KNews.id – Jakarta – Jaringan Anti Tambang atau Jatam mengatakan pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, bukan peristiwa baru. Sejak 2017, PT Gag Nikel mendapatkan izin menambang nikel seluas 13.136 hektare hingga 2047 dengan status Kontrak Karya.
Koordinator Nasional Jatam Melky Nahar menyebutkan luas Pulau Gag hanya 6.500 hektare, seluas 6.034,42 hektare di antaranya berstatus hutan lindung. “Artinya, perusahaan mendapatkan konsesi dua kali lipat lebih luas dari luas seluruh daratan pulau,” ucap Melky melalui keterangan tertulis, Senin, 9 Juni 2025.
Menurut Melky, PT Gag Nikel mencaplok seluruh luas daratan dan perairan Pulau Gag. Dengan luas hanya 6.500 hektare, Pulau Gag dikategorikan sebagai pulau kecil menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Menurut undang-undang tersebut, pulau kecil tidak boleh ditambang.
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang amar putusannya menolak gugatan PT Gema Kreasi Perdana saat mengajukan uji materiil terhadap pasal-pasal krusial mengenai larangan penambangan di pulau kecil, kian meneguhkan prinsip pulau kecil haram untuk ditambang,” ucapnya.
Sementara itu, kata Melky, secara umum Kepulauan Raja Ampat yang kerap disanjung-sanjung oleh pemerintah sebagai destinasi pariwisata unggulan Indonesia tengah menanti perluasan kerusakan ekologi akibat aktivitas pertambangan di lima konsesi.
Kelima konsesi tersebut, kata dia, dikelola oleh perusahaan yang berbeda, tetapi komoditasnya sama, nikel, yang seluruhnya serupa bom waktu bagi keelokan bentang alam Raja Ampat. “Padahal, justru karena keelokan dan keberlanjutan layanan fungsi alamnya itulah, Raja Ampat menjadi destinasi wisata yang mendunia,” ucap dia.
Menurut Melky, Pulau Gag hanya satu dari 35 pulau kecil di Indonesia yang dijarah kegiatan tambang. Ironisnya, kata dia, seluruhnya berlangsung dengan restu negara dan atas nama pembangunan, tak sedikit mengatasnamakan ‘pembangunan hijau’. Saat ini, terdapat 195 izin pertambangan dengan luas total konsesi 351.933 hektare yang mencaplok 35 pulau kecil Indonesia.
Padahal, menurut Melky, pertambangan di pulau kecil merupakan petaka bagi masyarakat dan seluruh kehidupan di dalamnya. Pulau kecil memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap sekecil apa pun perubahan bentang alamnya. Hutan-hutan di pulau kecil merupakan benteng perlindungan alami bagi masyarakat dan keanekaragaman hayati, mulai dari menjaga iklim mikro, mengatur
tata kelola air, menjaga sumber pangan dan sumber air, hingga menjadi salah satu benteng pertahanan alami dari bencana seperti rob hingga tsunami. “Pertambangan di pulau kecil juga akan menghancurkan satu-satunya ruang kehidupan warga,” ucap dia.
Aktivitas pertambangan, kata dia, apa pun komoditasnya, memiliki karakter rakus lahan sehingga dapat akan menghancurkan sumber air, sumber pangan, sumber obat-obatan herbal tradisional, serta berbagai ruang produksi tradisional warga pulau kecil. “Sehingga, pertambangan di pulau kecil sesungguhnya merupakan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan.”
Sementara itu, menurut Melky, lebih dari 79 orang warga pulau kecil yang sedang berjuang mempertahankan ruang hidup satu-satunya tersebut dikriminalisasi tanpa tedeng aling-aling. Warga dipukul, ditangkap, dikriminalisasi, dan bahkan mendekam di penjara, hanya karena mempertahankan tanah dan laut yang telah mereka jaga turun-temurun.
Melky menyebutkan mereka diadang dengan berbagai pasal yang menjerat kemerdekaan, mulai dari Pasal 310 KUHP mengenai pencemaran nama baik, Pasal 162 Undang-Undang Mineral dan Batu Bara yang mengatur pidana bagi setiap orang yang dianggap merintangi kegiatan pertambangan, Pasal 170 KUHP mengenai kekerasan terhadap orang atau barang, hingga Pasal 333 KUHP mengenai perampasan kemerdekaan seseorang.
Padahal, kata dia, sederet pasal tersebut kerap ditetapkan secara asal, alias tanpa memiliki dasar hukum yang kuat, yang justru menjadi ancaman terbesar bagi kemerdekaan dan perjuangan warga pulau kecil mempertahankan ruang hidupnya. “Di pulau kecil Wawonii, misalnya, sudah ada 44 warganya yang mengalami kriminalisasi tak lama setelah mereka mengadakan aksi menolak keberadaan konsesi tambang,” ucap dia.
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) telah menyusun upaya sistematis dalam menangani indikasi kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol mengatakan kawasan ini merupakan jantung keanekaragaman hayati laut dunia dan tergolong sebagai Kawasan Strategis Nasional Konservasi (KSKK) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Raja Ampat.