spot_img
Jumat, April 19, 2024
spot_img

Masyarakat Menunggu Apakah Para Pelaku Pembunahan Enam Mujahid Dihukum Mati atau Justru Vonis Bebas?

Oleh: Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum Mujahid 212

(Mahkamah kembali diuji dan kelak akan bertemu degan 6 Syuhada di Pengadilan Akhirat)

- Advertisement -

KNews.id- Praktik penegakan hukum yang ada dan sedang berjalan mencerminkan NRI seolah bukan sebuah negara berdasarkan hukum ( rechtstaat ), fenomena ini terbukti bila dilihat dari awal proses hukum ( penyidikan) sampai dengan tuntutan dan vonis terhadap Imam Besar Habib Rizieq Shihab/ IB HRS. TSK dan atau TDW pada Tuduhan yang Pokok Perkaranya sekedar Pelanggaran Prokes Covid 19 dan dikomper pada Proses Penegakan Hukum Perkara terhadap sosok 2 ( dua)  Orang Anggota Polri ( abdi negara penegak hukum ) terduga Para Pelaku Pembunuhan di Tol KM 50.

Fakta hukum terhadap perkara – perkara kasus tersebut diatas  (Pelanggaran Prokes Covid 19 dan Pembunuhan Tol KM. 50), bahwa terhadap penangguhan penahanan oleh TSK dan atau TDW IB. HRS tidak dikabulkan oleh Para Penyidik, juga tidak dikabulkan oleh Para JPU juga tidak dikabulkan oleh Para Majelis Hakim yang terkait pada ketiga perkara ( Petamburan,  Mega Mendung dan RS.  Ummi Bogor ).

- Advertisement -

Namun sebaliknya pada proses kasus atau perkara pembunuhan  di Tol KM. 50 terhadap diri TSK yang bertugas sebagai Anggota Polri justru diberikan penangguhan penahanannya oleh penyidik yang menangani proses perkara, para TSK tetap bebas dan tetap bertugas selaku anggota polri, lalu terhadap para TSK tetap ditangguhkan penahanannya oleh JPU pada proses perkara aquo, terduga pelaku pembunuhan di Tol KM.  50, masyarakat belum tahu apakah penangguhan penahanan terhadap para TSK akan juga dilanjutkan, atau dicabut oelh Majelis Hakim perkara  a quo, karena Majelis Hakim pun memiliki hak subjektif sesuai KUHAP, di antaranya melalui hak dan atau kekuatan yurisdiksinya dapat memerintahkan agar JPU menahan segera dan secara serta merta Para TDW untuk ditahan didalam rumah tahanan negara ( penjara).

Oleh sebab hukum Majelis memiliki pertimbangan hukumnya dengan dasar isi pada pasal 52 KUHP bahwa pelaku yang memiliki jabatan sebagai petugas negara, yang dengan oleh karena kekuasaan yang dimilikinya dan atau oleh sebab karena jabatan yang dia miliki telah melakukan kejahatan, oleh karenanya bagi pelaku menurut pasal ini justru harus mendapat ancaman hukuman terberat ditambah dengan 1/3 ( sepertiga) nya, sehingga bagi Para Terdakwa tidaklah pantas mendapatkan pembantaran atau penangguhan Penahanan.

- Advertisement -

Sesuai asas hukum dan sistem perundang – undangan yang berlaku ditanah air,  latar belakang hukum daripada delik pembunuhan memiliki unsur kejahatan yang melanggar pokok perkara pada pasal 338 KUHP,  yakni terkait ” menghilangkan nyawa orang lain “, dan kitab hukum yang dilanggar  KUHP merupakan kumpulan pasal dan bab- bab hukum positif atau hukum yang wajib mesti berlaku ( ius konstitum ), namun pada fakta hukumnya, nama TSK termasuk kejelasan identitas lainnya Terduga Pelaku pembunuhan KM. 50 yang merupakan hak publik untuk mengetahui identitas para terduga / TSK , nyatanya nyaris disembunyikan?.

Sebaliknya perbedaan yang mencolok, saat pertama dikenakan status menjadi TSK IB. HRS dipublis dengan kedua tangan diborgol lalu langsung dijebloskan kedalam tahanan ( penjara ) Polda Metro Jaya, walau bentuk pelanggara hukumnya sekedar ‘ hukum cita cita atau hukum yang mudah – mudahan dapat berlaku. Begitu pula bila dilihat secara faktual pada praktik pelaksanaan penegakan huku daripada prokes dimaksud, nyata tidak serius digunakan, sehingga riil ketentuan prokes covid 19 hanya sebuah kaedah hukum yang mudah – mudahan berlaku atau ius konstituendum.

Setelah yudex factie tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Timur diuji terkait Pelaksanaan penegakan hukum yang putusannya hanya semata demi twgaknya keadilan dan demi kepastian hukum terhadap perkara Tdw IB. HRS maka pasti tidak berselang lama lagi , dalam hitungan hari atau sekitar dua bulanan lagi,  Mahkamah atau yudex facti pada Tingkat Pertama Pengadilan Negeri sesuai domein pengadilan untuk mengadili atau sesuai hak kompetensi mengadili ( Jabar atau DKI).

Sebagai untuk dan atas nama Makamah atau lembaga yudikatif di republik ini, pada hakekat dan prinsip, akan kembali diuji oleh masyarakat pencahari keadilan atau masyarakat peduli penegakan hukum akan pelaksanaan terhadap moral hukum, termasuk seberapa besar dan tinggi daripada kredibilitas para hakim, kemandirian dalam arti menolak intervensi dari pihak manapun,  profesionalitas, proporsional serta akuntabilitasnya dalam rangka tugas yurisdiksinya sebagai Penegak Hukum dan Pembuat Vonis demi Keadilan dan Kepastian Hukum.

Terhadap Majelis Hakim yang kelak menyidangkan perkara a quo in casu Pembunuhan KM.  50, Ummat Muslim percaya dan meyakini sesuai rukun iman, yang memiliki makna wajib percaya bahwasanya selain Para Terduga, maka Para Hakim yang kelak mengadili para Terduga Pelaku Pembunuhan KM. 50 dan seluruh penyertanya yang tersembunyi sekalipun ( delneming). Namun tak terungkap tapi secara kebenaran materiil ( kebenaran sesungghnya) memiliki keterlibatan pada peristiwa pembunuhan, pasti akan bertemu para Mujahid yang telah syahid kelak di Pengadilan akhirat

Maka saat ini masyarakat terlebih keluarga korban, pastinya kini sedang menanti, bahkan dengan sangat dan amat penasaran ingin segera cepat mengetahui atau melihat dan atau menyaksikan sendiri di ruang persidangan akan rupa wajah dari para terduga pelaku dader/ pleger yang sebenar – sebenarnya, termasuk fakta hukum yang akan diungkap dan terungkap pada pelaksanaan proses peradilan hukum di Mahkamah atau Badan Peradilan kelak.

Apakah Para TDW benar sebagai Dader atau keduanya sebagai pelaku tunggal / atau sebagian dari pleger Pembunuhan di Tol KM. 50 benar. Siapa pleger lainnya? Atau pelaku penyertanya ( delneming), apakah ada ? Kalau ada siapa uit lokker ( penyuruh,  atau perayu dengan disertai janji janji,  aktor penting (intelektual dader) yang memiliki jabatan diatas pelaku?.

Atau doen pleger , akankah vonisnya menyatakan ; bahwa para pelaku secara hukum yang menghilangkan nyawa orang lain atau pembunuhan dengan secara sengaja karena ada niatan sebelumnya ( ada unsur rencana atau adanya mens rea ) atau dolus sebelum melakukan aksi pembunuhan atau menghilangkan nyawa korban 6 orang Mujahid, apakah ada uit lokking dan atau tokoh utama/ intelektual dader atau ada subjek hukum lain yang justru orang yang berpengaruh pada pekerjaan dan atau jabatan para pelaku ?.

Sehingga kedua pelaku  hanya menganggap sebagai melaksanakan tugas atas perintah pimpinan, atau bahkan sebagai tugas negara negara oleh sebab para pelaku adalah petugas polri atau petugas penegak hukum negara atau para pelaku melakukan karena faktor culfa atau hannya sebab lalai ? dan sebesar apa ‘ sih ‘vonis hukumannya pada para pelaku oleh Mahkamah.

Justru sebaliknya lahir pertimbangan hukum pada surat putusan atau vonis yang menyatakan adanya penyebab terbunuhnya para korban mujahid oleh sebab faktor situasi kondisional yang force mejeur / darurat disaat dan pada tempat kejadian TKP/ peristiwa pembunuhan ( Tempus & Lokus Delikti ) sehingga Majelis Hakim Mahkamah menghubungkan peristiwa ” tragedi Jamerah ” ini dengan asas hukum overmacht atau noodweer ( karena keadaan terpaksa atau karena membela diri dan atau karena berat lawan ) sesuai yang dinyatakan pada Pasal 48 Jo.  49 KUHP?.

Sehingga oleh karena ada alibi terkait pasal 48 & 49 KUHP dimaksud apakah TDW akan dihukum ringan atau berat atau justru dibebaskan demi hukum dengan melalui vonis onslaag  atau dengan pengertian ilmu hukum dimaknai dengan ‘ bahwa perbuatan pidana yang dilakukan para terdakwa dan juga akibat perbuatan pidana benar faktanya ada.

Namun perbuatan pidana yang dituduhkan atau yang didakwakan oleh JPU kepada terdakwa bukan merupakan sebuah peristiwa tindak pidana yang mesti mendapatkan sanksi atau hukuman ‘ oleh sebab hukum adanya overmacht atau noodweer atau jangan jangan lebih tragis lagi, akankah kedua TDW kelak justru mendapatkan vonis “gila-gilaan”, dengan amarnya mahkamah membuat putusan hukum yang isinya menyatakan ; ” bahwa TDW bebas murni atau vrijspraak atau vonis yang putusan berbunyi bahwa para terdakwa Tidak Terbukti Bersalah, melainkan ada Pelaku lainnya yang bukan atau tidak dijadikan sebagai Terdakwa, atau dilakukan oleh subjek hukum diluar terdakwa ? “.

Bila kenyataannya kelak putusan vonisnya para terdakwa bebas atau vrijspraak karena secara hukum tak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan.  Penulis hanya bisa menyatakan Wallahu’alam dan secara hukum vrijspraak adalah sebuah kemungkinan opsi yang cukup besar  pada sebuah vonis putusan perkara pidana dan lumrah dalam sebuah putusan yang irah – irahnya Berdasarkan Demi Ketuhanan yang Maha Esa yang hakekatnya Demi Keadilan dan Kepastian Hukum,  karena vrijspraak diputus berdasarkan alat bukti yang cukup ( barang bukti dan para saksi ) yang terungkap dimuka persidangan dan vrijspraak memiliki asas legalitas atau mempunyai dasar hukum yang jelas.

Hanya analisa penulis selaku pengamat hukum ,memastikan bahwa Majelis hakim tidak akan membebaskan para terdakwa dengan bersandarkan pada pasal 44 atau pasal 45 KUHP karena dapat dipastikan secara notoire feiten ” para terdakwa dapat mempertanggung jawabkan perbuatan hukumnya oleh karena Para Pelaku pastinya tidak masuk unsur kategori memiliki penyakit jiwa, atau pelaku adalah bukan orang gila, artinya isi pasal 44 KUHP terolak secara hukum.

Dan para pelaku dapat dipastikan tidak idiot , debil, embisil, dan atau sebagai anak dibawah umur sesuai makna yang dinyatakan oleh pasal 45 KUHP “, oleh sebab fakta hukumnya para pelaku sampai dengan saat ini adalah anggota polri, sehingga masuk kategori orang dewasa, dan faktanya masih diberikan kesempatan hidup bebas, sekaligus menghirup udara segar serta para terduga sekaligus tetap beraktifitas rutin pada kedinasannya atau menjalankan fungsi dan tugasnya sehari- hari selaku anggota Polri.

Pertanyaan yang timbul pada narasi literatur ini menyangkut proses akhir daripada Peristiwa Kriminal Luar Biasa ( unlawful killing ) di KM 50 ini, hingga memunculkan berbagai macam prediksi hasil persidangan atau prediksi putusan vonis hukuman pada perkara aquo KM.  50. Pertanyaannya mengapa atau kenapa bisa timbul dugaan atau prediksi sedemikian rupa ?.

Jawabannya adalah oleh sebab kacamata sejarah hukum tanah air dalam beberapa kasus pada pelaksanaan dua priodenya Jokowi selaku presiden RI, menunjukan banyak gejala penegakan hukum pada beberapa peristiwa hukum yang pola penanganan dan atau penegakan hukum pada proses hukumnya pada orang atau subjek hukum tertentu secara tebang pilih serta kasus beberapa nampak diselimuti ketidak wajaran atau dipeti eskan, penegakan hukum secara suka – suka atau tidak mematuhi atau  bertentangan dengan due proccess, tidak equal, atau tidak mengikuti ketentuan hukum yang berlaku positif atau penegakan hukumnya sangat bertentangan dengan rule of law.

Dan atau spesial penegakan hukum terhadap setiap kasus atau perkara siapapun orang atau subjek hukum pelaku, ketika ditemukan “sinyalemen sarat ” kepentingan dan atau bersinggungan dengan pribadi atau jatidiri Beliau IB. HRS, maka proses hukumnya akan menjadi sungsang.

Note: Pendapat atau narasi hukum ini disampaikan pengamat selaku advokat dan kebebasan hukum mengeluarkan pendapat disertai banyak referensi fakta hukum termasuk dari berbagai media informasi publik terkait peristiwa proses penegakan hukum di Tanah Air. (Ade)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini