spot_img
Rabu, April 24, 2024
spot_img

Nasihat Guru Spiritual, Rama Dijat yang Dituruti dan Ditolak Soeharto: Selamat dan Petaka Orde Baru!

KNews.id- Soeharto menduduki kursi Presiden Republik Indonesia (RI) selama 32 tahun. Ia mencatatkan namanya di banyak momen sejarah Republik. Beberapa di antaranya Soeharto lewati dalam arahan guru-guru spiritualnya. Ada beberapa nama, termasuk Rama Dijat yang sempat meminta Soeharto lengser di tahun 1982. Nasihat itu ditolak Soeharto. Percaya atau tidak, masalah-masalah bermunculan, menyeret Soeharto ke ujung tanduk.

Ada nama-nama yang dikenal sebagai guru spiritual Soeharto. Dia adalah Rama Marta, Rama Budi Utama, Rama Mesran, dan Rama Dijat. Keempat Rama ini dianggap sebagai “ring satu” kebatinan Soeharto. Mereka memiliki kemampuan berdialog dengan roh leluhur dengan bermeditasi atau njarwa.

- Advertisement -

Penting berkomunikasi dengan leluhur karena dianggap utusan Tuhan yang pernah terlahirkan sebagai manusia. Leluhur nantinya memberikan pesan-pesan atau dhawuh. Ketika masuk dalam diri seorang medium, kata-kata leluhur ini hadir di anak lidah medium hingga leluhur itu bisa diajak berdialog.

Setiap rama memiliki spesialisasinya masing-masing. Rama Marta untuk persoalan kemasyarakatan dan kerumahtanggaan. Rama Budi menangani hal-hal yang bersifat pribadi. Sementara Rama Dijat adalah guru spiritual soal-soal kenegaraan.

- Advertisement -

“Tugas” Rama Dijat ini sangat penting. Nasihat-nasihatnya berpengaruh dalam bagaimana Soeharto menjalankan kepemimpinan sebagai presiden. Banyak kebijakan politik Soeharto yang sebelum dikeluarkan, dikomunikasikan terdahulu dengan para leluhur. Soeharto merasa kebijakannya akan lebih mantap bila leluhur mendukungnya.

“Menurut Pak Djono (Soedjono Hoemardani), saat GBHN dibuat dan saat Indonesia mau merebut Timor Timur, Soeharto terus-menerus meminta pertimbangan dhawuh ini.” kata Dr Budyapradipta, pakar sastra Jawa Universitas Indonesia yang pernah menjadi sekretaris pribadi Soedjono Hoemardani pada 1983-1986, dikutip dari artikel Soedjojono dan ‘Orde Dhawuh’ di edisi khusus Majalah Tempo.

- Advertisement -

Pertemuan Soeharto dan Rama Dijat 

Pertemuan Soeharto dengan Rama Dijat berawal dari diskusinya dengan seorang perwira menengah Angkatan Darat, Mesran Hadi Prayitno. Keduanya sama-sama dalam soal spiritualitas Jawa.

Saat itu Mesran menyarankan Soeharto bertemu dengan seorang guru bernama Raden Panji Soedijat Prawirokoesoemo atau Rama Dijat jika benar-benar ingin memperdalam spiritualitas Jawa. Pada 1963, Mesran dan Soeharto bertemu Rama Dijat di rumah orang tua Rama Dijat di Dukuh Gopetan, Desa Gemblegan Kalipotes, Klaten.

Saat itu Soeharto kaget, karena Rama Dijat ternyata adalah sosok lelaki misterius yang pernah ditemuinya pada 1961 saat melakukan ziarah di makam leluhur raja-raja Majapahit di situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Masih mengutip Tempo, terdapat kejadian menarik yang menunjukkan seberapa kuatnya nasihat dari Rama Dijat.

Saat itu Soeharto hendak melakukan kunjungan ke Filipina dan Australia, Rama Dijat lalu diundang oleh Soedjono ke rumahnya. Arwah leluhur yang masuk dalam diri Rama Dijat mengatakan perjalanan Soeharto ke Australia itu perlu diawasi.

Pesan itu disampaikan Soedjono kepada Yoga Soegama, pemimpin Bakin saat itu. Meski demikian Yoga lebih percaya analisis intelijennya yang menganggap kunjungan Filipina yang harus diwaspadai karena saat itu Marcos baru digulingkan.

Namun saat Soeharto ke Filipina, kondisi aman-aman saja. Sementara saat ke Australia, Soeharto disambut demonstran dengan lemparan tomat dan telur busuk yang mengenai dahinya. Ketika pulang ke Jakarta, Yoga Soegama langsung didamprat Soedjono.

“Yoga, mangkane ojo nyepeleake intel spiritualku,” yang dalam bahasa Indonesia berarti: Yoga, maka dari itu jangan menyepelekan intel spiritualku. 

Menolak Nasihat Rama Dijat

Putra Rama Dijat bernama Budi Kusumo Putro bercerita bahwa sebelum Soeharto berniat menjabat presiden untuk periode ketiga, pada 1982, Rama Dijat sudah mengingatkan agar Soeharto mengurungkan niat itu. Meski demikian, Soeharto mendesak Rama Dijat agar ia diizinkan menjadi presiden.

Soeharto juga memohon agar Rama Dijat memintakan “restu” kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal tersebut membuat Rama Dijat melakukan laku atau tirakat dengan melakukan perjalanan ke segenap penjuru Nusantara selama kurang lebih satu tahun. Di berbagai tempat ia melakukan meditasi.

“Ayah mendapat wisik, Soeharto bisa menjadi presiden. Namun hanya untuk satu periode lagi,” kata Budi.

Nasihat tersebut harus segera disampaikan kepada Soeharto. Tempat yang dipilih untuk menyatakan persoalan penting itu adalah di rumah ayah Rama Dijat di Dukuh Gopetan, Desa Gemblegan Kalipotes, Klaten.

Sebuah pilihan simbolis, tempat itu pertama kalinya Soeharto bersedia menjadi murid Rama Dijat. Pada 1984, Rama Dijat meninggal. Toto Iriyanto, putra Rama Dijat yang lainnya, menceritakan bahwa pada pertengahan 1987 saat pemilu berlangsung, dia merasa mendapat pesan dari almarhum ayahnya.

Pesannya adalah memperingatkan Soeharto untuk segera lengser. Toto diperintahkan agar menemui Soeharto dengan membawa jantung pisang raja, jeruk Bali, dan kelapa gading.  Awalnya, Toto ragu menyampaikan pesan itu. Namun akhirnya Toto tetap datang ke Istana.

Toto saat itu hampir tidak lolos dari pemeriksaan Pasukan Pengaman Presiden. Namun, kebetulan Soeharto sedang keluar dari pintu utama istana hendak masuk ke dalam mobil. Sambil mengisap cerutu, Soeharto langsung melambaikan tangannya kepada Toto. Rupanya Soeharto masih mengenali wajah dari putra gurunya.

Toto langsung menceritakan dirinya mendapat wangsit agar menyerahkan tiga simbol tersebut kepada Soeharto. Soeharto pun menerima baki berisi jantung pisang raja, jeruk bali, dan kelapa gading.

Toto menuturkan, jantung pisang raja adalah simbol kekuasaan, jeruk bali simbol agar kekuasaan itu dikembalikan, dan kelapa gading adalah simbol masa keemasan. Setelah baki itu diterima Soeharto, Toto segera pamit pulang tanpa masuk Istana.

Namun, Soeharto tidak mengindahkan wangsit tersebut. Soeharto terus maju agar tetap duduki kursi presiden. Percaya atau tidak,  tahun-tahun berikutnya bisnis putra-putri Soeharto mendapat sorotan.

Masalah-masalah juga datang kepada Soeharto, hingga akhirnya terjadilah krisis moneter dan pada 1998 Soeharto lengser dengan memalukan. Semua sudah terjadi dan tidak dapat diubah. Banyak yang menganggap jika Soeharto menaati pesan gurunya itu, di saat tahun-tahun terakhir hidupnya Soeharto akan lebih selamat.

Selain meminta nasihat leluhur melalui para guru, Soeharto juga diketahui melakukan pertapaan. Hal tersebut disampaikan oleh Rusmanto, juru kunci Gua Semar. Sebelum sampai ke Gua Semar, kata Rusmanto, Soeharto pernah melakukan serangkaian pertapaan.

Pertapaan-pertapaan itu dilakukan di Gua Jambe Lima dan Gua Jambe Pitu, lalu Gua Suci Rahayu di kawasan Gunung Selok, Cilacap, Jawa Tengah. “Di Suci Rahayu itulah Soeharto melakukan penyucian awal,” kata Rusmanto.

Soeharto lalu melanjutkan perjalanan spiritualnya itu ke Gunung Srandil, Cilacap. Gunung di tepi pantai itu dikenal sebagai tempat khusus untuk ziarah. Di sanalah dimakamkan para leluhur tanah Jawa.

Sepak Terjang Soeharto

Soeharto lahir dari ayah berprofesi petani bernama Kertosudiro dan ibu bernama Sukirah. Tidak disangka, Kertosudiro dan Sukirah melahirkan putra yang akan memimpin Indonesia selama 32 tahun. Soeharto memulai karier militernya dari Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL), tentara Kerajaan Hindia-Belanda yang dibentuk pemerintah kolonial untuk menghadapi perlawanan lokal.

Saat Belanda cabut dan kekuasaan berpindah ke tangan Jepang, Soeharto bergabung bersama satuan militer bentukan Jepang, PETA. Kemudian, Soeharto menikahi Siti Hartinah atau Tien Soeharto alias Bu Tien pada 26 Desember 1947. Sebagaimana ditulis dalam artikel MEMORI berjudul Pahit Manis Kisah Cinta Pak Harto dan Bu Tien, dijelaskan ada rasa minder akibat status sosial dari Soeharto pada awal mula perkenalan mereka.

Bu Tien adalah anak pegawai Mangkunegaran di Solo. Dari pernikahan tersebut, Soeharto dan Siti Hartinah dikaruniai enam putra dan putri yaitu Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Perkembangan karier militer Soeharto mulai menemukan titik signifikan selepas Indonesia merdeka, tepatnya di tengah gejolak politik tahun 1965. Sejarah-sejarah nan kontroversial tercatat di masa-masa itu. Seperti dijelaskan dalam artikel MEMORI berjudul Seabad Soeharto, The Smiling General, yang kala itu berpangkat Mayor Jenderal disebut mengkoordinir operasi pembantaian pada periode 1965-1966.

Hal itu terungkap melalui sejumlah dokumen yang dituangkan ke dalam buku berjudul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder yang disusun Jess Melvin, sejarawan dari Sydney Southeast Asia Centre.

Masih di periode itu juga, sejarah besar lain dicatat Soeharto: kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Keberhasilan Soeharto mengatasi Gerakan 30 September 1965 atau biasa disebut G30S/PKI membuatnya diserahi tugas sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

Seperti dipaparkan dalam artikel MEMORI berjudul Supersemar Dikeluarkan, Soekarno Digulingkan, dijelaskan bagaimana Soeharto memanipulasi Supersemar. Lewat manipulasi itu Soeharto merebut kekuasaan dari Soekarno.

Di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia meraih swasembada pangan pada 1984 dan membuat Soeharto mendapat kehormatan berpidato dalam Konferensi ke-23 Food and Agriculture Organization (FAO) di Roma, Italia. Bahkan Soeharto memberikan bantuan 100.000 ton padi untuk Afrika yang dilanda kelaparan.

Di bawah kepemimpinannya, ekonomi Indonesia juga berhasil bangkit. Pada 1967, Indonesia memiliki utang luar negeri sebesar 700 juta dolar AS. Dibantu para pakar ekonomi, Soeharto membalikkan keadaan yang berpuncak pada swasembada pangan pada 1984. Keberhasilan ‘wah’ lain dari Soeharto adalah Keluarga Berencana (KB).

Meski produksi pangan besar, percuma saja jika jumlah penduduk tidak terkendali. Merangkul Majelis Ulama Indonesia (MUI), Soeharto berusaha memuluskan program KB yang sempat mendapat penolakan karena alasan agama. Selain angka kematian bayi yang dapat ditekan, usia harapan hidup rata-rata orang Indonesia yang semula hanya 41 tahun pada 1965, meningkat menjadi 63 tahun pada 1994.

Meski demikian, bukan berarti kepemimpinan Soeharto suci tanpa dosa. Selama Orde Baru, korupsi jelas terlihat. Meski demikian, kekuasaan membuat kasus-kasus korupsi menguap begitu saja. Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Orde Baru menjadi legal karena memiliki payung hukum berupa keputusan presiden (keppres).

“Kasus di zaman Orba itu karena sentralisasi kekuasaan. Apalagi biasanya pemilik kewenangan itu mainnya di kekuasaan yang tersentralisasi,” kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, dikutip dari Tempo.

“Misal keppres-keppres yang memberikan kewenangan tertentu pada anak Pak Harto kala itu,” tambah Zainal.

Salah satunya adalah ketika Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996. Intruksi tersebut memerintahkan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman modal agar secepatnya mewujudkan industri mobil nasional.

Dalam waktu yang sama, PT Timor Putra Nasional (TPN), perusahaan milik Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, ditunjuk sebagai pionir mobil nasional. Keluarga Soeharto mendapat berbagai “cipratan” dari pemerintahan Soeharto. Majalah Time pernah membahas bagaimana bisnis Keluarga Cendana dengan judul Suharto Inc.

Time saat itu bekerja sama dengan pengajar sosiologi korupsi di Universitas Newcastle George Junus Aditjondro. Majalah Time dan George menerbitkan buku berjudul From Suharto to Habibie: The Two Leading Corruptors of the New Order. Tidak hanya KKN, era Orde Baru juga dikenal mempersempit ruang berpendapat.

Banyak pers yang diawasi dan dibatasi pergerakannya bahkan tidak dapat mengkritik pemerintah. Banyak juga tindak kriminal seperti penembakan misterius yang terkait kriminalitas, daerah operasi militer di Aceh dan Papua, peristiwa Talangsari, serta penculikan dan kerusuhan Mei 1998. (AHM/voi)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini