spot_img
Jumat, April 19, 2024
spot_img

Komparasi Penegakan Hukum terhadap Ade Armando, HRS, dan Jokowi yang Jomplang

Oleh Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum dan Politik Mujahid 212

(Ade Armando TSK sejak 2017 tidak pernah diborgol, 5 Tahun tidak ada proses hukum lanjutan)

- Advertisement -

KNews.id- Apakah makna bagi Penguasa ( Hukum )  Negara terhadap asas hukum equality before  the law  atau persamaan hukum pada setiap orang WNI, yang tercantum pada UUD. Apakah hanya dianggap deretan hurup yang dijadikan kalimat lalu ditempatkan di sebuah buku yang nama bukunya adalah undang – undang dan konon katanya adalah sumber hukum ?.

Ketika seorang subjek hukum IB.HRS Ulama Besar di Tanah Air Negeri ini (Imam Besar Habib Rizieq Shihab) dituduh melanggar prokes covid 19 plus tuduhan ” bohongnya ” lalu bohongnya menimbulkan keonaran ditengah kehidupan nyata pada tuduhan sepihak yang dikenal dengan sebutan Kasus RS. Ummi Bogor, sebagai catatan hukum bahwa topik hukum pada tulisan aquo ini adalah proses RS. Ummi serta sedikit mengaitkannya mau tidak mau karena saling berhubungan dengan pokok kejadian pada objek perkara.

- Advertisement -

Yakni pelanggaran prokes  covid 19 atau berkaitan pada unsur pokok objek perkara dengan dua ( 2 ) kasus IB HRS  lainnya yaitu dugaan Pelanggaran Pasal sekedar kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat dan sekedar pelanggaran Kerumunan di Mega Mendung, Kab. Bogor Jawa Barat Atau inklud ketiga perkara sekedar pelanggaran pada  hukum cita- cita atau mudah mudahan hukum dapat berlaku  (ius konstituendum)

 

- Advertisement -

Kemudian pelaksanaan pada proses awal perkara sampai dengan perkembangannya ketiga perkara telah menjadi fakta melalui data emperik hukum oleh sebab sudah menjadi bagian dari berita nasional dengan salah satunya dari perangkat alat UU.ITE (Medsos,WAG, Yutube, FB  dan Twetter ) dan media publik lainya, bahwa terhadap diri beliau IB HRS sengaja  dipertontonkan dihadapan mata kamera dunia, dengan keberadaan kedua tangannya diborgol ditengah markas kepolisian Polda Metro Jaya.

Mengapa Polda Metro Jaya yang eksistensinya diketahui sebagai lokasi markas besar kepolisian pusat Ibu kota negara Indonesia dan  borgol dilakukan bukan terhadap pelaku kasus delik pembunuhan syahidnya enam orang mujahid atau Perampokan ( pencurian dengan cara kekerasan ), bukan kasus rasuah yang sudah ditetapkan sebutannya sebagai delik atau kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime ? terlebih juga bukan terorism, koq justru takut lari, atau khawatir  melawan ?.

Perilaku penguasa tinggi polri ini justru menunjukan tidak percaya diri atau wujud kwalitas yang lemah dan tidak profesional sehingga mengakibatkan menurunnya akuntabilitas atau turunnya kepercayaan masyarakat umum dan masyarakat hukum pemerhati penegakan hukum terhadap lembaga yang semestinya dihormati oleh sebab Polri adalah salah satu asset penting negara dan  bangsa ini.

Justru Polri dengan aksi borgolnya terhadap IB.HRS yang seorang diri dan hanya didampingi beberapa anggota tim pengacaranya, menjadi cermin menunjukkan kelemahan pada sektor Defense and security atau kelemahan pada sisi pertahanan keamanan baik kelemahan personality dan atau minim kemampuan/ skill ?  Karena hanya untuk menjaga seorang ulama dihalaman markas mereka dengan keberadaan ribuan anggota yang ada saat hari itu perlu tindakan memborgol, dan terkesan sangat kurang adab bahkan hancurkan promoter jargonnya polri.

Gejala hukum dan politik kekuasaan yang mirip oligarki ini juga ditampilkan dari sosok individu – individu tertentu dan diantaranya malah pejabat publik tertingginya dari pemerintahan negara ini telah  memperlihatkan kecongkakan diri, contoh konkritnya Jokowi Sang Presiden RI sang pemilik derajat tertinggi dan yang idealnya sebagai pemilik adab tertinggi.

Justru terang terangan memberikan contoh SURI NIRADAB melalui cara puluhan kali melakukan kebohongan dan beberapa kali sengaja melanggar Prokes Covid 19 dimuka umum,  juga fakta riil menimbulkan keonaran ditengah masyarakat, terbukti timbulnya keonaran terjadi dapat di buktikan dengan  banyaknya berbagai berita di media massa publilk, bahkan berbukti fakta hukum sampai – sampai kebohongan Jokowi yang berjumlah 66 kebohongan telah dijadikan peristiwa gugatan hukum yang diajukan oleh beberapa orang masyarakat.

Pemerhati hukum melalui *TPUA/ Tim Pembela Ulama dan Aktivis di PN Jakarta Pusat dan posita yang menjadi pokok dasar tuntutan adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan presiden selaku penguasa ( onrechtmatige overheiddaad ) adapun kelengkapan alat bukti formil ada dan telah dipersiapkan dan perkara a quo in casu saat  tulisan ini dibuat masih bergulir.

Maka terhadap peristiwa peristiwa diatas patut dijadikan sebagai asas hukum Notoire Feiten Notorius/ NFN atau peristiwa hukum yang terjadi dan sudah menjadi sepengetahuan umum sehingga merupakan  alat bukti yang tidak butuh pembuktian terhadap kebenarannya, sehingga NFN tersebut patut bagi para hakim NFN untuk dapat dijadikan salah satu pedoman putusan hakim selain alat bukti saksi, ahli, barang bukti dan pengakuan terdakwa.

Ataukah metode hukum NFN  yang dapat digunakan sebagai dalil fakta hukum pada praktik gelar perkara IB. HRS terkait RS Ummi Bogor ( topik inti artikel ) sebagai salah satu unsur alat pemutus yang semata demi keadilan, atau lagi lagi juga hanya dianggap kalimat teori asas hukum ‘ thok ‘ oleh  Para Hakim Para Penegak Hukum ?.

Para Hakim yang masih berdinas dan atau pensiunan pun ” pasti tahu ”  namun mungkin antara tahu dan tidak tahu terkait apa alasan hukumnya, mengapa terhadap diri Ade Armando/AA yang lebih dari tujuh kali dilaporkan kepada penyidik polri pada peristiwa delik yang berbeda  serta semua laporan kepadanya adalah tuduhan kejahatan pelanggaran pada hukum positif atau melanggar hukum yang harus berlaku ( ius konstitum ) dan terhadap salah satunya dari laporan ujaran kebencian ( pelanggaran hukum positif UU. ITE ) yang dianggap oleh hukum kuat.

Diduga sebagai perbuatan menghina atau menistakan kitab suci golongan tertentu (membaca  Al Quran dengan langgam hip hop dan blues) dirinya telah ditetapkan sebagai  TSK sejak 2107, namun pada kenyataannya  koq Doktor Ilmu Sosial  Politik AA gak diborgol?.

Kok.. gak ada proses hukum lanjutannya oleh pihak  JPU ? Koq Jokowi selaku presiden yang hobbi bohongi rakyat dan juga melanggar prokes covid 19  lebih banyak daripada pelanggaran yang dilakukan IB.HRS namun Jokowi bisa kebal atau tak tersentuh proses hukum.

Pada semua ilustrasi narasi tersebut di atas terkait AA dan termasuk faktor kebohongan yang berjumlah banyak dari Presiden RI dan dibanding satu kebohongan dari sosok ulama besar ( juga bergelar doktor ) yang hanya menyentuh perkara dengan dugaan delik pelanggaran yang juga masih debatebel dan tontonan borgolnya, lalu apa gunanya teori atau asas hukum NFN tersebut oleh judeks fakti PN. Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Jakarta ? Lalu apakah MA  kembali abaikan sejarah penegakan hukum yang kini baru  bergulir di Mahkamah Agung/ MA, termasuk kesalahan fatal vonis Judeks fakti PN. Jakarta Timur terhadap in casu Perkara RS. Ummi Bogor Kota, yang putusannya tanpa klausula ditahan atau penahanan yang melanggar Pasal 197 KUHAP/ UU.No.8 / 1981 dan Putusan MK No.  169 / 2012 tentang klausula ” bunyi putusan bersifat  imperatif atau wajib ada klausula untuk menahan TDW.

Maka apabila tidak terdapat kalimat perintah tetap ditahan atau tetap dalam penahanan , secara logika hukum  menjadikan kebalikan kata wajib yaitu membebaskan Terdakwa IB. HRS.

Berdasarkan sistem hukum NRI UUD 45 yang mewajibkan perilaku adil  dan demi idealnya tujuan historis hukum dunia modern tentang kebutuhan dan cita cita semangat pembentukan  lembaga yudikatif pada negara hukum yakni demi fungsi penegakan hukum yang berkeadilan  melalui para hakimnya, maka sepatutnya demi keadilan semata ( gerechtigheit ) dan demi kepastian hukum ( rechtmatigheid ) MA. mesti serius, mewujudkan makna kata- kata atau irah – irah yang terdapat di Kepala Surat Putusan dengan kalimat “.

Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa “, atau makna irah irah mesti bentuk nyata aplikasi dari Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Manusia Indonesia, mandiri dan lintas poliitik dan lintas kekuasaan serta lintas SARA.

Praktik pelaksanaan penegakan hukum saat ini yang nampak un logic atau tidak masuk akal sehat, padahal selain penegakan hukum oleh para penegak hukum ( polisi, jaksa dan hakim serta advokat ) selain wajib mandiri atau anti intervensi dari siapapun dan dari pihak manapun, semestinya demi memperoleh kebenaran – sebenar – benarnya atau materiele waarheid, Para.

Hakim selain wajib mandiri dan dapat gunakan fakta realita kehidupan sosial yang berlangsung, sebagai dasar  hakim untuk dalil pemutus , tentu jangan sampai (bisa) diperalat atau mau diintervensi sekalipun datangnya dari kekuatan oligarki atau kekuasaan politik yang mencoba menunggangi.

Maka dalam membuat pertimbangan putusan demi kebutuhan fungsi keadilan dan kepastian hukum, para hakim dihalalkan jatidiri mereka demi keadilan berfungsi sebagai alat kontrol hukum yang akhirnya melahirkan dan menciptakan temuan hukum, termasuk para hakim dihalalkan membuat putusan dengan menggunakan keyakinan dirinya (Pasal 183 KUHAP) maka atas dasar hak dan kewenangan lainnya, mereka para hakim selain harus memiliki dasar alat bukti hukum yakni ; alat bukti dari barang bukti, surat, keterangan saksi dan ahli dan pengakuan dari Tedakwa, berkewajiban untuk monitoring perkembangan penyelewengan penegakan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum yang merupakan instrumen daripada lembaga eksekutif negara atau penguasa pemerintahan Negara.

Track pada perbandingan pelaksanan penegakan hukum aparatur penegak hukum kepolisian/ Polri dan Kejaksaan/ JPU, semua ini selain daripada unsur unsur diatas merupakan NFN atau notoire feiten notorius, bahwa riil mereka para hakim Judex Juris Mahkamah Agung adalah juga merupakan bagian daripada individu atau kelompok individu masyarakat WNI yang turut hidup, ikut melihat,  mengetahui secara bersamaan dengan masyarakat lainnya terkait fakta hukum yang terjadi di NRI.

Selanjutnya menurut Pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang telah bersalah melakukannya.

Masyarakat pada umumnya dan masyarakat pencahari keadilan terus berharap majelis hakim judex juris Mahkamah Agung akan menunjukkan kewibawaan kedudukan yang derajat dan tupoksinya lebih tinggi dari peradilan yudeks facti tingkat pertama,  dan akan membuat nyata bahwa Mahkamah Agung benar benar berwujud sebagai pintu gerbang keadilan terakhir,

Sehingga harus membuat kajian dari segala aspek dan mesti monitoring NFN secara intensif dan ekstra prudensial agar dapat menyimpulkan untuk ahirnya  demi dapat membuat pertimbangan sendiri untuk melahirkan putusan yang meluruskan daripada yang bengkok, tidak sebaliknya manut kepada pertimbangan dan vonis majelis hakim yang hirarkis dibawahnya pada tingkat pertama pengadilan negeri Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Jakarta.

Para Pejabat Hukum dan Hakim Judeks Juris harus siapkan diri dan mentalnya untuk anti intervensi walau beresiko sanksi mutasi tupoksi  sebagai hakim maupun sanksi dipindah tugaskan ke daerah atau wilayah lainnya daripada MA,  dalam artian siap memenuhi resiko tugas mulia hakim sebagai mana sumpah jabatan, semua demi wibawa hukum dan kepastian hukum, demi prinsip keadilan dan memuliakan Asas Ketuhanan yang Maha Esa.

Tuhan yang diimani ” semua ” penganut agama dengan kekuasaanNya di kehidupan bumi serta kehidupan kelak setelahnya dan juga sebagai bukti para hakim agung menolak dikte atau  diperalat oleh unsur unsur oligarki atau penguasa politik yang berkonsipirisasi melalui oknum – oknum tertentu yang ada pada individu individu penguasa  eksekutif atau penguasa di yudikatif sendiri.

Namun jikalau pun akan muncul adanya unsur ragu atau keragu-raguan  adalah manusiawi atau kodrat sifat yang juga dimiliki dan melekat pada diri dari para hakim agung. Bagaimana bila unsur ragu tersebut muncul dibenak para hakim saat diujung kesimpulan pertimbangan membuat putusan sebagai Wakil Tuhan dimuka bumi?.

Masyarakat peduli penegakan dan cinta keadilan tidak perlu khawatir. Bahwa para hakim yudeks yuris Mahkamah Agung akan menggunakan teori hukum sesuai  asas In Dubio Pro Reo yaitu jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan.

Jika kelak akhirnya MA. juga membenarkan atau menguatkan putusan jomplang pada diri IB.HRS, maka apa gunanya badan peradilan yang dinyatakan sebagai rumah keadilan ini harus tetap digunakan, justru otomatis masyarakat pada umumnya atau ummat akan berpikir untuk mencari dan untuk mendapatkan idealnya makna  Kalimah Tauhid  ” kebenaran pasti menang melawan segala bentuk kedzoliman “.

Sejatinya kausalitas terhadap realita dari berbagai kepincangan atau kejomplangan penegakan hukum yang dilakukan para aparatur  penguasa hukum yang berwenang, menjadikan masyarakat pecinta atau pengharap keadilan untuk serta merta atau serempak berupaya rubuhkan atau runtuhkan rumah – rumah keadilan yang terbukti potensial  sebagai penentang keadilan.

Selanjutnya masyarakat pasti mendapatkan wadah atau sarana dan prasarana rumah hukum baru, walau wadah hukum itu sudah ada pada 13 abad yang lalu yaitu Hukum Syariah yang diimani lebih adil dan nyaman namun selalu dihindarkan penggunaannya sejak negara ini merdeka dari kolonial dan pastinya rumah hukum baru bukan berasal dari sistem negara kolonial Belanda. (Ade)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini