spot_img
Kamis, April 25, 2024
spot_img

Beringas, Minoritas Menindas Mayoritas

Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari

KNews.id- Tudingan politik identitas yang dialamatkan ke umat Islam, terus digiring sebagai momok yang menakutkan. Selain sebagai gerakan intoleran, politik identitas itu kerap dianggap mengancam kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa. Sejalan dengan itu, tirani minoritas terus menunjukkan superioritasnya pada mayoritas.

- Advertisement -

Segelintir orang dan kelompok yang sesungguhnya juga menjadi bagian dari politik identitas, bebas melenggang menguasai hajat hidup orang banyak dengan kekuasaannya terhadap negara dan kekayaan sumber daya alam di dalamnya.

Bukan hoax apalagi fitnah adanya berita tentang lahan di Indonesia dikuasai tidak lebih dari 1% penduduk. Selain pengelolaan sumber daya alam dan produksi-produksi kebutuhan pokok rakyat. Pemilik modal perorangan dan dalam bentuk korporasi itu, bahkan mampu menggeser peran negara.

- Advertisement -

Pemerintah dan fungsi regulasinya telah diambil mesin-mesin kapitalisme dalam wujud perusahaan transnasional maupun multinasional. Konstitusi berikut aparatur pemerintahan telah dibeli dan menjadi cabang-cabang kekuatan industri borjuasi korporasi.

Kepemilikan modal besar mampu melemahkan eksistensi negara, untuk selanjutnya melumpuhkan kekuatan rakyat. Demokrasi dilumpuhkan, institusi-intusi negara dan kelembagaan politik telah menjadi alat sekaligus tameng birokrat dan pengusaha.

- Advertisement -

Taipan-taipan itu menggandeng pemerintahan dan kemudian menjadi oligarki yang membajak Indonesia. Kesadaran kritis dan gerakan perlawanan semakin tak berdaya. Rezim kekuasaan yang ditunggangi mafia ekonomi dan politik, melancarkan represi dan atau fasilitas berupa harta dan jabatan. Rakyat terbelah, sebagian turut mengekor pada kekuasaan dan tunduk pada pengusaha pengendali pemerintahan.

Sebagian besar lainnya pasrah dan sedikit yang menentangnya secara sporadis dan parsial. Itupun kalau masih bisa selamat dari rezim. Pemimpin-pemimpin intelektual dan agama tiarap dan mencari jalan aman dengan melakukan kompromi pada kekuasaan.

Rakyat dibiarkan berjuang sendiri dalam keterbatasan menghadapi kesulitan ekonomi, tekanan kebijakan politik rezim dan mulai merasakan kesulitan hidup. Rakyat mulai kehilangan semangat persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa. Konflik horisontal terus menghantar ke jurang disintegrasi sosial. Semakin komplit penderitaan rakyat banyak, hidup dalam kemiskinan dan terpecah-belah.

Semua itu umat Islam yang paling merasakannya. Baca juga:  Keputusan Batal Haji oleh Menag Timbulkan Kegaduhan Baru Politik Adu Domba dan Maraknya Penghianatan Sebagai rakyat mayoritas, umat Islam selalu menjadi korban eksploitasi. Selain sistem yang membatasi umat Islam secara syariat dan sosial.

Keberadaan umat Islam juga sejak dulu sudah mengalami politisasi dan menjadi korban kebijakan rezim. Bukan hanya termarginalkan, umat Islam juga intens dilanda proses deislamisasi. Tak cukup stigma dan stereotif, umat Islam terus menjadi target pembunuhan karakter dan kriminalisasi. Tidak hanya dari distorsi kebijakan dan aparat institusi tertentu, umat Islam khususnya para ulama rentan dari penganiaan dan kebiadaban pembunuhan, dari operasi oknum aparat intelijen maupun intitusi negara.

Tidak hanya dalam kehidupan internasional, di negerinya sendiri nasib umat Islam begitu memprihatinkan. Umat Islam secara ekonomi telah menjadi pasar yang menggiurkan bagi kepentingan global, dalam ranah politik ditempatkan sebagai potensi kekuatan yang harus ditaklukan dengan pelbagai cara. Dalam koridor hukum, syariat Islam menjadi momok sekaligus musuh yang dianggap berbahaya bagi ideologi-ideologi dunia yang menganut materialisme dan kebebasan tanpa batas.

Sekulerisasi, liberalisasi dan tumbukan-tumbukan atheisme menjadi belenggu sekaligus benteng kokoh bagi kebangkitan dan kejayaan umat Islam baik di Indonesia khususnya maupun umat Islam di dunia pada umumnya. Umat Islam yang mayoritas, secara peran politik, ekonomi dan hukum belum bisa beranjak dari aspek kuantitas menuju kualitas.

Entitas keagamaan yang pernah mengalami masa-masa jejayaan dunia itu. Kini terus mengalami kemerosotan aqidah dan ghiroh Islam. Terus diperdaya dan dalam keterpurukan yang amat dalam. Telalu jauh umat Islam terperosok dalam lubang dekadensi moral keislaman dan banyaknya penghianatan dari dalam yang sejatinya menjadi musuh umat Islam juga.

Rasanya memang tragis dan mengenaskan pada apa yang terjadi yang dialami umat Islam. Dunia seperti memusuhinya tanpa pernah berhenti sebelum benar-benar hancur dan hilang dari muka bumi. Kalangan kafirun anti Islam, para munafikun dan fasikun dari umat Islam sendiri, berkolaborasi merusak umat Islam.

Begitupun di bumi dalam helaan nafas Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI, dimana umat Islam menjadi rahim yang melahirkannya. Umat Islam, seperti jasad yang tanpa ruh di dalamnya. Umat Islam bukan tidak punya panduan hidup sebagaimana adanya Al Quran dan hadis. Namun ia lebih nyaman menyukai dan gigih menjalani cara hidup yang jauh dari Al Quran dan hadis itu sendiri.

Umat Islam banyak tapi sesungguhnya sedikit. Umat Islam memiliki persatuan atau ukuwah, tapi sesungguhnya tercerai-berai. Umat Islam kuat tapi sesungguhnya lemah. Kenyataan-kenyataan ini yang harusnya menjadi kesadaran umat Islam, untuk kembali kepada Al Quran dan sunah agar selamat di dunia dan akhirat. Termasuk bagaimana menghadapi situasi yang dialami umat Islam di Indonesia saat ini.

Tercabik-cabik dan terkoyak, karena beringasnya minoritas menindas mayoritas. Wallahu a’lam bishawab. (AHM/SN)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini