spot_img
Jumat, April 26, 2024
spot_img

Rupanya, Pemilik Jaringan SPBU Vivo Konglomerasi Kelas Kakap!

KNews.id-PT Vivo Energy Indonesia tidak lagi menjadi distributor Bahan Bakar Minyak (BBM) termurah di Indonesia. Hal tersebut setelah pengelola SPBU Vivo resmi menaikkan BBM jenis Revvo 89 menjadi Rp 10.900 per liter per 5 September 2022 sore.

Sebelumnya, harga BBM Vivo jenis Revvo 89 itu menjadi yang termurah yakni Rp 8.900 dan jadi incaran masyarakat ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM Pertalite menjadi Rp 10.000 per liternya.

- Advertisement -

Sebagai informasi, sejak Ahad (4/9 hingga Senin (5/9) BBM Revvo 89 hilang di sejumlah SPBU, karena pihak Vivo tak memasang daftar harga Revvo 89 di ‘plang’ harga. Sejumlah petugas mengatakan bahwa stok Revvo 89 kosong. Namun, pada sore harinya, plang harga kembali dibuka dengan kenaikan harga menjadi Rp 10.500 per liter.

Rumor di masyarakat berkembang hal tersebut akibat dari tekanan dari pemerintah karena harga BBM milik Vivo yang dijual lebih murah. Namun, secara tegas pemerintah membantah hal tersebut.

- Advertisement -

Usut punya usut harga rendah yang ditawarkan SPBU Vivo adalah untuk menghabiskan stok yang tersedia. Dilansir Detik, Manajemen VIVO dalam keterangan tertulis awal Juli mengatakan, pemerintah telah memutuskan untuk menghapus penjualan BBM beroktan rendah pada 31 Desember 2022. BBM Revvo 89 termasuk di dalamnya.

Jaringan SPBU Vivo berada di bawah bendera PT Vivo Energy Indonesia, perusahaan sektor hilir minyak dan gas bumi. Perusahaan ini resmi beroperasi di Indonesia sejak tahun 2017 lalu.

- Advertisement -

Awalnya perusahaan ini bernama PT Nusantara Energi Plant Indonesia (NEPI), namun kemudian berganti menjadi PT Vivo Energy Indonesia.

Selain di Indonesia, induk perusahaan yakni Vitol Group telah lebih dulu mengembangkan jaringan SPBU di Belanda, Singapura, Inggris, Australia, dan beberapa negara di Afrika.

Siapa Vitol Grup Sang Pemilik SPBU Vivo?

Vitol Holding BV adalah perusahaan energi dan komoditas yang berbasis di Belanda. Grup bisnis ini beroperasi melalui berbagai anak perusahaan yang menyentuh nyaris seluruh aspek industri hulu migas mulai dari pemurnian, perdagangan, pengiriman, terminal dan penyimpanan hingga pembangkit listrik. Portofolio perusahaannya meliputi Vitol Aviation, Varo Energy, Vivo Energy, Viva Energy Australia, VTTI dan OVH Energy.

Meski saat ini masih terdaftar di Belanda tetapi mayoritas eksekutif tertinggi perusahaan berkantor pusat di London dan banyak melakukan bisnis dari Geneva, Swiss.

Vitol sendiri merupakan salah satu perusahaan raksasa yang jarang diketahui oleh orang banyak. Namanya jarang sekali menjadi berita utama media global bahkan ketika pertemuan OPEC sedang berlangsung. Meski demikian, pejabat tinggi seperti menteri perminyakan Saudi tentu kenal dekat Vitol seperti halnya mereka dengan Shell atau BP.

Dua hal yang membuat Vitol jarang didengar adalah karena perusahaan tersebut tidak menambang minyak secara independen dan karena struktur perusahaan yang masih berstatus swasta, bukan seperti perusahaan besar lain yang terlah diperdagangkan publik.

Apabila berstatus perusahaan publik, Vitol akan berada di peringkat 7 perusahaan Fortune 500, tepat di bawah Exxon Mobil dan berada di atas Berkshire Hathaway milik Warren Buffet dan induk Google, Alphabet.

Vitol Group yang merupakan pedagang (trader) energi independen terbesar di dunia, mencatatkan rekor keuntungan tahun lalu. Laba bersih perusahaan swasta ini mencapai lebih dari US$ 4 miliar karena pendapatan meningkat hampir dua kali lipat menjadi US$ 279 miliar didukung oleh harga minyak dan gas yang lebih tinggi. Angka tersebut pertama kali dilaporkan Reuters berdasarkan pengakuan sumber yang telah melihat salinan laporan laba rugi perusahaan. Laba kotor meningkat US$ 1 miliar menjadi US$ 6 miliar.

Catatan tersebut mengalahkan rekor pendapatan bersih Vitol sebelumnya atau sekitar US$ 3 miliar pada tahun 2020 ketika perusahaan mengambil keuntungan dari penjualan panik (panic selling) di pasar minyak dan menjualnya untuk mendapatkan keuntungan di pasar berjangka.

Pada awal pandemi tahun 2020 lalu, harga minyak mentah acuan AS (WTI) sempat menyentuh level negatif (-) US$ 37/barel, sedangkan minyak mentah acuan global (brent) harganya turun hingga US$ 19,3/barel. Level harga terendah untuk brent sebelumnya dicatatkan tahun 2016 di harga US$ 27,1/barel.

Pada tahun-tahun dengan harga minyak mentah dunia dijual rendah, seperti 2016 atau 2020, keuntungan perdagangan bisa jauh melebihi keuntungan dari bisnis produksi.

Pedagang komoditas adalah perantara ekonomi global, menghubungkan pemasok bahan mentah – sering kali di negara berkembang – dengan konsumen di negara kaya dan negara berkembang pesat.

Vitol mengungkapkan bahwa perusahaan memperdagangkan 7,6 juta barel per hari produk minyak bumi pada tahun 2021, naik dari 7,1 juta barel per hari karena pulihnya permintaan dengan semua pasar utamanya melihat pertumbuhan yang kuat.

Saat ini bisnis perdagangan energi memperoleh tantangan karena kondisi harga minyak tinggi. Akan tetapi akses ke jalur kredit besar dan dapat mengelola pergerakan harga ekstrem menjadi kelebihan yang dimiliki Vitol.

Dalam lingkungan harga minyak tinggi, para pedagang membutuhkan lebih banyak uang tunai untuk membiayai bisnis mereka sehari-hari karena kenaikan harga komoditas ikut membuat pengisian kapal tanker dengan minyak mentah menjadi lebih mahal.

Menghadapi krisis likuiditas, beberapa pemain kecil dan menengah telah menarik diri dari pasar, menyisakan sedikit pesaing bagi perusahaan raksasa seperti Vitol dan Trafigura dengan dalam tender minyak mentah.

Vitol saat ini dimiliki oleh sekitar 400 mitra senior yang tersebar di pusat perdagangan energi London, Jenewa, Singapura, dan Houston.

Tahun lalu Vitol telah menyerahkan rekor gajian kepada eksekutif dan staf senior, memberikan setara dengan lebih dari US$ 7 juta untuk masing-masing mitra senior perusahaan perdagangan minyak tersebut.

Awal Juni lalu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky meminta Vitol untuk menghentikan pengiriman minyak Rusia dan menuduhnya “mencari keuntungan dari blood oil.”

Dilansir The Guardian, kepala penasihat ekonomi Zelenskiy, Oleg Ustenko, meminta Vitol untuk menyatakan kapan akan mengirimkan barel terakhir minyak Rusia dan berapa banyak minyak yang akan dikirim hingga tanggal tersebut.

Zelensky sebelumnya juga telah meminta Vitol untuk menutup transaksi bisnisnya dengan Rusia pada bulan Maret yang disebutnya ikut membiayai perang di Eropa Timur dan melakukan “pembunuhan massal orang-orang yang tidak bersalah”.

Vitol yang memiliki saham minoritas di proyek Minyak Vostok milik perusahaan minyak Rusia Rosneft mengatakan pada bulan April bahwa pihaknya tidak akan melakukan transaksi minyak mentah dan produk baru Rusia.

Perusahaan mengatakan dalam sebuah pernyataan: “Vitol telah mengurangi volume pengiriman minyak mentah dan produk Rusia sekitar 80% sejak Januari 2022 dan akan terus mengurangi volume ini hingga akhir tahun.

“Setiap minyak mentah atau produk Rusia yang dikirim oleh Vitol sepenuhnya mematuhi semua undang-undang, peraturan, dan sanksi yang berlaku, termasuk yang berlaku di UE, Swiss, Inggris, dan AS. Transaksi Rusia yang tunduk pada kewajiban pelaporan UE diumumkan kepada otoritas terkait, di mana Vitol memiliki hubungan yang terbuka dan transparan.”

Sebelum dicecar Zelensky, Vitol juga sempat menghadapi sejumlah permasalahan lain dalam beberapa tahun terakhir. Dilaporkan NPR, pada tahun 2020, Vitol mengaku membayar jutaan dolar suap untuk kontrak minyak di Brasil, Ekuador, dan Meksiko, dan membayar lebih dari 135 juta dolar untuk menyelesaikan penyelidikan Department of Justice AS. (Ach/Cnbcind)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini