spot_img
Kamis, April 25, 2024
spot_img

RRC di Ujung Tanduk Krisis, Indonesia Kecipratan Untung!

KNews.id- Indonesia layaknya ketiban ‘durian runtuh’ atas krisis energi yang dialami China dan banyak negara di dunia. Keuntungan tak cuma diperoleh kalangan dunia usaha namun juga pemerintah.

“Sebenarnya ada semacam “blessing in disguisse” dari krisis energi ini karena Indonesia mengambil keuntungan dari peningkatan harga komoditas dan peningkatan permintaan harga komoditas utama,” ungkap Ekonom Center of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendy Manilet, kepada CNBC Indonesia, Jumat (15/10).

- Advertisement -

Dalam catatan Yusuf, sektor pertambangan bahkan sudah tumbuh 61% sepanjang Januari – Agustus 2021 dengan lonjakan terbesar dari komoditas batubara. Lebih tinggi dibandingkan dengan industri maupun pertanian.

“Kondisi ini juga yang ikut mendorong pertumbuhan ekspor di sepanjang 2021 ini,” jelasnya.

- Advertisement -

Dampak lainnya adalah penerimaan negara, khususnya pada kelompok bea keluar dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA).

“Beberapa pos penerimaan negara seperti bea keluar dan juga PNBP Minerba mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan, bea keluar tumbuh 891% pada Agustus, sementara pertumbuhan pertambangan minerba melonjak 87%,” terang Yusuf.

- Advertisement -

Meski demikian, Yusuf mengingatkan bahwa keuntungan ini bisa berbalik jadi ancaman di waktu tertentu. Pemerintah diharapkan lebih antisipatif terhadap berbagai kemungkinan buruk yang muncul ke depannya.

“Di balik keuntungan tersembunyi, ada risiko tersembunyi jika perekonomian China melambat akibat krisis energi,” ujarnya

“Kita tahu bahwa China merupakan pemain utama perekonomian global, perlambatan perekonomian China secara tidak langsung akan ikut memperlambat pertumbuhan ekonomi global termasuk pertumbuhan ekonomi emerging market termasuk Indonesia,” tegas Yusuf.

Krisis energi dunia membuat harga berbagai komoditas melambung. Diawali dari gas alam, lonjakan harga kemudian diikuti oleh batu bara, minyak bumi, hingga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).

Ya, harga gas alam memang semakin mahal. Pada Selasa (12/10/2021) pukul 08:12 WIB, harga gas alam di Henry Hub (Oklahoma, Amerika Serikat) naik 0,73% ke US$ 5,38/MMBtu. Sejak akhir 2020 (/year-to-date/), harga komoditas ini melambung 112,05%.

Salah satu dampak kenaikan harga gas alam adalah mahalnya biaya pembangkitan listrik. Di Eropa, Refinitiv mencatat harga pembangkitan dengan gas alam adalah EUR 89,4/MWh pada 5 Oktober 2021.

Sementara dengan batu bara jauh lebih murah yaitu EUR 58,06/MWh. Jadi tidak heran batu bara kini menjadi pilihan pengganti gas alam.

Selain batu bara, minyak bumi juga menjadi alternatif pengganti gas alam sebagai sumber energi primer pembangkit listrik. Ini membuat harga minyak bumi melesat.

Pada September 2021, rata-rata ICP ada di US$ 72,7/barel, tertinggi sejak Oktober 2018. Sepanjang Januari-September, rata-rata ICP adalah US$ 65,21/barel, melonjak 63,51% dibandingkan rerata sembilan bulan pertama 2020.

Asumsi ICP dalam APBN 2021 adalah US$ 45/barel. Jadi realisasi Januari-September sudah ada kenaikan US$ 20,21 dari asumsi tersebut. Secara ceteris paribus, setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 akan membuat APBN ‘untung’ Rp 0,9 triliun. So, kalau harga naik US$ 20,21 dari asumsi, maka APBN 2021 mendapat ‘berkah’ Rp 18,19 triliun. (Ade/cnbc)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini