyarakat dilakukan pada Februari 1998. Waktu itu presiden­nya Soeharto. Namun, pelaksanaan merger baru pada Oktober 1998  dengan B.J. Habibie sebagai presiden.

Mau tahu buku awal Bank Mandiri? Bank Mandiri awalnya rugi Rp124,143 triliun dengan modal negatif Rp101,443 triliun. Jadi, waktu itu Robby Djohan, yang menjadi dirut, membereskan kredit-kredit busuk untuk dikirim ke BPPN.

Ada dua pendapat waktu itu. Pendapat satu, Robby Djohan tidak mau masih ada sampah di Bank Mandiri. Pendapat dua, sepertinya Robby Djohan “menyelamatkan” debitur kakap kroni Soeharto tidak lagi punya kredit macet di Bank Mandiri. Setelah lima tahun kita tahu, dua pendapat itu benar adanya.

Obligasi rekap yang besar ternyata tidak hanya menyangkut pembersihan kredit macet, tapi biaya PHK karyawan juga masuk. Bahkan, biaya konsultan juga masuk.

”Jangankan biaya konsultan, biaya beli rokok konsultan pun dihitung. Bank Mandiri waktu itu benar-benar kelebihan obligasi rekap,” kata seorang analis, waktu itu.

Benar. Pada 1999 asetnya naik menjadi Rp224,646 triliun dengan rugi mengecil Rp67,75 triliun. Jujur, sebesar 80% pendapatan bunga Bank Mandiri dari obligasi rekap. Tahun 2000 pendapatan obligasi rekap masih 75% dari pendapatan bunga. Hasilnya, untuk pertama kali Bank Mandiri memetik untung sebesar Rp1,18 triliun.

Apa Hebatnya Mandiri

Bank Mandiri adalah bank hasil merger empat bank terbesar di Indonesia. Sementara itu, BRI yang merupakan bank terkecil dari bawah di antara bank-bank umum ternyata dapat mematahkan anggapan bahwa merger selalu lebih besar. Pada awalnya memang Bank Mandiri asetnya lebih dari tujuh kali aset BRI, tapi dalam kurun waktu 17 tahun aset BRI justru terdepan.

Pada 1999 total aset Bank Mandiri Rp224,646 triliun, sedangkan BRI Rp31,014 triliun. Lima tahun bertapa sejak rekapitali­sasi kedua bank sama-sama tumbuh, hingga akhirnya Bank Mandiri terperosok dalam lubang kredit bermasalah, dan sejalan dengan itu terjadi pergantian pemerintahan dari Megawati Soekarno Putri ke Susilo Bambang Yudhoyono.

Adu balap dua bank itulah yang menjadi perhatian publik. Meski Bank Mandiri disubsidi APBN dengan obligasi rekap sebesar Rp178 triliun, toh laba BRI selalu di atas Bank Mandiri – terutama sejak 2005. Sejak 1999, laba Bank Mandiri selalu lebih besar daripada laba BRI. Namun, sejak krisis terjadi di Bank Mandiri – terjadi pergantian dirut dari E.C.W. Neloe ke Agus D.W. Martowardojo – laba BRI selalu terdepan.

Apalagi pada 2005, dari laba Rp5,256 triliun kempis menjadi Rp604 miliar. Bank Mandiri di bawah Agus Marto (sapaan Agus D.W. Martowardojo) melakukan bersih-bersih kredit bermasalah. Kolektibilitas yang batuk-batuk, baik yang sedikit batuk maupun flu, langsung dimasukkan ke rumah sakit. Pembentukan cadangan diperbe­sar sehingga laba menyusut. Harapannya, ke depan akan lebih ringan.

Rumus ini biasa dilakukan setiap terjadi pergantian direksi. Ada yang menyebut ini normal untuk membe­ri batas kinerja. Jadi, perlu diputus lebih dulu. Namun, terka­dang kritik para analis sering kali bahwa penurunan kolektibilitas merupakan tabungan yang akan dipetik di masa-masa yang akan datang.

Boleh jadi, ilmu ini akan diterap­kan di bank-bank BUMN – di mana bankir Bank Mandiri menjadi pucuk pimpinan. Di Bank Tabungan Negara (BTN) sudah dilakukan oleh Tim Pahala N. Mansury, yang “mengoreksi” kualitas kredit BTN dengan harapan akan dipetik di masa depan. Hampir pasti laba BTN mulai mendaki pada 2021 dan 2022.

Para analis memperkirakan, laba BNI juga akan dikoreksi. Tim Royke Tumilaar bisa jadi akan meniru model seniornya. Jadi, hampir pasti posisi akhir September 2020 dan akhir Desember 2020 laba BNI akan merosot. ”Berani bertaruh, laba BNI akan merosot karena pembentukan cadangan yang besar akibat penurunan kredit yang batuk-batuk,” kata seorang bankir. Alasannya, hampir semua bankir Mandiri di tempat baru begitu.

Pertanyaannya, apakah Tim Darmawan Junaidi di Bank Mandiri akan melakukan hal yang sama? Bisa jadi tidak, karena tim direksi sekarang ini adalah tim corporate banking dan tidak ada tim consumer banking. Jadi, sebenarnya ini kaderisasi yang mulus dari tim sebelumnya. Dan, tipis kemungkinan akan dilakukan penurunan kualitas atau menaikkan cadangan, karena ini sejatinya pekerjaan para anggota dewan direksi yang baru. Padahal, dulu pernah dilakukan oleh Kartika Wirjoatmodjo ketika menjadi Dirut Bank Mandiri menggantikan Budi G. Sadikin.

Hal lain yang perlu dicermati, margin corporate banking makin tipis. Sektor consumer banking sudah bisa diandalkan, karena mampu menyumbang cost of funds yang rendah.

Taktik menaikkan dan menurunkan laba model begini sudah lumrah dan sering dilakukan bankir-bankir dari Citibank. Dan, di Indonesia gurunya adalah Robby Djohan. Ketika meminta obligasi rekapitalisasi ya dengan cara menurunkan kolektibilitas dan memasukkan seluruh biaya ke dalam obligasi rekap.

Kembali ke soal laba. Selama empat tahun laba Bank Mandiri tidak bisa mencapai seperti laba 2004. Dream teamAgus Marto membutuhkan waktu lima tahun untuk menyamakan laba ketika sebelum krisis 2005. Dan, sejak 2005 laba BRI selalu terdepan sampai 2019, hingga kemarin (Juni 2020) disalip Bank Mandiri. Selisihnya belum signifikan dan menggunakan laporan Juni 2020. 

Selama 15 tahun laba BRI selalu paling besar. Selama 21 tahun (1999-2019), atau sejak krisis perbankan 1998, jika ditotal laba Bank Mandiri Rp199,398 triliun. Laba sebesar itu dengan obligasi rekap Rp178 triliun. Sementara, BRI dengan obligasi rekap sebesar Rp39 triliun selama 21 tahun mampu mencetak laba Rp271,936 triliun.

Itu dari sisi lama, dari sisi  market cap di pasar modal bisa geleng-geleng kepala. Simak! market cap BMRI hanya 266 triliun, sementara market cap BBRI Rp410 triliun. Nilai perusahaan BRI lebih tinggi, dan tentu kinerja kinerja itu tidak bisa lepas dari bankir-bankirnya.

Bayangkan. Pada awal krisis aset Bank Mandiri lebih dari tujuh kali aset BRI. Namun, sejak 2017 aset BRI sudah melampaui aset Bank Mandiri. Itu dari segi aset, apalagi dari segi laba.

Sejak itu pula, Bank Mandiri membuat strategi lain, yaitu membuat anak-anak perusahaan keuangan – yang faktanya kontribusi labanya juga besar. Juga, memberi kesan kepada masyarakat bahwa Bank Mandiri merupakan gudangnya bankir-bankir hebat.

Bank Mandiri merekrut mantan konsultan, seperti Kartika Wirjoatmodjo dan Pahala N. Mansury dari Boston Consulting Group (BCG), juga Haryanto T. Budiman. Bankir dari Citibank pun didatangkan untuk memperkuat tim, seperti Rico Usthavia Frans dan A. Siddik Badruddin.

Hal yang berbeda tidak dilaku­kan oleh BNI yang justru bersikap “mari Bung rebut kembali” ketika Tim Achmad Baiquni menjadi dirut. Sementara, BRI yang selama ini lebih banyak dari dalam, justru sekarang susunan direksinya sebelas tiga belas, dari luar dan dari dalam BRI.

Bank Mandiri memberi kesan kuat kepada masyarakat bahwa sumber daya manusia (SDM)-nya terbaik, meski kinerja keuangannya masih belum mampu mengalahkan BRI yang asetnya sepertujuh dari aset Bank Mandiri. Namun, kinerja yang kuat bukanlah jaminan bankirnya bisa ke mana-mana.

Awalnya Bank Mandiri asetnya terbesar, sekarang tidak lagi. Laba terbesar? Sejak 15 tahun dipatahkan oleh BRI. Namun, untuk memberi kesan bahwa bankir-bankirnya andal maka disebarlah ke bank-bank BUMN lainnya. Apalagi, suka tidak suka, dua Wamen BUMN dari Bank Mandiri. Titik. Jadi, sabar dulu ya bankir BRI atau BNI, apalagi BTN.

Sekarang mimpi saja dulu. Meski bankir-bankir BRI bekerja keras dengan perolehan laba yang masih besar, bankir-bankir BRI masih dianggap belum mampu berada di posisi puncak bank-bank BUMN. Bahkan, jadi direktur UMKM saja dianggap tidak mampu. Contohnya di BNI yang membuang orang BRI lalu diganti dengan bankir dari Bank Mandiri. 

Dan, tetaplah dag-dig-dug jadi direksi (terutama yang bukan dari Bank Mandiri), karena umur direksi belum tentu sampai setahun, bisa lebih cepat seperti yang terjadi di BNI. Jika Anda bukan dari Bank Mandiri, simpan dulu mimpi menja­di orang nomor satu di bank BUMN, atau menjadi direksi di bank lain.

Meski kinerja keuangan – yang menjadi muara dari sebuah bisnis – Bank Mandiri masih kalah dari BRI, toh nyatanya bankir-bankir Bank Mandiri ada di seluruh jabatan puncak bank BUMN.

Apa hebatnya bankir Mandiri? Bisa jadi memang benar-benar hebat, tapi yang paling hebat dua Wakil Menteri BUMN merupakan kader terbaik Mandiri. (FHD)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini