Tindak pidana asal (predicate crime) dari kejahatan pencucian uang berdasarkan pasal 2 UU TPPU (UU No 8 Tahun 2010) biasanya berasal dari kejahatan korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Kata Khozinudin, pernyataan Mahfud MD yang menyebut ada Rp 300 T dana mencurigakan di Kemenkeu terkait TPPU, mengkonfirmasi ada tindak pidana asal yang itu dapat berasal dari korupsi, narkoba, ngemplang pajak, kejahatan perbankan, dan tindak pidana lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU TPPU.
Peran cuci uang di Kemenkeu patut diduga melalui instrumen pajak. Sehingga, dana haram yang disembunyikan melalui instrumen cuci uang menjadi seolah bisnis halal, setelah melakukan pembayaran pajak menjadi seolah-olah sah dan legal. Jadi, pajak menjadi instrumen akhir dari cuci uang.
Kata Khozinudin, Sri Mulyani tidak bisa berkelit, hanya dengan menjelaskan anak buahnya telah disanksi dengan UU ASN. Cuci uang adalah pidana, tidak hilang unsurnya hanya karena ASN Kemenkeu mundur atau dipecat.