spot_img
Kamis, April 25, 2024
spot_img

‘Kemesraan’ antara Soekarno dan Komunis (I)

Oleh: Muhammad Syafii Kudo

KNews.id- Ketika mendirikan PNI di tahun 1927, Bung Karno mengatakan bahwa beliau bermaksud meneruskan perjuangan PKI, yang di tahun 1926 dan 1927 itu mengalami hamukan tabula rasa dari pemerintah kolonial Belanda.

- Advertisement -

Sejak saat itu hingga kini, kerjasama antara Bung Karno dan PKl, sebagai sesama pencinta, pembela dan penegak kemerdekaan tanah air, selalu baik. (Kata Awal dalam buku Subur, Subur, Suburlah PKI; Pidato Presiden Soekarno Pada Rapat Raksasa Ulang Tahun Ke 45 PKI).

Kutipan itu sengaja penulis kutip di tengah panasnya pro kontra Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang dinilai kontraproduktif di tengah pandemi wabah yang masih melanda Indonesia. Dari beberapa pasal yang kontroversial di dalam RUU HIP tersebut, ada hal yang dinilai paling menimbulkan polemik, yakni Naskah Akademik pada halaman 5 yang mengutip pernyataan Presiden Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945 yang menyatakan dari perasan lima sila menjadi satu, yakni gotong royong,  menegaskan bahwa semua sila Pancasila itu adalah semangat gotong royong.

Prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran), bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Dan pada pasal ke 7 dalam RUU HIP  itu disebutkan bahwa;

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.

- Advertisement -

(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong. Perasan 5 sila yang berujung pada ekasila itulah yang akhirnya dinilai publik sebagai tindakan “merubah” Pancasila itu sendiri. Yang makin diperparah dengan dimasukannya frasa Ketuhanan yang berkebudayaan menggantikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

- Advertisement -

Serta tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang. Dan harap diingat bahwa PKI dahulu juga bersepakat dengan perjuangan Gotong Royong. Maka menjadi konsekuensi logis jika publik terutama umat Islam makin marah pada RUU HIP tersebut.

Karena dianggap membuka  luka lama dan sejarah kelam bangsa ini yang pernah ditikam oleh PKI. Penafsiran “Gotong Royong” pun perlu dikritisi. Sebab jika ditilik dari beberapa draf kontroversial dalam RUU HIP tersebut, disinyalir ada upaya menghidupkan kembali sistem gotong royong ala NASAKOM tempo dulu.

Gotong Royong menurut KBBI adalah saling bekerja bersama-sama; tolong-menolong; saling membantu. Tidak ada batasan dalam gotong royong menurut definisi KBBI tersebut.

Artinya gotong-royong (Ta’awun) itu bersifat umum, bisa dalam hal kebaikan dapat juga dalam hal keburukan. Sedangkan di dalam Al Qur’an telah jelas bahwa kita diperintah untuk saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan saja dan dilarang saling membantu dalam dosa dan kejahatan. Menurut Syeikh Muhammad Mutawally Al-Sya’rawi di dalam Tafsir al-Sya’rawi, ada tiga prinsip ta’awun di dalam Al Qur’an :

Pertama, sebagai perintah agama. Karena itu, Allah Swt memerintahkan kita untuk saling tolong-menolong sehingga menjadi umat yang tidak mengenal pertengkaran dan perpecahan.

Kedua, sebagai prasyarat kehidupan sosial. Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, untuk itu tolong-menolong menjadi syarat untuk mempermudah keberlangsungan hidup manusia di dunia.

Ketiga, sebagai prasyarat kemaslahatan kehidupan. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia diperintahkan oleh Allah Swt untuk memakmurkan dan membuat kemaslahatan di bumi. Oleh karena itu, untuk menjalankan perintah tersebut tidak akan bisa tercapai dengan sendiri-sendiri, melainkan harus dengan saling tolong-menolong.

Ada dua konteks Ta’awun dalam Tafsir al-Sya’rawi tersebut; Pertama, Ta’awun ‘ala al-Birr wa al-Taqwa. Yaitu, menjalankan segala perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya. Dan ini juga berhubungan dengan mengajak orang lain untuk melakukan segala perintah Allah swt. dan mencegah orang lain yang hendak melakukan larangan-Nya.

Kedua, Ta’awun ‘ala al-Itsm wa al-‘Udwan. Yaitu menjalankan segala apa yang dilarang oleh Allah swt. dan meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya. Dan ini juga berhubungan dengan mengajak orang lain supaya mengerjakan segala larangan Allah swt. dan menghalang-halangi orang lain yang hendak melaksanakan perintah Allah swt. Dua garis batas tersebut jelas menyatakan bahwasannya sesuatu yang haq tidak akan bersatu dengan sesuatu yang batil.

Ketika PKI di tahun 1959 melangsungkan Kongres Nasionalnya yang ke – Vl, Bung Karno, Presiden RI, mengucapkan pidato yanng terkenal, “Yo sanak Yo kadang, Yen mati aku sing kelangan.” Di depan Kongres Nasional ke- VII PKl, 1962, Bung Karno lagi mengucapkan amanat penting, “Go ahead!”, Tahun 1964, ketika PKI menyelenggarakan konferensi- Sastra dan Seni Revolusioner,  Presiden Sukarno mengucapkan pula pidato, “Segala simpatiku kepadamu!” 

“Saudara, pernah saya ceritakan kepada saudara-saudara, dan tadipun telah disitir, dikatakan oleh Kawan Aidit, beberapa senjata ampuh yang saya berikan kepada revolusi Indonesia ialah antara lain Pancasila, antara lain penggabungan semua tenaga progresif revolusioner dalam Nasakom.” (Subur, Subur, Suburlah PKI; Pidato Presiden Soekarno Pada Rapat Raksasa Ulang Tahun Ke 45 PKI, terbitan Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1965, halaman 09). Bersambung(FHD)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini