spot_img
Rabu, November 12, 2025
spot_img
spot_img

Pukulan Ganda Gas Melon

KNews.id – Jakarta,  Subsidi yang diberikan untuk liquified petroleum gas (LPG) dan impor gas alam merupakan pukulan ganda bagi pemerintah. Di antaranya adalah nilai subsidi yang terus melonjak, sementara penyalurannya sebagian besar salah sasaran.

Bahkan belum lama ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sempat menyentil soal subsidi terhadap LPG tabung 3 kg atau biasa dikenal dengan sebutan gas melon yang katanya mencapai Rp30 ribu per tabung. Nilai subsidi itu menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp80,2 triliun pada tahun 2024.

- Advertisement -

Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center Christiantoko mengungkapkan, persoalannya dari subsidi yang disalurkan itu, sebesar Rp52,7 triliun atau 64,7% di antaranya salah sasaran. “Dana itu sebagian besar dinikmati oleh yang tidak berhak,” katanya di Jakarta, 13 Oktober 2025.

Menurut hasil kajian NEXT Indonesia Center yang menggunakan data survei sosial ekonomi nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik (BPS), masyarakat dalam kelompok pengeluaran di desil 5-10 ikut menikmati LPG bersubsidi. Mereka adalah masyarakat dengan pengeluaran minimal hampir Rp1 juta ke atas per orang setiap bulan.

- Advertisement -

Padahal, seharusnya komoditas tersebut hanya diberikan kepada kelompok masyarakat di desil 1-4, yaitu yang pengeluaran per orangnya sekitar Rp602 ribu-962 ribu per bulan. “Salah sasaran ini membuat penyaluran subsidi menjadi tidak efisien. Ini pukulan pertama dari gas melon,” tegasnya.

Pukulan kedua, lanjut Christiantoko, lonjakan harga gas alam di pasar internasional. Akibatnya, neraca perdagangan energi ikut tertekan, dan anggaran subsidi yang disiapkan bakal terus naik seiring dengan perubahan harga gas.

“Tingginya impor gas alam itu juga berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi, karena pada akhirnya net export (selisih ekspor terhadap impor) menjadi rendah, kemudian kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menciut,” urai Christiantoko.

Dia mengungkapkan, keharusan impor gas alam, terutama dalam bentuk LPG untuk gas melon itu, karena lemahnya kemampuan produksi nasional yang jauh dari memadai untuk memenuhi kebutuhan domestik. Sejak tahun 2020, Indonesia impor LPG selalu di atas 6 juta ton. Pada 2024 misalnya, yang diimpor sudah mencapai 6,91 juta ton.

Tragisnya lagi, produksi terhadap produk LPG juga terus turun. Dari riset NEXT Indonesia Center, produksi LPG terus turun secara konsisten sejak tahun 2015, yang ketika itu mencapai 2,28 juta ton. Sementara pada tahun 2024, produksinya tersisa 1,96 juta ton.

“Kemampuan produksi yang terus melemah ini harus menjadi perhatian pemerintah, karena memberatkan anggaran dan membuat kita makin jauh dari harapan untuk mandiri di bidang energi,” tegas Christiantoko.

- Advertisement -

Kondisi tersebut, dia menekankan, sungguh ironi. Pasalnya, kemampuan produksi gas alam Indonesia selalu surplus. Pada tahun 2024 misalnya, produksi gas alam mencapai 2,8 juta MMSCF (million standard cubic feet). Sementara kebutuhan domestik hanya 2,5 juta MMSCF. Begitu pun dengan produksi gas alam cair atau (liquefied natural gas, LNG) yang surplus.

Hal ini menunjukkan bahwa hasil produksinya lebih senang diekspor dalam bentuk mentah, sementara kebutuhan terhadap produk jadi seperti untuk gas melon dibeli dari impor. Sebagian besar, gas alam didatangkan dari Amerika Serikat, kemudian Uni Emirat Arab, dan Qatar.

Potensi Dana Siluman

Selain memberikan tekanan terhadap anggaran dan pertumbuhan ekonomi nasional, aktivitas perdagangan gas alam juga diwarnai oleh terjadinya kecurangan faktur perdagangan atau misinvoicing. Modus ini ditemukan dari perbedaan pencatatan faktur dalam ekspor gas alam ke sejumlah mitra dagang Indonesia.

Sebagai contoh ke Singapura. Riset NEXT Indonesia Center menemukan bahwa nilai ekspor gas alam ke negara tersebut dicatat lebih besar dari catatan impor Singapura. Dalam 10 tahun terakhir, yaitu periode 2015-2024, nilai misivoicing mencapai US$1,2 miliar.

“Perbedaan pencatatan itu bisa saja dimanfaatkan untuk memasukkan dana ilegal ke Indonesia dengan dalil tagihan dari faktur yang lebih besar tersebut,” tutur Christiantoko.

Hal serupa terjadi dengan impor. Sebagai contoh dengan Amerika Serikat. Indonesia mencatat nilai impor lebih tinggi, sementara Amerika Serikat mencatat lebih rendah.

“Karena Indonesia membayar lebih mahal dari seharusnya, maka ada potensi kaburnya dana gelap dari sini dengan membonceng faktur dengan nilai yang lebih besar itu,” ungkapnya.

Christiantoko mengingatkan, transaksi misinvoicing ini jelas merugikan negara dari sisi penerimaan. Karena itu, pemerintah harus telaten menyelidiki kasus tersebut agar dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa harus bergantung pada kenaikan pajak terus-menerus.

Narahubung:
Research Coordinator Next Indonesia Center,
Phone: +62 823-1016-5120

(FHD/NRS)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini